ADA tiga macam puasa menurut Syaikh Abdul Qâdir al-Jîlânî. Ulama fiqih terkemuka asal Persia ini mengungkapkan, ketiga macam puasa tersebut yakni, puasa syari’ah , puasa thariqah, dan puasa hakikat. Ketiganya memiliki derajat atau tingkatan tersendiri.
Berikut tiga macam puasa menurut Syaikh Abdul Qâdir al-Jîlânî yang diungkap dalam Kitab Sir al- Asrâr:
Puasa menurut Syaikh Abdul Qâdir al-Jîlânî: Puasa Syari’ah
Konsep puasa syariah Syaikh Abdul Qâdir al-Jîlani kurang lebih sama dengan pendapat para ulama lainnya.
“Puasa syari’ah adalah menahan diri dari makan, minum, dan bersetubuh di siang hari.” Demikian yang disampaikan dalam Kitab Sir al- Asrâr karya Syaikh Abdul Qâdir al-Jîlani.
Menurut bahasa, puasa berarti menahan diri. Menurut syara’ adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya dari mulai terbit fajar hingga terbenamnya matahari karena perintah Allah semata, dengan disertai niat dan syarat-syarat tertentu.
BACA JUGA: Puasa Bermanfaat untuk Terapi Fisik dan Mental
Rukun puasa syari’ah ada dua, yaitu niat berpuasa di malam hari sebelum fajar shadiq. Adapun niat puasa Sunnah boleh dilakukan di pagi hari. Dan meninggalkan segala yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar shadiq sampai terbenamnya matahari.
Sedangkan hal-hal yang membatlkan puasa ada tujuh yaitu memasukkan sesuatu ke dalam lubang rongga badan dengan sengaja, muntah dengan sengaja, haidh dan nifas, jima’ di siang hari, atau ketika terbit fajar shadiq, gila walaupun sebentar, mabuk atau pingsan sepanjang hari, dan murtad.
Puasa menurut Syaikh Abdul Qâdir al-Jîlânî: Puasa Thariqah
“Sedangkan puasa thariqah adalah menahan seluruh anggota badan secara lahir maupun batin, siang maupun malam, dari segala perbuatan yang diharamkan, yang dilarang, dan sifat-sifat tercela, seperti ‘ujub, sombong, bakhil, dan sebagainya. Semua itu dapat membatalkan puasa thariqah. Puasa Syari’ah terbatas waktu, sedangkan puasa thariqah dilakukan seumur hidup.” Demikian yang disampaikan dalam Kitab Sir al- Asrâr karya Syaikh Abdul Qâdir al-Jîlani.
Puasa thariqah ini tingkatannya lebih sulit dibandingkan dengan puasa syari’ah, karena tidak hanya menahan lapar, haus, dan perbuatan maksiat saja, tetapi juga menahan seluruh anggota badan dari perbuatan yang diharamkan Allah. Misalkan tangan tidak boleh digunakan untuk perbuatan zalim, mulut tidak boleh berkata yang tidak bermanfaat, dalam hati tidak boleh ada sifat ‘ujub, dengki, sombong dan sebagainya, telinga tidak boleh mendengarkan hal-hal yang tidak bermanfaat, mata tidak boleh melihat sesuatu yang diharamkan, dan masih banyak lagi.
“Oleh karena itu ada pula ungkapan, ‘banyak yang berpuasa, tetapi berbuka, banyak yang berbuka, tetapi berpuasa’,” ujar Syaikh Abdul Qâdir.
Arti dari ‘banyak yang berbuka tetapi berpuasa’, menurut Syaikh Abdul Qadir, “adalah orang yang perutnya tidak berpuasa, tetapi menjaga anggota tubuhnya dari perbuatan terlarang dan menyakiti orang lain.”
BACA JUGA: 6 Tips dari Imam Al Ghazali agar Puasa Diterima Allah
Syaikh Abdul Qâdir mengutip dua hadis qudsi “Puasa itu untukku dan akulah yang akan membalasnya” (HR Muslim) dan hadist qudsi yang lain:
“Bagi orang yang berpuasa akan mendapat dua kebahagiaan, pertama ketika berbuka, kedua ketika melihat Aku.”
Menurut Syaikh Abdul Qâdir, ulama ahli syari’ah dan ahli thariqah berbeda pendapat tentang hadis di atas. Menurut ahli syari’ah yang dimaksud dengan berbuka adalah makan saat matahari tenggelam. Sedangkan ru’yah yang mereka maksud adalah melihat hilal untuk mementukan jatuhnya hari raya Idul Fitri.
Adapun pengertian menurut ahli thariqah, berbuka ialah kebahagiaan saat masuk surga, saat mencicipi semua kenikmatan surga. Yang dimaksud dengan ru’yah menurut ahli thariqah ialah melihat Allah SWT secara nyata pada hari kiamat dengan pandangan sirri. Semoga dengan kemuliaan Allah SWT, Ia menganugerahkan kepada kita untuk bisa melihat-Nya.
Konsep puasa thariqah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani ini sejalan dengan pemikiran Imam Ghazali. Imam Ghazali tidak melulu memandang puasa sebagai ibadah badaniyah. Oleh karena itu, gagasannya tentang rahasia puasa pun menyadarkan kita akan pentingnya menunaikan ibadah puasa secara lahir batin.
Puasa menurut Syaikh Abdul Qâdir al-Jîlânî: Puasa menurut Puasa Hakikat
Adapun puasa hakikat adalah menjaga qalbu dari mencintai selain Allah SWT dan menjaga rasa (sirri) agar tidak mencintai musyahadah pada selain Allah SWT. Siiri itu berasal dari cahaya Allah, sehingga tidak mungkin condong kepada selain Allah. Bagi orang yang berpuasa tarekat, di dunia ini maupun di akhirat, tidak ada yang dicintai, diingini, dan dicari selain Allah SWT.
Jika qalbu dan sirri terjatuh untuk mencintai selain Allah SWT, maka batallah puasa thariqahnya dan ia harus melakukan qadha dengan kembali mencintai Allah dan menemui-Nya. Pahala dari puasa hakikat ini adalah bertemu dengan Allah SWT.”
Puasa hakikat ini adalah tingkatan tertinggi yang dicapai seseorang. Orang yang sudah sampai di tingkatan ini tidak berharap apapun selain Allah SWT. Karena tidak ada kenikmatan yang lebih tinggi selain berjumpa dengan Allah di hari kiamat nanti.
BACA JUGA: Apa Perbedaan Niat Puasa Wajib dan Puasa Sunnah?
Puasa hakikat ini batal ketika qalbu dan sirr mencintai selain Allah. Dan harus diqadha dengan cara mencintai Allah SWT dan meninggalkan selain Allah.
Orang yang melaksanakan puasa sesuai dengan konsep puasanya Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani akan berdampak pada psikologisnya. Orang yang berpuasa seperti yang dijelaskan oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani akan selalu terhindar dari perbuatan dosa.
Bagaimana tidak, setiap anggota badan yang selalu kita gunakan untuk beraktivitas akan terus terjaga jika mengikuti konsep puasanya Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani. Tangan, kaki, dan anggota badan yang lain ikut berpuasa sehingga puasanya tidak hanya sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan syahwat yang lain, yaitu syahwat berbicara, syahwat tidur, dan lain-lain, sehingga ia akan terjaga dari perbutan dosa dan perbuatan yang tidak bermanfaat. Jadi psikologisnya orang yang berpuasa sesuai dengan konsep puasa Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani akan menjadi sehat. []