Oleh: Arbar Wijaya
Kabid Kemahasiswaan HMJ BSA UIN Jakarta dan Bidang P3A HMI KOFAH Cabang Ciputat
ar.baruwaa@gmail.com
SEBAGAI Sebagai bagian dari rukun Islam, maka seyogyanya bagi kalangan umat Islam, puasa merupakan sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan. Sebagaimana yang difirmankan oleh-Nya dalam Surat al-Baqarah ayat 183 yang mewajibkan orang-orang beriman untuk berpuasa, sebagaimana ‘orang-orang terdahulu’ yang telah diperintahkan oleh Tuhan untuk berpuasa, dengan tujuan agar puasa menjadikan orang-orang yang melakukannya tergolong sebagai orang-orang yang bertakwa.
Takwa menurut Nurcholis Madjid adalah semangat atau rasa ketuhanan pada diri seorang manusia beriman. Sikap apresiatif kepada Tuhan merupakan inti pengalaman keagamaan seseorang dan sikap itulah yang disebut sebagai takwa. Maka perintah berpuasa adalah untuk orang-orang yang beriman, bukan hanya sekadar berislam.
BACA JUGA: Jangan Kaget, Ini Status Hadis tentang ‘Tidurnya Orang Puasa Berpahala’
Puasa menjadi sebuah bentuk apresiasi hamba kepada Tuhannya sebagai bentuk kerinduan, sebagaimana hadits qudsi yang menyatakan “Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa, sebab ia hanyalah untuk-Ku dan Akulah yang akan memberikan ganjaran padanya secara langsung”.
Surat al-Baqarah ayat 183 menjelaskan bahwa perintah puasa tidak hanya untuk kalangan umat Islam saja melainkan Tuhan juga memberikan sebuah perintah kepada umat-umat sebelum Islam untuk berpuasa agar mereka bisa masuk ke dalam golongan orang-orang yang bertakwa.
Istilah yang paling umum dari perintah berpuasa selalu berupa ibadah yang dilakukan dengan berupaya untuk menahan diri dari makan, minum, memasukkan sesuatu ke rongga badan, dan menahan seksualitas pada waktu yang sudah ditentukan, yakni sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.
Islam, Bukan Satu-satunya Umat yang Berpuasa
Cak Nur (sapaan akrab Nurcholis Madjid) dalam bukunya yang berjudul Kontektualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, menjelaskan bahwa terdapat ibadah puasa yang berbeda dengan pengertian di atas dan itu dilakukan oleh orang-orang tertentu saja.
Maryam misalnya, ibunda dari Nabi Isa as. Tuhan memerintahkannya untuk melaksanakan puasa yang berbeda dari istilah puasa pada umumnya, yakni puasa dalam hal berbicara. Kisahnya yang sangat fenomenal tentang kelahiran Nabi Isa as yang dilahirkan tanpa seorang bapak, menjadikan kisah tersebut sebagai latar belakang bunda Maryam menjalankan ibadah puasa berbicara ini. Bahkan hal ini diabadikan dalam surat Maryam ayat 26 :
“… Lantaran itu, makanlah dan minumlah (wahai Maryam), serta tenangkanlah dirimu. Dan jika terjadi engkau melihat seseorang maka katakan kepadanya, “Sesungguhnya aku berjanji (nazar) untuk melakukan puasa (shawm) kepada Yang Maha Pengasih. Karena itu hari ini aku tidak akan berbicara kepada siapa pun jua,” (QS. 19:26)
BACA JUGA: Puasa Sebagai Terapi Fisik dan Mental
Puasa berupa penahanan diri dari berbicara ini dituturkan dalam al-Quran dan pernah dijalankan oleh Maryam, ibunda Nabi Isa as, karena terancam akan diejek oleh masyarakatnya bahwa ia telah melakukan suatu perbuatan keji (sebab ia telah melahirkan seorang putra tanpa ayah).
Maka Allah Swt. memerintahkannya untuk melakukan puasa (shawm) dengan tidak berbicara kepada siapa pun. Dan hal ini dilakukan oleh Maryam selama tiga hari tiga malam lamanya, hingga kemudian Isa kecil, yang masih seumur bayi yang baru lahir, menampilkan kemukjizatannya, yakni berbicara dan memberikan penjelasan tentang kehamilan ibundanya.
Terdapat pula perbedaan waktu berpuasa pada umat sebelum Islam dengan umat Islam sekarang ini. Umat sebelum Islam (khususnya Yahudi dan Nasrani saat itu) melaksanakan puasa dengan durasi waktu hanya untuk sebagian siang, atau seluruh siang, atau bahkan siang dan malam sekaligus.
Adapula yang menjalankan ibadah puasa hanya untuk malam hari. Namun pada akhinya, Islam menyempurnakan dan menetapkan durasi waktu untuk melaksanakan ibadah puasa ini, yakni dimulai sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.
Al-Jurjawi berpandangan bahwa puasa dengan durasi waktu ini jauh lebih utama (afdhol) dibandingkan dengan berpuasa yang hanya dilakukan di malam hari dikarenakan ibadah puasa di siang hari, lebih menantang dan benar-benar penuh dengan cobaan dibandingkan dengan berpuasa di malam hari. Al-Jurjawi merujuk keutamaan ini kepada sebuah hadits Nabi yang mengatakan bahwa “Ibadah yang paling utama adalah ibadah yang paling menggigit”.
Terdapat pula model-model berpuasa yang dilakukan oleh berbagai umat di dunia (baik sebelum Islam, ataupun sekarang ini). Nabi Musa as. pernah melaksanakan puasa selama 40 hari sebelum ia berkeinginan untuk menjumpai Tuhannya di bukit Thursina; Nabi Daud as yang menghabiskan seumur hidupnya untuk melakukan puasa dengan sehari berpuasa dan sehari berbuka; Sidharta Gautama yang melakukan puasa bertahun-tahun di bawah pohon Bodi sebelum ia mencapai Nibbana (puncak kebahagiaan abadi dalam ajaran Budha); Mahatma Gandhi yang berjanji untuk melakukan puasa dengan cara mogok makan sejak 13 Januari 1948 sampai umat Hindu di India dan umat Islam di India melakukan perdamaian di New Delhi yang berdurasi 121 jam 30 menit; Kemudian ajaran Kong Hu Chu yang melakukan puasa pada tanggal 1 dan 15 pada bulan Imlek, dan sebagainya.
Bahagia adalah Kesuksesan Berpuasa
Berbagai model puasa dilakukan oleh berbagai kalangan umat manusia. Hal ini merupakan bentuk kountinuitas dari adanya puasa yang dilaksanakan oleh umat-umat terdahulu sebelum Islam, dan masih berlangsung hingga saat ini. Puasa bukan hanya sebagai ibadah yang hanya dilaksanakan oleh umat Islam saja. Berbagai umat juga melakukan puasa demi tercapainya sebuah kebahagiaan tertinggi dari setiap kepercayaannya.
Ajaran Islampun demikian, bulan Ramadhan merupakan momentum untuk menjadikan manusia kembali kepada fitrahnya, yakni dilahirkan dalam kesucian. Nabi Muhammad saw bersabda bahwa setiap anak cucu Adam, yaitu seluruh manusia ini, adalah pembuat kesalahan; namun sebaik-baiknya orang yang salah ialah mereka yang bertobat.
BACA JUGA: 4 Tips Atasi Bibir Kering Saat Puasa
Walaupun pertaubatan dapat dilakukan kapan saja, akan tetapi Allah Swt menfasilitasi umat Islam dengan menghadirkan bulan Ramadhan agar dapat kembali suci sebagai bentuk Maha Pengampun dan Maha Penyayang karena Allah Swt memahami hamba-hambanya.
Jika kita kembali kepada hadits qudsi “Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa, sebab ia hanyalah untuk-Ku dan Akulah yang akan memberikan ganjaran padanya secara langsung”, maka kembalinya manusia kepada keadaan suci sebagaimana manusia dilahirkan yang tak mengenal dosa adalah bentuk jawaban dari ganjaran yang diberikan Tuhan secara langsung kepada umatnya yang menjalankan puasa. []