SOAL poligami, itu tak pernah sepi dibicarakan. Ketika kaum adam dituding melakukan poligami gegara memburu nafsu, maka penolakan dari para kaum hawa dipersepsikan sebagai betuk ketidaktaatan. Apakah seperti itu?
Bagi mereka yang berniat melakukan poligami, tentunya tak serta merta dapat dilakukan. Hanya dengan modal niat saja. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Berikut syarat-syarat poligami seperti dikutip dari Percikan Iman.
Membatasi jumlah Istri yang akan dinikahinya
Syarat ini telah disebutkan oleh Allah swt. dengan firman-Nya; …maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat (Q.S. An- Nisaa :3).
Ayat di atas menerangan dengan jelas bahwa Allah telah menetapkan seorang laki-laki itu tidak boleh menikah dengan lebih dari empat orang istri. Jadi Islam membatasi kalau tidak beristri satu, boleh dua, tiga, atau empat saja.
Pembatasan ini juga bertujuan membatasi kaum laki-laki yang gemar perempuan agar tidak berbuat sesuka hatinya. Disamping itu, dengan pembatasan empat orang istri, diharapkan jangan sampai ada lelaki lain yang tidak menemukan istri atau ada pula wanita yang tidak menemukan suami. Mungkin, kalau Islam membolehkan dua orang istri saja, maka akan banyak wanita yang tidak menikah. Kalau pula dibolehkan lebih dari empat, mungkin saja terjadi banyak lelaki yang tidak memperoleh istri.
Diharamkan bagi suami mengumpulkan wanita-wanita yang masih ada tali persaudaraan menjadi istrinya
Misalnya, menikah dengan kakak, adik, ibu dan anaknya, anak saudara dengan ibu saudara baik dari pihak ayah maupun ibu. Tujuan pengharaman ini ialah untuk menjaga silaturrahim antara anggota-anggota keluarga.
Rasulullah bersabda, yang maksudnya; “Sesungguhnya kalau kamu berbuat yang demikian itu, akibatnya kamu akan memutuskan silaturrahim di antara sesama kamu.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Seorang sahabat benama Fairuz Ad-Dailamy setelah memeluk agama Islam, memberitahu kepada Rasulullah bahwa dia mempunyai istri yang kakak beradik. Maka Rasulullah menyuruhnya memilih salah saeorang di antara mereka dan menceraikan yang satunya lagi. Jadi telah disepakati tentang haramnya mengumpulkan kakak beradik ini didalam Islam.
Disyaratkan pula berlaku adil
Sebagaimana yang difirmankan Allah swt: “Kemudian jika kamu bimbang tidak dapat berlaku adil (diantara istri-istri kamu), maka (kawinlah dengannya) seorang saja, atau (pakailah) hamba-hamba perempuan yang kaumiliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat (untuk mencegah) supaya kamu tidak melakukan kezaliman.” (Q.S. An-Nisaa : 3)
Dengan tegas diterangkan serta dituntut agar para suami bersikap adil jika akan berpoligami. Andaikan takut tidak dapat berlaku adil kalau sampai empat orang istri, cukuplah tiga orang saja. Tetapi kalau itupun masih juga tidak dapat adil, cukuplah dua saja, Dan kalau dua itu pun masih khawatir tidak bisa berlaku adil, maka hendaklah menikah dengan seorang saja. Para mufassirin berpendapat bahwa berlaku adil itu wajib. Adil di sini bukanlah berarti hanya adil terhadap para istri saja, tetapi mengandung arti berlaku adil secara mutlak.
Bersikap adil dalam hal-hal menunjukan dan membagi cinta dan kasih sayang terhadap istri-istri, adalah satu tanggung jawab yang sangat besar. Meski demikian, ia termasuk perkara yang masih berada dalam kemampuan manusia.
Keadilan yang dijadikan syarat diperbolehkannya poligami berdasarkan ayat 3 surah An-Nisaa. Kemudian pada ayat 129 surah itu pula menyatakan bahwa keadilan itu tidak mungkin dapat dipenuhi atau dilakukan.
Sebenarnya, yang dimaksudkan oleh kedua ayat di atas ialah keadilan yang dikehendaki itu bukanlah keadilan yang menyempitkan dada kamu sehingga kamu merasakan keberatan yang berlebihan terhadap poligami yang dihalalkan oleh Allah. Hanya saja yang dikehendaki ialah jangan sampai kamu cenderung sepenuh-penuhnya kepada salah seorang saja di antara para istri kamu itu, lalu kamu tinggalkan yang lain seperti terkatung-katung.
Selain itu, Orang yang boleh beristri dua ialah yang percaya benar akan dirinya dapat berlaku adil, yang sedikitpun tidak akan ada keraguannya. Jika dia ragu, cukuplah seorang saja. Adil yang dimaksudkan di sini ialah ‘kecondongan hati’. Dan tentu ini amat sulit untuk dilakukan, sehingga poligami adalah suatu hal yang sukar untuk dicapai. Jelasnya, poligami itu diperbolehkan secara darurat bagi orang yang benar-benar percaya dapat berbuat adil.
Bahkan, jangan sampai si suami membiarkan salah seorang istrinya terkatung-katung, ibarat digantung tak bertali. Hendaklah disingkirkan sikap condong kepada salah seorang istri yang menyebabkan seorang yang lain lagi merasa kecewa. Adapun condong yang dimaafkan hanyalah condong yang tidak dapat dilepaskan oleh setiap individu darinya, yaitu condong hati kepada salah seorang diantara mereka namun tidak sampai membawa kepada tindakan mengurangkan hak yang lain.
Afif Ab. Fattah Tabbarah dalam bukunya Ruhuddinil Islami mengatakan; Makna adil di dalam ayat tersebut adalah persamaan: yang dikehendaki ialah persamaan dalam hal pergaulan yang bersifat lahir seperti memberi nafkah, tempat tinggal, tempat tidur, dan layanan yang baik, juga dalam hal menunaikan tanggungjawab sebagai suami-istri.”
Tidak menimbulkan huru-hara di kalangan istri maupun anak-anak
Jadi, suami mestinya yakin bahwa perkawinannya yang baru ini tidak akan menganggu serta merusak kehidupan istri serta anak-anaknya. Karena, diperbolehkannya poligami dalam Islam adalah untuk menjaga kepentingan semua pihak. Jika kepentingan ini tidak dapat dijaga dengan baik, maka seseorang yang berpoligami pada saat itu adalah berdosa.
Mampu atau berkuasa menanggung nafkah
Yang dimaksudkan dengan nafkah di sini adalah nafkah lahir, sebagaimana Rasulullah saw. bersabda;
“Wahai sekalian pemuda, siapa diantara kamu yang mampu mengeluarkan nafkah, maka hendaklah kamu menikah. Dan siapa yang tidak mampu, hendaklah berpuasa.”
Hadis di atas menunjukan bahwa Rasulullah saw. menyuruh setiap kaum laki-laki supaya menikah tetapi dengan syarat sanggup mengeluarkan nafkah kepada istrinya. Andaikan mereka tidak berkemampuan, maka tidak dianjurkan menikah walaupun dia seorang yang sehat secara lahir dan batinnya. Oleh karena itu, untuk menahan nafsu seksnya, dianjurkan untuk berpuasa.
Jadi, kalau dengan seorang istri saja sudah kepayahan untuk memberi nafkah, sudah tentukah Islam melarang orang yang demikian itu berpoligami. Memberi nafkah kepada istri adalah wajib semenjak berlakuknya suatu perkawinan, ketika suami telah memiliki istri secara mutlak. Begitu juga si istri wajib mematuhi serta memberikan perkhidmatan yang diperlukan dalam pergaulan sehari-hari.
Nah, jelas bahwa pria yang ingin melakukan poligami hendaknya adalah seorang yang bertakwa, takut kepada Allah dalam keadaan sendiri ataupun terlihat orang, ia juga harus bersikap adil dan jujur dalam mempraktekannya. Pria tersebut hendaknya bersikap cerdas, pintar berhitung, atau dengan kata lain hendaklah ia mengulang-ulang perhitungannya seribu kali serta mengukur kebutuhan dan kemampuannya untuk berpoligami.
Masalahnya sekarang adalah, bila hal ini menimpa kita, kaum istri, ada satu pertanyaan yang mesti kita ajukan: Apakah suami kita yang menyatakan dengan tegas atau minta ijin atas keputusannya untuk berpoligami? Jika tidak, kita pun berhak memutuskan sesuatu yang penting untuk hidup kita, karena memang tidak ada dalil syar’i yang mengharuskan kita memberikan ijin kepadanya.
Dengan model poligami yang banyak diterapkan saat ini, yang rata-rata kehilangan dasar-dasarnya yang kuat, saya berpesan terutama kepada wanita yang akan dijadikan istri kedua, hendaknya harus mengingat perasaan sesama wanita, karena itu layak dijadikan pertimbagan utama.
Karena bagi sebagian wanita, bagaimanapun yang namanya ‘dimadu’ itu menyakitkan bagi dirinya, selain juga menyakiti hati orangtuanya. Tetapi, jika memang sebagai istri kita bisa menerima suami melakukan poligami dengan lapang dada dan sanggup beradaptasi dalam naungan keluarga poligami, hendaklah ia berserah diri. []