KETIKA Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, sebagaimana dituturkan oleh Ashim bin Umar bin Qatadah, tokoh paling berpengaruh di kota Madinah pada saat itu ialah Abdullah bin Ubay bin Salul Al-Aufi, salah seorang dari Bani Al-Hubla. Tidak ada seorang pun dari kaumnya yang dapat menandingi otoritas Abdullah bin Ubay bin Salul Al-Aufi. Sebelum dan sesudahnya, orang-orang dari suku Aus dan Khazraj tidak pernah menjadikan pemimpin lain selain Abdullah bin Ubay bin Salul Al-Aufi sampai akhirnya Islam datang.
Selain Abdullah bin Ubay bin Salul, di suku Aus terdapat tokoh berpengaruh lainnya yang juga dihormati dan ditaati kaumnya, yang bernama Abu Amir Abdu Ann bin Shaifi bin An-Nu’man. Abu Amir adalah orang tua dari sahabat Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam yang bernama Hanzhalar Al-Ghasil, ia adalah orang yang dimandikan para malaikat pada Perang Uhud. Pada zaman jahiliyah, Abu Amir adalah seorang pendeta. Namun sayang seribu sayang, justru posisi terhormat mereka berdua menjadikan mereka celaka dan membahayakan dirinya.
BACA JUGA:Â Isyarat Penghujung Kehidupan Rasulullah di Dunia
Adapun untuk Abdullah bin Ubay bin Salul, kaumnya telah mempersiapkan mutiara sebagai mahkota untuk disematkan padanya dan mengangkatnya sebagai raja mereka. Sementara mereka dalam kondisi seperti itu, Allah mengutus Rasul-Nya kepada mereka. Maka tatkala kaumnya berpaling darinya dan tidak memilih kecuali Islam, ia pun menaruh dendam permusuhan kepada Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam, dan menuduh beliau telah merampok mahkota kepemimpinannya. Ketika dia melihat kaumnya tidak suka kecuali memilih Islam, ia ikut masuk Islam namun tetap dengan menyimpan kemunafikan dan dendam yang membara.
Sementara Abu Amir bin Shaifi, ia tetap bersikukuh pada kekafirannya, dan berseberangan dengan kaumnya pada saat kaumnya telah memutuskan masuk Islam. Abu Amir memilih pergi bersama belasan orang dari kaumnya ke Makkah dengan meninggalkan Islam, dan Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah –sebagaimana dituturkan kepadaku oleh Muhammad bin Abu Umamah dari sebagian keluarga Hanzhalah bin Abu Amir– bersabda, “Janganlah kalian memanggil dia rahib (pendeta), panggillah dia si Fasiq.”
Ibnu Ishaq menceritakan: Ja’far bin Abdullah bin Abu Al-Hakam, sebelum berangkat ke Mekkah berkata kepadaku bahwa Abu Amir menemui Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam ketika beliau tiba Madinah. Ia berkata kepada Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam, “Agama apakah yang engkau datang dengannya?”
Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku datang dengan agama yang lurus, agama Ibrahim.”
Abu Amir berkata, “Aku juga menganut agama Ibrahim.”
Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Abu Amir, “Engkau tidak menganut agama Ibrahim.”
Abu Amir menjawab, “Betul, aku menganut agama Ibrahim! Wahai Muhammad, engkau telah memasukkan hal-hal baru ke dalam agama yang lurus (hanifiyah) yang bukan merupakan bagian darinya.”
Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku tidak pernah melakukan itu semua. Aku datang dengan agama Ibrahim dalam keadaan putih suci.”
Abu Amir lantas berkata, “Seorang pendusta akan Allah matikan dia dalam keadaan terusir, terasing dan dalam kesendirian.”
Yang di maksud pendusta olehnya adalah Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam. Yakni engkau Muhammad, tidak membawa agama Ibrahim dalam keadaan putih suci, sebagaimana yang kau katakan.
Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Betul! Barangsiapa berlaku dusta, Allah akan melakukan itu.”
Demikianlah apa yang dilakukan musuh Allah, Abu Amir. Ia pun beranjak pergi ke Makkah. Pada saat Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam berhasil menaklukkan Makkah, Abu Amir pergi ke Thaif. Tatkala orang-orang Thaif masuk Islam, ia pegi ke Syam, di sanalah dia meninggal dunia dalam keadaan terusir, terasing, dan dalam kesendirian.
Orang yang pergi keluar Madinah bersama Abu Amir ialah Alqamah bin Ulatsah bin Auf bin Al-Ahwash bin Ja’far bin Kilab, dan Kinanah bin Abdu Yalail bin Amr bin Umair Ats-Tsaqafi. Pada saat Abu Amir meninggal dunia, keduanya berebut hartanya dan mengadukan perkara mereka berdua kepada Kaisar Romawi. Kaisar berkata: “Orang kota mewarisi orang kota, dan orang padang pasir mewarisi orang padang pasir.” Berdasarkan keputusan Kaisar, Kinanah bin Abdul Yalail mewarisi harta Abu Amir tanpa Alqamah.
Sedangkan Abdullah bin Ubay bin Salul tetap terhormat pada pandangan kaumnya hanya saja dia senantiasa ragu-ragu hingga ia dikalahkan Islam, dan dia memeluk Islam secara terpaksa.
Ibnu Ishaq menceritakan: Muhammad bin Muslim Az-Zuhri berkata kepadaku dari Urwah bin Zubair dari Usamah bin Zaid bin Haritsah, seorang yang sangat dicintai Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam ia berkata: Suatu saat, Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam pergi menunggang keledai. Di atas keledainya ada kain pelana yang di atasnya terdapat selimut asal Fadak yang diikat dengan serat palem, sementara aku berada di belakang beliau. Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam berjalan melewati Abdullah bin Ubay bin Salul yang sedang bernaung di bawah benteng kecil yang bernama Muzahim.
Abdullah bin Ubay bin Salul saat itu tengah bersama beberapa orang dari kaumnya. Tatkala Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam melihat Abdullah bin Ubay bin Salul, beliau merasa malu melintasinya dengan mengendarai keledai. Maka dari itu beliau turun dari keledainya dan mengucapkan salam lalu duduk sejenak. Lalu Rasulullah membacakan Al-Qur’an kepada Abdullah bin Ubay bin Salul, sambil mengajaknya kepada agama Allah, mengingatkannya tentang Allah, memberi peringatan keras, memberi kabar gembira dan peringatan padanya.
Abdullah bin Ubay bin Salul diam seribu bahasa. Tatkala Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam sudah selesai bicara, Abdullah bin Ubay bin Salul berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya tidak ada orang yang lebih baik perkataannya dari perkataanmu. Apabila yang engkau katakan benar adanya, duduk sajalah di rumahmu. Siapapun yang datang menemuimu, bicaralah engkau dengannya. Sedang orang yang tidak datang menemuimu, tidak usahlah engkau bersusah payah datang kepadanya untuk mengatakan sesuatu yang orang itu tidak menyukainya.”
BACA JUGA: Isyarat Rasulullah Membuat Berhala Roboh dan Terjungkal
Abdullah bin Rawahah yang sedang bersama beberapa orang dari kaum Muslimin berkata: “Betul sekali. Biarkan kami senantiasa berada bersamanya. Biarkanlah kami membawanya ke majlis-majlis, kampung dan rumah-rumah kami. Demi Allah, inilah satu hal sangat kami sukai, sesuatu yang dengannya Allah jadikan kami mulia, dan dia memberi petunjuk bagi kami padanya.”
Ketika Abdullah bin Ubay bin Salul memperhatikan kaumnya menentang pendapatnya, ia berkata: “Kala tuanmu menjadi musuhmu, kau akan senantiasa hina dan lawanmu akan menjatuhkanmu. Bisakah burung elang harus terbang tanpa sayapnya, jika pada suatu hari bulunya dicabut, ia akan jatuh.
Ibnu Ishaq menceritakan, Az-Zuhri berkata ke padaku dari Urwah bin Zubair dari Usamah bin Zaid yang berkata: Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam beranjak dari tempat tersebut lalu pergi ke rumah Sa’ad bin Ubadah. Ucapan Abdullah bin Ubay bin Salul masih terus membersit di wajah beliau. Sa’ad bin Ubadah berkata: “Wahai Rasulullah, demi Allah, aku melihat sesuatu terbersit di wajahmu, apakah engkau baru mendengar satu hal yang tidak engkau sukai?”
Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Betul sekali.”
Sa’ad bin Ubadah kemudian bertanya: “Wahai Rasulullah, bersikaplah lemah-lembut terhadap Abdullah bin Ubay bin Salul. Demi Allah, sesungguhnya tatkala engkau datang kepada kami, kami telah mempersiapkan mahkota yang akan kami berikan padanya sebagai kepemimpinan. Ia beranggapan bahwa sesungguhnya engkau telah merampas mahkota kepemimpinannya itu darinya!” []
Referensi: Sirah Nabawiyah perjalanan lengkap Kehidupan Rasulullah/ Asy Syaikh Al Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al Albani/ Akbar Media