Oleh: Newisha Alifa
newishaalifa@gmail.com
TADI siang Bibi datang ke rumah. Ceritanya ibu-ibu yang putranya sekolah di SD yang sama—lulusan tiga tahun lalu, mau pada kumpul.
“Nanti kita mau sekalian ngumpulin dana buat Pak Juned. Kasihan ya dia, sampe sekarang masih aja honorer.”
Deg!
Seketika aku terhenyak mendengarnya. Benar-benar tak menyangka, bahwa sosok Pak Juned yang namanya sering kudengar sejak adikku SD itu, ternyata masih berstatus guru honorer.
Kalau adikku saja sudah lulus SD sejak sembilan tahun lalu; 2007. Sedangkan katanya Pak Juned sudah bekerja di sana sebelumnya, Ma Syaa Allah! Entah sudah berapa lama beliau menantikan status kepegawaiannya berubah menjadi lebih baik.
Loyalitasnya pada pihak sekolah, konon tak usah diragukan lagi. Tak hanya mengajar sebagai guru olahraga, Pak Juned juga adalah Pembina Pramuka yang sukses menghantarkan anak-anak didiknya memenangkan berbagai kompetisi Pramuka dengan sekolah lain.
Mataku kembali memanas mendengar penuturan Bibi, bahwa dalam keterbatasan ekonominya, beliau masih sempat mentraktir makan bakso beberapa muridnya dulu.
Masih menurut cerita Bibi, pihak sekolah pun sudah berusaha untuk memperjuangkan status Pak Juned. Namun hingga kini, entah atas pertimbangan apa, statusnya masih belum berubah. Penghasilannya masih segitu-gitu saja. Sementara anak-anak didiknya kini sudah ada yang bekerja, bahkan mungkin sudah memiliki kendaraan pribadi.
#
Kisah di atas hanya satu dari banyak kisah tentang nasib guru-guru di sekitar kita. Bahkan mungkin di luar sana, ada saja guru yang menjadi tenaga honorer selama puluhan tahun. Atau dengan kondisi kesejahteraan mereka yang lebih memprihatinkan.
Hari ini, kita melihat degradasi moral begitu merajalela. Tentunya tugas para pendidik ini menjadi semakin berat. Namun bukannya kesejahteraan yang semakin baik yang mereka dapatkan, sebagian guru malah mendapatkan tindakan tak menyenangkan dari murid dan orang tua murid. Belakangan marak pemberitaan guru yang dilaporkan ke polisi karena bertindak tegas kepada muridnya yang melanggar peraturan. Atau yang tak kalah mengenaskan, sosok yang harusnya dihormati ini malah dihajar oleh orang tua murid. Padahal kalau mau ditelusuri dulu, anaknya sendiri yang bersalah.
Beberapa saat yang lalu, seorang teman yang berprofesi sebagai guru juga berbagi cerita, bahwa gajinya belum dibayarkan lebih dari tiga bulan. Dan mereka—para guru—tidak bisa berbuat banyak.
Ya Allah … Beginikah potret kesejahteraan guru di negri yang katanya sudah merdeka selama lebih dari 71 tahun?
“Ada kok guru yang berkecukupan.”
Ya tentu ada. Tapi kebanyakan mereka tidak hanya berprofesi sebagai pengajar saja, melainkan punya usaha sampingan. Atau suami-istrinya bekerja juga, sehingga memiliki penghasilan lebih untuk menyejahterakan hidupnya.
“Lantas apa yang bisa kita lakukan?”
Jika tak bisa membantu banyak, maka doakan!
Doakanlah agar Allah senantiasa membalas kebaikan guru-guru kita. Semoga ilmu yang mereka ajarkan pada kita, benar-benar menjadi amal jariyah yang bisa mereka bawa hingga mati.
Namun jika kita punya kemampuan untuk membantu, bantulah! Takkan merugi jikalau kita menolong sosok mulia seperti para guru ini.
Bersikap santunlah jika bertemu. Bukan malah membuang muka. Tak apa mereka lupa. Daripada mereka ternyata ingat, tapi kita yang lupa atau pura-pura nggak lihat?
Profesi atau jabatan apa pun yang sekarang kelihatan keren, bahkan mentri sama presiden sekalipun, semuanya berawal dari sosok bernama; guru.
#
Terpujilah, wahai engkau ibu bapak guru.
Namamu akan selalu hidup … Dalam sanubariku. []
01092016
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word.Â