DULU, awalnya kajian hanya dihadiri enam orang. Sampai sekitar enam bulan jumlahnya masih stagnan (tetap). Bahkan dalam kondisi tertentu, misal ketika hujan, jumlahnya turun kurang dari enam orang. Terus berusaha untuk bersabar, mencoba mengikhlaskan diri, serta memperbanyak doa kepada Allah dalam proses dakwah.
Sedikit demi sedikit yang hadir mulai bertambah. Sampai akhirnya saat ini yang ikut ngaji sudah ratusan (meliputi jamaah laki-laki, perempuan dan remaja/anak-anak). Kalau shalat jamaah, terkhusus shalat Maghrib pas ada jadwal kajian setelahnya, masjidnya hampir penuh. Padahal dulu hanya satu shaf, itupun tidak penuh satu deret.
Materi kajian yang disampaikan tidak lepas dari empat perkara. Mengajak untuk mentauhidkan Allah, menjelaskan tata cara ibadah (fiqh), mengajak untuk berakhlak yang mulia, dan tazkiyah nafs (pembersihan jiwa). Materi disampaikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami.
BACA JUGA: Dakwah Melalui Tulisan
Kajian tetap merujuk ke kitab, tapi disampaikan semi tematik. Tidak menyibukkan jamaah dengan hal-hal di luar materi, khususnya hal-hal yang berkaitan dengan hiruk pikuk perselisihan di kalangan sebagian umat muslim.
Tidak menyampaikan pembahasan-pembahasan yang berat dan njlimet yang tidak sesuai dengan kemampuan pemahaman dan daya tangkap jamaah.
Pesertanya mayoritas penduduk setempat. Ada yang dari luar, tapi tidak banyak sekali. Kalau suatu ketika yang dari luar tidak bisa hadir, tidak ngaruh. Jamaahnya punya semangat dan jiwa militan. Kalau kajian tempat lain khawatir yang hadir sedikit karena turun hujan misalnya, tidak dengan di sini.
Yang hadir tetap stabil, jika kurangpun hanya sedikit. Mereka nekat untuk hadir ke masjid dengan membawa payung atau mantel. Akhirnya ustadnya juga semangat. Walaupun hujan, ustadnya nekat berangkat.
Masjidnya dulu kecil, rendah, dan sederhana (maklum, bangunan kuno). Karena yang hadir semakin bertambah, akhirnya direhab, dengan cara diperluas dan ditinggikan. Hasilnya, masjidnya jadi mewah.
Tidak kalah dengan masjid yang ada di kota-kota besar. Serasa begitu nyaman untuk ibadah shalat ataupun ngaji. Hal ini atas inisiatif salah seorang ahli khair di tempat itu, lalu didukung oleh warga setempat.
Untuk lebih semangat, panitia menyediakan teh hangat dan snack bahkan kadang hidangan makan malam kepada seluruh jamaah yang hadir. Ini kelihatannya sepele, tapi sebenarnya menjadi ‘bumbu’ yang memiliki pengaruh yang cukup signifikan. Sehingga kalau kajian, rasanya seperti orang lagi punya hajat (nikahan atau sunatan).
BACA JUGA: 5 Penyakit di Jalan Dakwah
Apalagi kalau pas bulan Ramadhan, maka lebih ramai lagi. Semuanya kumpul, mulai dari orang tua, remaja dan anak-anak, baik putra ataupun putri. Mereka kelihatan gembira. Dari raut wajah mereka, terpancar kerinduan untuk mengaji tiap pekan. Dan tiap waktu, ada saja muka-muka baru yang hadir. Alhamdulillah.
Merintis dakwah (proses dakwah) itu amat sangat sulit, butuh perjuangan, kesabaran, serta waktu yang panjang dalam perjalanannya. Oleh karenanya, kita semua harus berusaha menjaga proses dakwah dengan sepenuh upaya. Semoga hal ini menjadi keberkahan dan amal jariyah bagi kita sekalian. Sekedar sharing, semoga menginspirasi masjid-masjid yang lainnya. Alhamdulillah atas segala kemudahan yang Allah berikan. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani