PALESTINA–Selasa (22/9/2020), Palestina secara resmi melepaskan haknya dari kursi kepresidenan bergilir Liga Arab. Hal ini dilakukan sebagai protes atas kesepakatan normalisasi hubungan yang dilakukan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain dengan Israel.
“Keputusan ini diambil setelah Sekretariat Liga Arab mengambil posisi pendukung ke UEA dan Bahrain, yang menormalisasi hubungan mereka dengan Israel yang melanggar Prakarsa Perdamaian Arab,” kata Menteri Luar Negeri Palestina, Riyad al-Maliki pada konferensi pers di Ramallah, seperti dilansir dari laman Yenisafak, Rabu (23/9/2020).
BACA JUGA: Tolak Normalisasi dengan Israel, Sejuta Orang Tandatangani Piagam Palestina
“Beberapa negara Arab yang berpengaruh menolak untuk mengutuk pelanggaran prakarsa Perdamaian Arab,” lanjutnya.
Kendati demikian, Al-Maliki menegaskan bahwa Palestina tidak akan mundur dari Liga Arab.
Pada 9 September, badan ini gagal mengeluarkan resolusi yang mengutuk langkah Abu Dhabi dan Manama untuk menormalisasi hubungan mereka dengan Israel.
Pada 15 September, UEA dan Bahrain menandatangani perjanjian yang disponsori Amerika Serikat (AS) untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, di tengah kecaman keras dari Palestina.
BACA JUGA: Israel Jarah Situs Bersejarah Palestina, Ini Imbauan PLO untuk Dunia
Dikutip dari Daily Sabah, kelompok-kelompok Palestina mengecam kesepakatan itu, dengan mengatakan itu mengabaikan hak-hak Palestina dan tidak melayani kepentingan Palestina. Kesepakatan itu melanggar konsensus Arab selama puluhan tahun bahwa tidak akan ada normalisasi hubungan dengan Israel sampai negara itu berdamai dengan Palestina dan menimbulkan tuduhan “pengkhianatan” terhadap negara-negara Teluk yang didukung Barat.
Otoritas Palestina (PA) mempertahankan validitas yang disebut “konsensus Arab.” Konsensus itu telah lama menyatakan bahwa negara-negara Arab hanya akan menormalisasi hubungan jika Israel memenuhi sejumlah persyaratan. Salah satu tuntutannya adalah agar Israel menarik diri dari wilayah yang didudukinya dalam Perang Enam Hari tahun 1967. Yang lainnya adalah menyetujui negara Palestina dengan Yerusalem timur sebagai ibukotanya, dan yang ketiga adalah menemukan solusi yang adil bagi jutaan rakyat Palestina. pengungsi dan keturunannya. []
SUMBER: YENI SAFAK | DAILY SABAH