Oleh: Sofistika Carevy Ediwindra, Pemimpin Redaksi eramadina
BEBERAPA waktu lalu saya memang getol membacai karya sastra Pramoedya Ananta Toer meski baru sekian kelumit dari banyaknya buku yang ia tulis. Semangat atas asupan dari tulisan Pram membuat saya semakin giat membaca karya sastra yang saya akui baru-baru ini saja saya hinggapi.
Saya percaya tidak ada suatu kebetulan di dunia ini. Nah, usai membaca sekitar empat karya Pram saya beranjak membaca buku berjudul ‘Ayah..’ karya Irfan Hamka, anak Buya Hamka. Ternyata oh ternyata dalam tulisan yang mengulas kehidupan sosok luar biasa seperti Buya Hamka tertera juga sedikut ulasan mengenai hubungan Pram dan Hamka pada masa mereka masih hidup.
Saya bukan sekali dua kali mendengar bahwa sosok Pram merupakan pentolankomunis (PKI) yang menggawangi bidang sastra. Meski belum mendalam, saya juga pernah mendengar dan sedikit tahu tentang Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang dinahkodai Pram sendiri. Namun latar belakang ini bagi saya tidak baik untuk dijadikan penghalang kita membacai karya-karyanya.
Framing awal terhadap penulis buku memang tidak boleh ditinggalkan karena tidak mungkin sebuah karya apapun bentuknya meninggalkan ideologi penciptanya. Framing itu bisa menjadi alat bantu untuk kita memiliki semacam filter awal. Namun bukan sebagai sebuah rejection (penolakan) yang membuat kita sama sekali anti terhadap karya tersebut.
Nah, kembali ke Hamka dan Pram. Di buku Ayah.. ini, Irfan memuat sebuah subjudul tentang Ayah dan Pramoedya Ananta Toer. Dalam subjudul ini, penulis bertutur tentang kisah bahwa ayahnya (Buya Hamka) pernah dituduh bahkan tidak berhenti sebatas dituduh, juga difitnah, diserang secara terus menerus selama beberapa waktu oleh Pram salah satunya melalui Bintang Timur. Bintang Timur merupakan surat kabar pro PKI kala itu. Ada sebuah ruang dalam Bintang Timur yang memfokuskan pada hal budaya. Ia bertajuk Lentera yang langsung dikomandani Pram.
Rubrik Lentera terbit setiap hari Minggu di harian Bintang Timur tersebut. Pada tahun 1963-1965 gencar terjadi penyerangan salah satunya kepada Buya Hamka. Hamka dituduh telah memplagiat karya berjudul “Magdalena” karya Mustafa Lutfi Al-Manfaluthi dari Mesir. Karya yang Pram (Lentera/PKI) tuduhkan yakni roman Hamka berjudul “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”. Tidak hanya oleh Pram. Beberapa anggota Lekra lain turut memojokkan Hamka seperti M. Muhidin melalui bukunya ”Aku Mendakwa Hamka Plagiat”. (http://satriwan.wordpress.com/2013/01/14/mendamaikan-hamka-dan-pramoedya-ananta-toer-bacaan-terhadap-aku-mendakwa-hamka-plagiat/)
Dalam buku karya Irfan Hamka ini, pengantar berasal dari Taufiq Ismail, sosok sastrawan yang juga monumental. Kata pengantarnya semacam panduan atas bagaimana sejatiya kebenaran tuduhan tersebut. Bahwa Buya antikomunis adalah benar dan justru itulah yang membuatnya asuk dalam daftar orang yang diserang PKI kala itu. Kata Taufiq Ismail, Buya diserang tidak hanya karyanya namun juga pribadinya. Buya juga sempat dijebloskan ke penjara oleh Soekarno di masa Demokrasi Terpimpin dengan tuduhan berencana menjatuhkan presiden. Taufiq Ismail juga sebutkan di pengantar bukunya bahwa tuduhan tersebut tidak terbukti dansetelah 2 tahun 4 bulan Buya dibebaskan.
Perseteruan antara Pram dan Buya memang tidak mudah hilang dari ingatan. Namun, akhir kisahnya justru sangan memukau. Buya yang terus menerus dipojokkan dikisahkan Irfan tetap tenang dan tidak menunjukkan reaksi reaktif yang berlebihan. Bahkan di pidato Buya Hamka di Taman Ismail Marzuki tahun 1969 Buya memberikan pernyataan yang bagi saya sangat gentleman. Buya memberikan pernyataan bahwa tidak semestinya karya Pram dibakar dan dilarang. Jika tidak menyukai sebuah buku ya tulislah buku untuk menandinginya. Beliau juga menyatakan telah memaafkan semua yang telah berlaku menuduh atau memfitnahnya termasuk Pram.
Satu hal lagi. Pram yang sedemikian gencarnya diceritakan menyerang sosok Buya yang antikomunis bahkan tetap saja menyuruh putrinya pergi belajar agama ke Buya Hamka. Dikisahkan bahwa putri Pram hendak meminta menikah dengan lelaki yang berlainan agama. Pram tidak menyetujui. Ia mempersyaratkan jika putrinya hendak menikah mesti seagama dan untuk itu Pram menyuruh putrinya dan calon menantunya belajar agama dan membimbing menjadi mualaf ke Buya Hamka. Taufiq Ismail dan Irfan menyoroti hal ini sebagai bentuk Pram meminta maaf secara implisit kepada Buya. Dan tentu saat sang putri Pram mendatanginya, disambutlah dengan baik hajat mereka untuk belajar agama. Masya Allah. Betapa jiwa besar pahlawan seperti Buya sangat nampak di sini.
“Masalah faham kami tetap berbeda. Saya ingin putri saya yang muslimah harus bersuami dengan laki-laki seiman. Saya lebih mantap mengirim calon menantu saya belajar agama Islam dan masuk Islam kepada Hamka.” (Pramoedya Ananta Toer dibuku Ayah.. hlm. 265). []