Oleh: Rosadi Alibasa, Direktur Umum Shakira Group
WAKTU itu saya masih duduk di bangku kuliah menginjak semester akhir di salah satu universitas swasta di Bandung. Salah satu mata kuliah saya waktu itu Internal Audit dan kebetulan dosen saya waktu itu menjabat jadi ketua salah satu Ikatan Internal Audit di Indonesia.
Meski banyak buku telah ditulisnya, baik yang berbasis akademis ataupun umum, dan beberapa jabatan yang disandangnya, dia tetap bersahaja. Pada waktu kuliah dia memberikan contoh sederhana tentang profesionalisme seorang tukang tempe.
Di hari minggu ketika dia menikmati pagi bersama istrinya dengan berjalan-jalan ke pasar tradisional, Istrinya membeli tempe. Waktu itu harga tempe Rp. 1.500,- per bungkusnya dan istrinya membeli tiga bungkus seharga Rp. 4.500,-.
Lalu istrinya mengeluarkan uang Rp. 5.000,- dari dompetnya dan tukang sayur tidak memiliki uang untuk kembaliannya. Istrinya berkata. “Kembaliannya ambil saja, Mang…”
Ia kembali berjalan dengan suaminya. Belum beberapa langkah dari tempat si tukang sayur, takang sayur mengejar dan memberikan sepotong tempe lagi. Sambil berkata, “Ibu, ini ambil sepertiganya lagi. Saya hanya punya hak Rp. 4.500,….”
Menarik bukan? Tukang sayur yang hidupnya sederhana tapi menjunjung profesionalisme.
Kenyataan sekarang di lingkungan kita banyaknya di pemerintahan ataupun di luar pemerintahan, tidak melakukan apa-apa saja tapi ketika diberi amplop, senangnya minta ampun. Tidak perduli uang itu dapat dari mana. Malah kadang sengaja minta.
Ironis. Tapi itulah kenyataan. []