KETENTUAN penting dalam madzhab Syafi’i, puasa sebagai ibadah dan taqarrub ilallah disunnahkan (dianjurkan) dilakukan pada setiap hari, kecuali hari-hari yang diharamkan dan dimakruhkan.
Dr. ‘Abdul Ilah bin Husain Al-‘Arfaj, salah seorang faqih Syafi’i kontemporer, dari Ahsa, Saudi Arabia, menyatakan dalam kitabnya “Li Yatafaqqahu Fi Ad-Diin“, Hlm. 222 (Penerbit Dar Al-Fath), setelah menyebutkan puasa-puasa yang diharamkan dan dimakruhkan:
ويسن صوم ما عدا ذلك من الأيام
Terjemah: “Dan disunnahkan puasa pada hari-hari selain hari-hari itu (yang diharamkan dan dimakruhkan).”
BACA JUGA: Puasa Rajab, Haruskah?
Di antara dalil yang menunjukkan hal itu adalah Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من صام يوما في سبيل الله باعد الله وجهه عن النار سبعين خريفا
Terjemah: “Siapa saja yang berpuasa satu hari di jalan Allah, Allah akan menjauhkan wajahnya dari neraka sejauh tujuh puluh tahun.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-‘Arfaj menyebutkan, hari-hari yang diharamkan puasa adalah:
1. ‘Idul Fithri
2. ‘Idul Adhha
3. Tiga hari tasyriq (11-13 Dzulhijjah)
4. Hari Syakk, yaitu hari ke-30 bulan Sya’ban, saat ada info yang beredar bahwa hari itu telah masuk Ramadhan, namun qadhi menetapkan tidak ada kesaksian shahih yang bisa diterima, sehingga berdasarkan keputusan qadhi hari itu masih di bulan Sya’ban.
Termasuk hari-hari yang diharamkan puasa juga adalah hari setelah nishfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban), kecuali jika puasa yang dilakukan tersebut memang sudah menjadi kebiasannya sebelumnya (misal ia sudah terbiasa puasa Senin-Kamis, dll), atau puasanya bersambung dari sebelum pertengahan Sya’ban. Misal jika ia sudah puasa dari tanggal 10-15 Sya’ban, maka ia boleh puasa tanggal 16 dan seterusnya, selama tidak putus puasanya tersebut. Jika putus, misal tanggal 18 tidak puasa, maka tanggal 19 dan seterusnya tidak boleh lagi puasa.
Adapun hari-hari yang dimakruhkan puasa adalah mengkhususkan puasa hari Jum’at, mengkhususkan hari Sabtu, dan mengkhususkan hari Ahad.
Di luar pada hari-hari yang diharamkan dan dimakruhkan di atas, disunnahkan puasa, kapan pun.
Lalu, bagaimana hukum puasa dahr (puasa sepanjang tahun, kecuali pada hari yang diharamkan)?
Penulis kitab “Al-Fiqh Al-Manhaji ‘Ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i” menyatakan bahwa puasa dahr itu makruh bagi orang yang khawatir dirinya akan mengalami dharar (bahaya) jika melakukan puasa tersebut, atau ia tak mampu memenuhi hak-hak orang lain yang harus ia penuhi jika melakukan puasa tersebut. Contohnya, puasa dahr makruh jika karena puasa itu tubuhnya menjadi lemah dan sakit-sakitan, atau karena puasa itu ia tak sanggup bekerja mencari nafkah untuk dirinya dan keluarganya.
Adapun jika ia puasa dahr, namun tetap kuat dan tetap mampu memenuhi hak orang lain, maka puasa tersebut sunnah atau mustahab baginya. Dalam “Al-Fiqh Al-Manhaji ‘Ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i” (1/360, Penerbit Dar Al-Qalam) disebutkan:
BACA JUGA: Manfaat Puasa Sunah Kata dr Zaidul Akbar
أما من لم يضر به صيام الدهر، ولم يفوت عليه حقا لأحد، فإنه لا يكره له، بل يستحب، لأن الصوم من أفضل العبادات
Terjemah: “Adapun orang yang puasa dahr-nya tidak membahayakan dirinya, juga tidak membuatnya melalaikan hak orang lain atasnya, maka puasa tersebut tidak makruh, malah mustahab (sunnah), karena puasa merupakan salah satu ibadah paling utama.”
Jadi, menurut standar madzhab Syafi’i, jika anda ingin puasa Sunnah dan mendapatkan pahalanya, cukup anda tahu bahwa hari itu bukan hari yang diharamkan dan dimakruhkan untuk puasa, maka hari itu anda boleh bahkan mustahab puasa, dan mendapatkan pahala puasa Sunnah.
Sedangkan, puasa-puasa Sunnah yang memiliki dalil secara khusus, seperti puasa hari ‘Arafah, ‘Asyura, Tasu’a, Senin-Kamis, enam hari bulan Syawwal, dan Al-Ayyam Al-Bidh, maka itu kesunnahannya muakkad (lebih ditekankan lagi), dan jelas memiliki keutamaan tersendiri dibanding hari-hari lain. Tapi itu bukan berarti puasa di selain waktu-waktu tersebut tidak boleh atau bid’ah. []
Wallahu a’lam bish shawab.
Facebook: Muhammad Abduh Negara