“Jadi preman itu (mungkin nasib). Tapi beradab dan jadi baik itu pilihan.”
SEWAKTU kuliah dulu, di tahun 1997, di Ledeng ada seorang preman. Putih bersih. Rambutnya gondrong. Tinggi. Mirip Nicolas Saputra. Setiap hari, dia mangkal di deket Daarut Tauhid.
Kami, kalau liat dia, selalu suka. Pasalnya, dia ini sopan banget. Kalau markirin mobil, dia menunjukkan wajah berseri-seri. Jika ga dikasih tips sama si pemilik mobil, dia santai aja. Kalau kami para mahasiwa lewat, dia senyum.
BACA JUGA:Â Canda
Kalau dia lewat depan kami, dia membungkukkan badan sambil bilang “punten”! Kan aneh preman bilang punten?
Waktu itu, saya sempet bilang, dengan tampang seperti itu, dia ga cocok jadi preman. Tapi ya gitu, nasib memang kadangkala membawa kita pada tempat-tempat yang jauh dari bayangan kita di masa lalu. Yang paling baik ya terus berusaha memperbaiki nasib.
Anyway, jadi preman, dengan tingkah laku seperti itu, tentu masih mulia, menurut saya. Saya ga tau, abang preman gondrong itu tamat sekolah atau kagak.
Itu jadi ga penting. Kita bisa ngeliat, ada orang yang dapet titel tinggi, sekolahnya sampe jauh, tapi pas tampil di ruang publik, menghadapi orang yang jauuuh lebih tua usianya, toh ga sopan juga.
BACA JUGA:Â Akang Ga Kenal Saya?
Orang-orang seperti ini ga usahlah ngomongin soal adab. Minimal etika depan orang seumuran orangtua kita.
Apa bawaan orok? Ini definisi yang batil. Ga bisalah. Once u are in a public room, u keep ur attitude. Ada value yang disetujui dan dihormati oleh semua orang, semua bangsa, dan semua golongan.
Kalau masih begitu juga, it is an option. Bukannya simpatik. Malah enek aja liatnya. Makin tinggi ilmu, makin merunduklah kita.
Ada orang status sosialnya dianggap tinggi, takabur. Ada orang yang sederhana, humble, seperti preman baik hati itu. And, I prefer the second. []