ALLA tabaraka wa ta’ala Maha Kaya, tidak memerlukan ibadah kita sama sekali. Dia berfirman:
إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنكُمْ، وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ، وَإِن تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ
Artinya: “Jika kalian kufur, sesungguhnya Allah tidak memerlukan ketaatan kalian dan tidak merugi karena kekufuran kalian. Dan Dia tidak meridhai kekufuran bagi hamba-Nya. Dan jika kalian bersyukur, Dia akan meridhai kalian.” (QS. Az-Zumar [39]: 7)
Dia juga berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya: “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)
Ibnu Katsir dalam “Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim” saat menafsirkan ayat di atas, berkata: “Maknanya adalah, sesungguhnya Aku menciptakan mereka untuk memerintahkan mereka beribadah kepada-Ku, bukan karena Aku memerlukan mereka.”
BACA JUGA: Doa Berbuka Puasa Menurut Fiqih 4 Mazhab
Jadi, kita diperintahkan Allah ta’ala untuk beribadah kepada-Nya, menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, bukan karena Allah berhajat pada kita, tapi untuk kebaikan kita sendiri.
Status kita sebagai hamba Allah, yang tunduk dan patuh pada-Nya, adalah status tertinggi dan paling mulia, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama.
Karena dengan kita menjadi hamba Allah, kita hanya akan tunduk pada-Nya. Kita tidak akan tunduk pada makhluk-Nya dan menghambakan diri pada mereka. Dengan kita menghambakan diri pada Allah ta’ala, maka kita akan merdeka dari penghambaan kepada selain-Nya.
Sedangkan orang-orang yang menolak tunduk patuh pada Allah ta’ala, mereka ada yang tunduk dan menyembah batu, pohon, patung, gunung, laut, jin, ataupun manusia lain. Dan itu jelas kehinaan, karena mereka tak layak disembah dan diibadahi, serta tak layak ditaati dan dipatuhi secara mutlak.
Karena Allah tak berhajat atas ibadah kita, dan semua ibadah dan amal ketaatan yang kita lakukan tersebut adalah untuk kebaikan kita sendiri di dunia dan akhirat, Dia tidak berhajat dan tidak ingin membebani hamba-hamba-Nya beban taklif yang tak sanggup mereka tanggung. Dia berfirman:
يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Artinya: “Allah menginginkan kemudahan bagi kalian, dan tidak menginginkan kesulitan bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah [2]: 185)
Semua perintah dan larangan Allah ta’ala, baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, tidak ada yang di atas batas kemampuan hamba-Nya. Semua masih dalam batas yang sanggup kita terima. Dia berfirman:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Artinya: “Dia tidak menjadikan dalam agama ini suatu kesempitan bagi kalian.” (QS. Al-Hajj [22]: 78)
Dia juga berfirman:
لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 286). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ
Artinya: “Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan.” (HR. Al-Bukhari)
BACA JUGA: Makna Ilmu dalam Definisi Fiqih
Beliau juga bersabda:
بُعِثْتُ بِالْحَنِيْفِيَّةِ السَّمْحَةِ
Artinya: “Saya diutus membawa agama yang lurus dan mudah.” (HR. Ahmad)
Dari sini bisa dipahami, fiqih Islam yang merupakan sisi amal praktis dari Syariah Islam, berisi ajaran yang mudah, masih sanggup diamalkan oleh manusia tanpa kesulitan yang berarti. Sisi kemudahan fiqih Islam ini terdiri dari dua hal:
1. Hukum-hukum Syariah itu sendiri berisi ajaran yang mudah dan sanggup dilakukan oleh manusia. Tidak ada bagian dari Syariah Islam atau fiqih Islam yang melebihi batas kemampuan manusia.
Memang ada masyaqqah (kesulitan) dari kewajiban atau larangan dalam hukum-hukum Syariah, karena ia memang taklif (pembebanan) dari Allah ta’ala, tapi kesulitan itu umumnya masih bisa diterima oleh manusia.
Puasa konsekuensinya lapar dan haus, namun tidak sampai membahayakan kita atau membuat kita mati kelaparan atau kehausan. Shalat konsekuensinya capek atau ngantuk, terutama untuk shalat ‘Isya dan Shubuh, namun umumnya tidak terlalu berat bagi kita untuk mengerjakannya.
Zakat wajib, tapi hanya bagi yang memiliki harta yang mencapai nishab (batas wajib zakat), dan yang dikeluarkan pun hanya 2,5% dari harta tersebut. Dan seterusnya.
2. Pada kondisi tertentu, jika seseorang tak sanggup menjalankan berbagai kewajiban Syariah, entah karena sakit, sedang safar, ada kondisi yang sulit dihindari, dan semisalnya, maka Islam memberikan kemudahan dan keringanan.
Misalnya, orang yang sakit, boleh tidak puasa Ramadhan, dan menggantinya (qadha) di bulan lain. Orang yang sedang bepergian, boleh untuk meringkas shalat fardhu yang empat rakaat menjadi dua rakaat.
Orang yang sudah tua dan tak sanggup lagi puasa, boleh menggantinya dengan membayar fidyah. Dan seterusnya.
Penulis “Al-Fiqh Al-Manhaji ‘Ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i”, dalam muqaddimah kitab tersebut, menyatakan:
إن الإسلام راعى بتشريع الأحكام حاجة الناس، وتأمين سعادتهم، ولذلك كانت هذه الأحكام كلها في مقدور الإنسان، وضمن حدود طاقته، وليس فيها حكم يعجز الإنسان عن أدائه والقيام به، وإذا ما نال المكلف حرج خارج عن حدود قدرته أو متسبب بعنت ومشقة زائدة لحالة خاصة، فإن الدين يفتح أمامه باب الترخص والتخفيف.
Artinya: “Sesungguhnya Islam dalam pensyariatan hukum-hukumnya memperhatikan kebutuhan manusia dan terjaminnya kebahagiaan mereka. Karena itu, seluruh hukum Islam sesuai batas kemampuan manusia, tidak ada hukum yang tidak mampu dilaksanakan oleh mereka.
Dan jika seorang mukallaf, pada kondisi tertentu, mengalami kesulitan yang melebihi batas kemampuannya, agama ini membukakan pintu kemudahan dan keringanan untuknya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melarang sikap ghuluw (melampaui batas) dan takalluf (mempersulit diri) dalam mengamalkan ajaran Islam. Beberapa orang shahabat bertanya kepada istri-istri Nabi tentang ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan setelah disampaikan, mereka merasa ibadah seperti itu masih terlalu sedikit.
Mereka berkata, “Siapa kita dibandingkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dosa beliau yang terdahulu dan akan datang telah diampuni.” Salah satu dari mereka kemudian berkata, “Saya akan shalat malam tanpa tidur”, yang lain berkata, “Saya akan terus puasa sepanjang tahun”, dan satu lagi berkata, “Saya tidak akan menikah selama-selamanya.” Ketika mendengar hal tersebut, Nabi kemudian berkata:
أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
Artinya: “Kalian berkata ini dan itu. Adapun saya, demi Allah, saya adalah orang yang paling takut kepada Allah dan juga paling bertakwa. Namun saya puasa dan juga tidak puasa (pada hari lainnya), saya shalat malam dan juga tidur, dan saya menikahi perempuan. Siapa saja yang tidak menyukai sunnahku, maka ia bukan dari golonganku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Dan saat ini mulai bermunculan para mufti dadakan, yang memberikan fatwa tanpa memahami fiqih Islam secara baik. Hanya karena bisa baca kitab Arab dan membaca sedikit karya para ulama, sudah berani mengajukan diri sebagai pemberi fatwa.
Fatwa yang malah menyebabkan seorang muslim jatuh pada kesulitan berat, karena tidak ada rukhshah dalam fatwa tersebut pada tempat yang harusnya diberikan rukhshah.
Fatwa yang kadang membuat orang menjauh dari Islam, karena ia melihat Islam begitu mengerikan dan tak cocok untuk manusia. Para mufti dadakan inilah yang bertanggung jawab, saat banyak yang lari dari Islam.
BACA JUGA: Sejarah Ilmu Ushul Fiqih
Ada yang berfatwa, menyuruh seseorang berhenti bekerja detik itu juga, karena dianggap bekerja di perusahaan yang aktivitasnya haram atau syubhat, tanpa memahami kondisi dan kesulitan orang yang diberi fatwa.
Ada yang berfatwa, mengafirkan seluruh penduduk negeri karena dianggap mendukung dan ridha terhadap thaghut, yang berujung aksi terorisme. Ada yang berfatwa mengharamkan total keterlibatan dalam politik, yang menyebabkan umat Islam dikuasai oleh penguasa yang membenci Islam dan menzalimi mereka.
Ada yang senang memfatwakan haramnya sesuatu, karena dia memiliki kecenderungan mempersempit hidup umat Islam, meski bertentangan dengan mayoritas ulama kontemporer yang memfatwakan kehalalan sesuatu tersebut. Dan seterusnya.
Fatwa-fatwa semacam ini, lahir dari kelemahan memahami ruh Syariah, jauh dari prinsip kemudahan dalam fiqih Islam, dan cenderung mempersempit kehidupan umat Islam dan sangat mungkin membuat mereka lari dan menjauh dari Islam.
Wallahu a’lam bish shawab. []
Facebook: Muhammad Abduh Negara