“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat agar kamu tidak berbuat aniaya.” [An-Nisaa : 3].
AYAT ini turun pada tahun ke-8 hijriah. Setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menikahi seluruh istri-istrinya.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, berpoligami setelah wafatnya Khadijah binti Khuwailid, atau tepatnya ketika usia beliau 53 tahun. Rasulullah merupakan orang yang diperbolehkan memiliki istri lebih dari empat. Sedangkan para sahabat dan umatnya tidak diperkenankan lebih dari empat.
BACA JUGA: Ketika Suami Dipaksa Poligami oleh Istri
Ketika turunnya ayat ini, hanya Rasulullah yang diperbolehkan untuk melanjutkan poligaminya, sedangkan untuk para sahabat yang memiliki istri lebih dari empat maka sebagiannya harus diceraikan. Sebagaimana Diriwayatkan oleh Ahmad dari Salim dari ayahnya bahwa Ghailan bin Salamah ats Tsaqofi masuk islam sementara dirinya memiliki sepuluh orang istri. Lalu Nabi saw berkata kepadanya,”Pilihlah empat orang saja dari mereka.”
Rasulullah merupakan orang dengan akhlak yang paling mulia. Maka poligaminya Rasulullah sekalipun lebih dari empat sudah pasti dapat berlaku adil, sedangkan untuk para sahabat dan umatnya kemungkinan belum bisa berlaku adil. Sehingga para sahabat dan umatnya hanya diperbolehkan sampai empat orang istri saja.
Rasulullah berpoligami bukan tanpa tujuan. Poligami yang dilakukan Rasulullah Saw, dikarenakan tuntutan dakwah. Pada saat itu usia Nabi Saw semakin tua sementara tugasnya bertambah berat didalam menyampaikan risalahnya sehingga beliau membutuhkan orang-orang yang paling dekat dengannya untuk menjadi perantara dalam menyampaikan hukum-hukum syariat yang berkenaan dengan wanita muslimah.
Tujuan poligaminya Rasulullah dimaksudkan untuk memperluas dan memperkuat jalinan hubungan kekeluargaan dalam upaya penyebaran dakwahnya.
Perkawinannya dengan Aisyah binti Abu Bakar r.a. Aisyah merupakan wanita paling cerdas di muka bumi ini, ia meriwayatkan hadits lebih dari 2000 hadits, sehingga ini hikmah dibalik pernikahannya Aisyah dengan Rasulullah. Aisyah banyak meriwayatkan hadits tentang kehidupan rumah tangga Rasulullah serta ibadahnya Rasulullah. Sehingga ilmu dari Aisyah ini bermanfaat hingga saat ini.
Perkawinannya dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Rasulullah menikahi putri tokoh tertinggi Quraisy dan musuh terbesar Nabi Saw. Ini untuk melunakkan hati sang musuh.
Perkawinannya dengan Maimunah, bibi panglima legendaris, Khalid bin Walid, dimaksudkan untuk melunakkan Khalid ke pihaknya.
BACA JUGA: Mau Poligami? Penuhi Syarat-Syarat Ini
Begitu pula perkawinannya dengan Shafiyah binti Huyay. Awalnya ia hendak dinikahi salah seorang Raja Yahudi, kiranya tidak tepat melainkan untuk beliau.
Begitu pula ketika beliau kawin dengan Zainab binti Jahasy, suatu hikmah Ilahiah untuk membatalkan adat adopsi atau mengangkat anak gaya Jahiliah yang mengharamkan ayah angkat mengawini bekas istri anak angkatnya:
“…Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (Menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia, supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk mengawini istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya pada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (AI-Ahzab: 37). []
Sumber: Muhammad di Mata Cendekiawan Barat/ Penulis: Khalil Yasien/ Penerbit: Gema Insani/ Maret 1989