SUATU ketika beberapa wanita Madinah yang menikah dengan kaum muhajirin mengadu kepada Rasulullah SAW, karena suami-suami mereka ingin melakukan hubungan dalam posisi ijba atau tajbiyah.
Posisi Ijba adalah posisi hubungan dimana lelaki mendatangi farji perempuan dari arah belakang. Yang menjadi persoalan, para wanita Madinah itu pernah mendengar perempuan-perempuan Yahudi mengatakan, barangsiapa yang berhubungan dengan cara ijba’ maka anaknya kelak akan bermata juling. Lalu turunlah ayat tersebut.
BACA JUGA: Jima Malam Hari, Haruskah Langsung Mandi Junub? Perhatikan 2 Hal Ini
Terkait dengan ayat 233 Surah Al-Baqarah, Imam Nawawi menjelaskan, “Ayat tersebut menunjukan diperbolehkannya menyetubuhi wanita dari depan atau belakang, dengan cara menindih atau bertelungkup. Adapun menyetubuhi melalui dubur tidak diperbolehkan, karena itu bukan lokasi bercocok tanam.” Bercocok tanam yang dimaksud adalah berketurunan.
Umar Bin Khattab, pernah meminta penjelasan soal ini kepada Rasulullah langsung.
“Ya Rasulullah! Celaka aku,” ujar Umar.
Nabi bertanya: “Apa yang mencelakakan kamu?”
Umar menjawab: “Tadi malam aku memutar kakiku –satu sindiran tentang bersetubuh dari belakang.”
Maka Nabi tidak menjawab, hingga turun ayat (al-Baqarah: 223) lantas beliau berkata kepada Umar: “Boleh kamu bersetubuh dari depan dan boleh juga dari belakang, tetapi hindari di waktu haidh dan dubur.” (Riwayat Ahmad dan Tarmizi)
Muhammad Syamsul Haqqil Azhim Abadi dalam ‘Aunul Ma’bud menambahkan, “Kata ladang (hartsun) yang disebut dalam Al-Quran menunjukkan, wanita boleh digauli dengan cara apapun : berbaring, berdiri atau duduk, dan menghadap atau membelakangi.”
BACA JUGA: 2 Waktu Terbaik Jima untuk Suami Istri
Demikianlah, Islam, sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, lagi-lagi terbukti memiliki ajaran yang sangat lengkap dan seksama dalam membimbing umatnya mengarungi samudera kehidupan.
Semua sisi dan potensi kehidupan dikupas tuntas serta diberi tuntunan yang detail, agar umatnya bisa tetap bersyariat seraya menjalani fitrah kemanusiaannya. []