Oleh: Iit Supriatin
supriatin2912@gmail.com
SELALU menarik membicarakan hal yang satu ini. Kenapa demikian? Karena, pro dan kontra yang selalu mewarnainya setiap kali diskusi atau membahas kata yang satu ini. Malah di negeri ini, seringkali menjadi sebuah isu kontroversi apabila ada subjek yang melakukan praktik ini. Poligami. Sebuah praktik kontroversial yang begitu menarik kaum pria namun acapkali membuat alergi (baca: terluka) kaum wanita.
Secara definitif, poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu bersamaan. Dalam antropologi sosial, poligami dibagi menjadi tiga bagian yaitu, poligini (seorang pria menikah dengan lebih dari satu wanita), poliandri (seorang wanita menikah dengan lebih dari satu pria) dan group marriage/pernikahan kelompok (gabungan poligini dan poliandri). Dan poligami dalam Islam terbatas pada poligini, sedangkan poliandri dan pernikahan kelompok hukumnya haram.
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami… [TQs. An Nisa 24]
Poligami-poligini (selanjutnya kita sebut poligami) adalah fenomena yang lumrah dan kodrati sepanjang sejarah manusia.
Islam agama yang fitrah, ia datang untuk memenuhi dan mengatur naluri (gharizah) kemanusiaan. Ia tidak datang untuk mencegah poligami, tapi mengatur bagaimana berpoligami yang benar.
Secara syariat, kedudukan poligami memiliki kedudukan yang sama dengan monogami, yaitu sama sama dalam frame pernikahan. Baik monogami maupun poligami keduanya tidak boleh keluar dari syarat-syarat pernikahan.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. [TQs.Ar Rum 21]
Dengan demikian, hikmah pertama pernikahan yaitu menjadikan dua pasangannya lebih dekat dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sama-sama membangun kesamaan visi untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Adalah Nabiyullah Ibrahim ‘Alayhissalam yang menikah dengan Sayyidah Sarah yang dalam riwayat diceritakan memiliki kecantikan yang sungguh tak terlukiskan, adalah potrotipe atas pernikahan yang bersandarkan pada ketakwaan dan ketaatan Allah semata. Ketika Allah uji mereka dengan belum memiliki keturunan, maka Ibrahim yang hanif tidak menjadikan hal itu sebagai sebuah permasalahan, tetapi justru semakin berupaya bagaimana menjadikan keluarganya semakin diridloi oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Istrinya ditarbiyah, dikuatkan, agar semakin sabar dengan keadaan, mengharap Allah dengan kebaikan, sehingga dengan pola tarbiyah ini, litaskunuu ilayha, ada ketenangan dalam jiwa sang istri. inilah hikmah kedua pernikahan, terciptanya ketenangan.
Ketika sebuah pernikahan selalu diwarnai dengan cekcok atau pertengkaran, bisa jadi karena kurangnya ilmu yang ia miliki atau salahnya pola tarbiyah. Ketika Nabi Ibrahim di uji dengan di kecam oleh kaumnya, di bakar, di usir, bahkan sampai keluar Palestina menuju Mesir, Sayyidah Sarah nan jelita selalu setia menemaninya. Mensupportnya. Begitulah kalau menikah yang orientasinya karena Allah, cintanya pun abadi. Baik Sayyidah Sarah maupun Nabi Ibrahim, keduanya bertarbiyah. Ketika Allah uji Sarah dengan belum juga hamil, Ibrahim mendekat. Pun ketika Ibrahim di hadapkan pada pelbagai ujian, Sarah mendekat. Itulah yang melahirkan cintanya Nabi Ibrahim sehingga demikian besar, menjaga amanah Allah berupa titipan seorang perempuan (istri). Inilah hikmah ketiga pernikahan, tumbuhnya kasih sayang kepada pasangan.
Timbul pertanyaan, kalau begitu, kenapa Nabi Ibrahim berpoligami?
Sesampai Nabi Ibrahim dan Sayyidah Sarah di Mesir, kembali keduanya di uji oleh Allah, yaitu harus menghadapi raja Mesir yang memiliki tabiat menyeleneh. Di Mesir saat itu rajanya memiliki hukum bahwa setiap ada laki-laki yang sudah berumah tangga, maka istrinya laki-laki tersebut wajib diambil oleh si raja. Karena raja itu berkesimpulan, setiap wanita yang menikah pasti memiliki keistimewaan, dan sebaliknya, bagi wanita yang tidak menikah pastilah memiliki cacat.
Kecantikan Sayyidah Sarah yang langsung menjadi buah bibir seisi negeri, tentu saja tak luput dari perhatian raja. Maka tatkala Ibrahim ditanya oleh raja tentang Sarah, Ibrahim menjawab Sarah adalah saudarinya. Hal tersebut bermaksud agar Sarah tidak diambil oleh sang raja. Ibrahim tidak berdusta, meski Sarah realitasnya adalah istrinya, namun Sarah juga adalah saudarinya dalam Islam. Terpukau oleh kecantikan yang di miliki Sarah, maka atas hukum yang dibuatnya sang raja membuat pengecualian. Dia ingin mengambil Sarah sekalipun dia berstatus tidak menikah.
Raja hendak menyentuh Sarah, namun tiba tiba tangannya lumpuh. Dicoba lagi, lumpuh lagi. Maka saat kali ke tiga dan tangannya kembali lumpuh, raja pun berjanji tidak berniat menyentuh Sarah lagi kemudian meminta Ibrahim menjampi-jampinya agar tangannya kembali normal seperti semula. Demi menutupi rasa malu, di depan rakyatnya raja mengatakan bahwa Ibrahim dan Sarah adalah sebangsa jin karena memiliki kalimat-kalimat yang membuat tangannya bisa lumpuh, keduanya akan mengganggu ketentraman negerinya, untuk itu keduanya harus keluar dari Mesir dan sebagai kompensasinya mereka akan dihadiahi budak perempuan untuk membantu dalam kehidupannya, dialah Hajar.
Hajar terus menemani keduanya. Ibrahim tetap setia kepada istrinya dan tidak terbersit keinginan untuk berpoligami meskipun keduanya sudah semakin tua dan belum dikaruniai anak. Maka dalam konteks ini tarbiyah berjalan. Sarah faham betul, tugas suaminya dalam dakwah masih sangat panjang dan luas jangkauannya. Jika tidak memiliki keturunan, maka siapa nanti yang akan meneruskan risalah dakwahnya sepeninggalnya. Maka Sayyidah Sarah pun meminta beliau untuk menikahi Hajar. Sarah berharap dengan hal itu bisa mendapati keturunan darinya dan risalah dakwah pun akan terus berlangsung. Maka dalam hal ini risalah poligami turun terkait kebutuhan-kebutuhan dakwah, yaitu dalam konteks membangun kedekatan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pun demikian dengan Rasulullah Shallallaahu ‘Alayhi Wasallam, perintah poligami turun atas perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena faktanya, ketika berrumah tangga dengan Sayyidah Khadijah, beliau tidak melakukaknnya.
Lalu para shahabat, mereka berpoligami kapada wanita-wanita yang yang suami-suaminya mati syahid. Para shahabat menikahinya demi menjaga kehormatannya dan supaya anak-anaknya tidak berstatus yatim.
Pertanyaannya sekarang, jika para Nabi dan shahabat berpoligami karena ketaatan dan mencari keridloan Allah Azza wa Jalla, maka dalam konteks apakah generasi abad ini memutuskan berpoligami?
Dalam sebuah hadits, “Jika engkau melihat seorang wanita lalu ia memikat hatimu, maka segeralah datangi istrimu. Sesungguhnya istrimu memiliki seluruh hal seperti yang dimiliki wanita itu”. [Hadits Tirmidzi]
…. Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja. [TQs. An Nisa 3]
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala membolehkan seorang laki laki menikahi wanita lebih dari satu, dan juga memerintahkan untuk menikahi satu istri saja bila ia khawatir tidak akan mampu berbuat adil.
“Siapa saja orangnya yang memiliki dua istri lalu lebih cenderung kepada salah satunya, pada hari kiamat kelak ia akan datang dalam keadaan sebagian tubuhnya miring.” [HR. Abu Dawud, An-Nasa-I, At Tirmidzi]
Maka, poligami adalah pilihan sosial yang mubah, boleh dilakukan dan tidak berdosa orang yang tidak melakukannya. Tidak wajib dan tidak dibolehkan bagi laki laki yang merasa tidak sanggup berbuat adil.
Pasangan adalah titipan (amanah). Selama amanah itu Allah titipkan, selama itu pula ujian akan menyertainya. Jika seorang suami menginginkan seorang istri yang shalihah, maka tugas suamilah untuk mentarbiyahnya. Pun jika seorang istri menginginkan suami yang shalih, maka tugasnyalah mengarahkan dan membantunya untuk menjadi shalih. Sungguh, dihadapan Allah nanti, setiap kita akan ditanya tentang pasangan kita.
Kepada para pria, berfikir ulanglah sebelum berpoligami. Ilmu dan syaratnya tidak mudah. Sekalipun hukumnya mubah. Karena dalam poligami, ada luka perempuan yang begitu mendalam dan teramat susah untuk hilang. Dan jika berpoligami lebih banyak mudharatnya ketimbang mashlahatnya, terlebih lagi jika berpoligami bukannya mendekatkan tapi malah menjauhkanmu atau melalaikanmu dari ketaatan kepada Allah, maka ketahuilah, ini akan jadi fitnah bagimu di akhirat kelak. Fokus kepada yang wajib alangkah lebih indahnya ketimbang bersibuk ria dengan hal yang mubah.
Poligami oh poligami….
Begitu didamba pria, namun tak sedikit dari wanita betapa takutnya padamu… Wallaahu A’lam. []