Oleh: Andi Ryansyah,
Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa
…
Kita semua diperanjingkan
Gaya Rabies Klosongan
Hamka diludahi Pram
Masuk Penjara Sukabumi
Jassin dicaci diserapahi
Terbenam daftar hitam
….
-Taufiq Ismail , “Catatan Tahun 1965”[1]
Begitu tanggapan Taufiq Ismail setelah karya Buya Hamka yang berjudul “Tenggelamnya Kapal Van der Wijk” didakwa plagiat oleh seorang sastrawan yang juga pengasuh lembaran Lentera dalam surat kabar ibukota Harian Bintang Timur, Pramoedya Ananta Toer.
Pada awal tahun 1963, dunia sastra Indonesia memang digemparkan oleh kasus itu. Berbulan-bulan lamanya, Pram menyerang Buya dengan tulisan-tulisan berbau fitnah di surat kabar Harian Bintang Timur dan juga Harian Rakyat. Namun Buya tak terusik dan tenang-tenang saja menyikapi hujatan sastrawan itu.
Pada suatu hari, Buya didatangi sepasang tamu. Tamu perempuan asli orang Indonesia, sedangkan tamu laki-laki keturunan Tionghoa. Kepada Buya, perempuan ini kemudian memperkenalkan diri. Namanya Astuti. Sedangkan yang laki-laki bernama Daniel Setiawan. Ketika Astuti memberitahu bahwa ia anak sulung dari Pram, Buya tertegun sebentar lalu tersenyum.
Astuti menemani Daniel menemui Buya untuk belajar Islam dan menjadi mualaf. Astuti menceritakan bahwa selama ini Daniel non-Islam dan Pram tidak setuju kalau anak perempuannya yang muslimah menikah dengan laki-laki yang berbeda kultur dan agama.
Setelah Astuti menyampaikan maksud kedatangannya, tanpa ragu, dendam, dan menyinggung bagaimana sikap ayahnya, Buya berkata “Baiklah” dan langsung membimbing calon menantu Pram itu membaca dua kalimat syahadat. Setelah itu ia menganjurkan Daniel berkhitan dan menjadwalkan belajar Islam dengannya. Benar-benar seperti tidak pernah terjadi apa-apa diantara Buya dan Pram.
Seorang teman Pram bernama Hoedaifah Koeddah pernah menanyakan kepada Pram, apa alasan Tokoh Lekra ini mengutus calon menantunya menemui Buya. Pram pun menjawab secara serius dan gamblang:
“Masalah paham, kami tetap berbeda. Saya ingin putri saya yang muslimah harus bersuami dengan laki-laki seiman. Saya lebih mantap mengirim calon menantu saya belajar Agama Islam dan masuk Islam kepada Hamka.Dalam ceramah agama di TVRI, Buya Hamka lah di Indonesia yang paling mantap membahas tauhid. Belajar Islam ya belajar tauhid.”
Meski Pram tidak minta maaf secara langsung, akan tetapi menurut Hoedifah dalam majalah Horison, Agustus 2006, secara tidak langsung tampaknya Pram dengan mengirim calon menantu ditemani anak perempuannya kepada Buya, seakan ia meminta maaf atas sikapnya yang telah memperlakukan Buya kurang baik di Harian Bintang Timur dan Harian Rakyat. Dan secara tidak langsung pula, Buya Hamka memaafkan Pram dengan bersedia membimbing menantunya belajar Islam dan masuk Islam. [2]
Subhanallah begitu lebar pintu maaf Buya terbuka. []
[1] Muhidin M Dahlan, Aku Mendakwa Hamka Plagiat: Skandal Sastra Indonesia 1962-1964, Scripta Manent: Yogyakarta, 2011.
[2] Irfan Hamka, Ayah, Republika:Jakarta, 2013