LEMBAGA Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) memproyeksikan potensi ekonomi kurban Indonesia tahun 2021 ini sebesar Rp 18,2 triliun yang berasal dari 2,2 juta pekurban (shahibul qurban).
Proyeksi tersebut turun dari tahun lalu yang diestimasikan mencapai Rp 20,5 triliun dari 2,3 juta orang pekurban.
“Meski tahun ini kembali tidak ada keberangkatan jama’ah haji ke tanah suci, namun kerasnya krisis dan pandemi yang berkepanjangan menyebabkan kami mengambil estimasi yang semakin konservatif,” kata Askar Muhammad, Peneliti IDEAS dalam diskusi hasil riset yang bertajuk ‘Ekonomi Kurban 2021’ pada Rabu, (14/07/2021).
Dia menambahkan bahwa turunnya estimasi tersebut terjadi karena kurban 2021 didahului oleh resesi yang panjang, yaitu diawali -5,32 persen pada Triwulan II-2020, diikuti kemudian dengan -3,49 persen, -2,19 persen dan -0,74 persen berturut-turut pada Triwulan III dan IV 2020 serta Triwulan I 2021.
BACA JUGA: Menunda Berqurban padahal Mampu, Dosakah?
“Resesi panjang dalam setahun terakhir dipastikan membuat semakin banyak masyarakat yang jatuh ke kelas ekonomi yang lebih rendah, sehingga menekan jumlah dan nilai kurban dari keluarga muslim,” ungkap Askar.
Dari 2,2 juta keluarga muslim berdaya beli tinggi yang berpotensi menjadi pekurban ini, kebutuhan hewan kurban terbesar adalah kambing-domba sekitar 1,26 juta ekor, sedangkan sapi-kerbau sekitar 414 ribu ekor.
“Dengan asumsi berat kambing-domba antara 20-80 kg dengan berat karkas 42,5 persen serta berat sapi-kerbau antara 250-750 kg dengan berat karkas 50 persen, maka potensi ekonomi kurban 2021 dari sekitar 1,7 juta hewan ternak ini setara dengan 105 ribu ton daging,” tutur Askar.
Potensi kurban terbesar datang dari Pulau Jawa, terutama wilayah aglomerasi dimana mayoritas kelas menengah muslim dengan daya beli tinggi berada. Potensi kurban Pulau Jawa diproyeksikan terdiri dari 315 ribu sapi-kerbau dan 895 ribu kambing-domba, senilai Rp 13,5 triliun, setara 80 ribu ton daging.
“Potensi kurban terbesar datang dari Jabodetabek, yaitu 167 ribu sapi-kerbau dan 449 ribu kambing-domba, senilai Rp 7,1 triliun, setara 42 ribu ton daging. Potensi kurban terbesar lainnya datang dari Bandung Raya, Surabaya Raya, Yogyakarta Raya, Malang Raya dan Semarang Raya,” ujar Askar.
Riset tersebut memperlihatkan bahwa kurban tidak hanya ritual ibadah, namun telah menjadi tradisi sosial-ekonomi besar tahunan. Sebagai negara muslim terbesar, potensi kurban di Indonesia sangat signifikan.
Menurut Askar jika kurban terkelola dengan baik, semestinya mampu menjadi kekuatan ekonomi yang tidak hanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat kelas bawah namun juga memberdayakan peternak rakyat yang tingkat kesejahteraannya juga rendah.
BACA JUGA: Ini Dia Seputar Hukum Qurban, Udhhiyah Fiqihh Qurban
“Pada masa pandemi ini, upaya mengarusutamakan kurban sebagai pranata sosial-ekonomi ini semakin menemukan relevansi dan urgensi-nya,” tutup Askar. []
IDEAS: Sembilan dari Sepuluh Daerah Paling Defisit Kurban Berada di Jawa
Peneliti Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Askar Muhammad mengatakan sembilan dari sepuluh wilayah defisit daging kurban terbesar berada di pulau Jawa pada momen Idul Adha tahun ini.
Wilayah tersebut yaitu Garut (-1.96 ribu ton), Cianjur (-1.91 ribu ton), Brebes (-1.62 ribu ton), Grobogan (-1.33 ribu Ton), Jember (-1.3 ribu ton), Pamekasan (-1.24 ribu ton), Probolinggo (-1.13 ribu ton), Cirebon (-1.13 ribu ton), Bangkalan (-1.07 ribu ton).
“Sembilan dari sepuluh daerah paling defisit daging kurban tersebut didominasi oleh daerah pedesaan Jawa, satu daerah yang berada di luar Jawa yaitu Kabupaten Bone dengan defisit sebesar 1.070 ton,” kata Askar dalam diskusi hasil riset yang bertajuk ‘Ekonomi Kurban 2021’ pada Rabu, (14/07/2021).
Askar menilai banyaknya daerah defisit kurban berada di Jawa terjadi karena jumlah mustahik atau masyarakat bawah di daerah tersebut lebih banyak dibanding potensi Pekurban atau Shohibul Qurban yang diproyeksikan.
Berbeda dengan daerah pedesaan Jawa tersebut, DKI Jakarta sebagai metropolitan terbesar di Jawa berpotensi menghasilkan 22 ribu ton daging kurban, Sedangkan kebutuhan mustahik di Jakarta hanya sekitar seribu ton, sehingga terdapat potensi surplus 21 ribu ton daging di Jakarta.
Dari perhitungan IDEAS, selain Jakarta daerah yang berpotensi mengalami surplus daging kurban adalah Bogor Raya, Depok dan Bekasi Raya (11 ribu ton), Bandung Raya (6 ribu ton), Tangerang Raya (5 ribu ton), dan Surabaya Raya (5 ribu ton).
BACA JUGA: Hikmah Ibadah Qurban
“Surplus daging kurban terjadi karena kelas menengah-atas muslim terkonsentrasi di perkotaan utama Jawa tersebut, maka potensi kurban terbesar kami perkirakan datang dari wilayah-wilayah ini,” kata Askar.
Askar menambahkan bahwa kesenjangan antara potensi dan kebutuhan daging kurban ini menimbulkan potensi distribusi kurban yang tidak merata. Dengan demikian, terdapat potensi mismatch yang besar dalam penyaluran daging kurban jika tidak dilakukan rekayasa sosial.
“Tanpa rekayasa sosial, distribusi daging kurban berpotensi hanya beredar di wilayah yang secara rata-rata konsumsi daging-nya justru sudah tinggi,” tutur Askar.
Dari fakta potensi daerah surplus-minus kurban ini, maka program pendistribusian hewan kurban keluar dari daerah asal shahibul qurban yang banyak dilakukan lembaga amil zakat saat ini adalah tepat dan positif.
Pada kesempatan yang sama Ketua Tebar Hewan Kurban (THK) Dompet Dhuafa 2021 Ahmad Faqih Syarafaddin mengatakan, sejak tahun 1994 lembaganya telah melakukan program distribusi hewan kurban dari daerah surplus ke daerah defisit.
“Program THK Dompet Dhuafa memprioritaskan penerima manfaat di seluruh Indonesia, terutama masyarakat di daerah terluar, terpencil, dan tertinggal serta daerah lain yang kerap defisit daging kurban saat Idul Adha,” ujar Ahmad Faqih.
Faqih mengungkapkan fakta lapangan yang ditemukan lembaganya ada daerah di indonesia yang masyarakatnya hanya satu tahun sekali mengkonsumsi daging. Bahkan ada daerah di pulau Manipa-Ambon selama tujuh tahun tidak pernah mengonsumsi daging.
“Mungkin bagi yang tidak pernah turun ke lapangan tidak percaya hal tersebut, tetapi kami benar-benar menemukannya dan daerah seprti ini yang menjadi sasaran distribusi kurban kami,” kata Faqih.
BACA JUGA: 6 Pengetahuan Dasar tentang Qurban, Muslim Harus Tahu
Tahun ini Dompet Dhuafa menargetkan kenaikan penghimpunan kurban THK sebesar 20 persen dibandingkan penghimpunan pada 2020. Jumlah tersebut setara dengan 52.480 ekor hewan kurban yang berupa domba dan kambing.
“Kami tetap optimis dengan target yang telah disepakati, apalagi kebutuhan pemerataan distribusi kurban sangat urgent terutama pada masa pandemi ini,” tutup Faqih. []
Ketimpangan Konsumsi Daging Nyaris Sempurna, Kurban Bisa Apa?
Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menemukan bahwa gini rasio konsumsi daging sapi dan kambing adalah sebesar 0,95. Angka ini menunjukkan bahwa konsumsi daging nyaris timpang sempurna.
“Pada kondisi status quo seperti sekarang ini, 99,02% permintaan daging nasional dikonsumsi oleh 5% penduduk terkaya. Sementara itu, 95% sisa penduduk hanya mengonsumsi 0,98% konsumsi daging nasional. Ini jelas timpang sekali.”ujar Askar, peneliti IDEAS dalam diskusi hasil riset bertajuk ‘Potensi Ekonomi Kurban 2021’ pada Rabu, (14/07/2021).
Untuk menanggulangi kondisi menge ini, IDEAS menemukan bahwa dibutuhkan intervensi minimal berupa distribusi daging sebesar 3,25 kg per kapita/tahun untuk 40 persen rumah tangga termiskin agar ketimpangan konsumsi daging dapat direduksi.
“Berdasarkan simulasi kami, dibutuhkan daging sebesar 321,7 ribu ton agar ketimpangan dapat direduksi secara signifikan. Ajang Idul Adha kami proyeksikan dapat memproduksi 104,9 ribu ton daging. Dengan mengasumsikan bahwa 104,9 ribu ton daging tersebut dihasilkan melalui lembaga filantropi Islam, maka 216,8 ribu ton sisanya harus disediakan pihak lain. Kami merekomendasikan pemerintah untuk bersinergi dalam upaya perbaikan gizi nasional ini,” tekan Askar.
BACA JUGA: Mau Qurban, Dilarang Potong Rambut dan Kuku?
Dalam skenario tanpa sinergi dengan pemerintah, intervensi lembaga filantropi Islam dapat berfokus menolong the poorest of the poor terlebih dahulu. Hasilnya ialah penurunan gini rasio dari 0,95 menjadi 0,85.
Intervensi ini mampu menciptakan kondisi di mana 1 persen penduduk terkaya mengonsumsi 19,02 persen konsumsi daging nasional dan 80 persen sisa penduduk mengonsumsi 4,78 persen konsumsi daging nasional.
“Skenario terbaik adalah ketika pemerintah ikut turun tangan bersinergi dengan lembaga filantropi Islam. Skenario ini menghasilkan gini rasio sebesar 0,66. Pada skenario ini, 1 persen penduduk terkaya hanya mengonsumsi 9,22 persen konsumsi daging nasional dan 80 persen sisa penduduk mengonsumsi 37,23 persen konsumsi daging nasional,” tutup Askar. []