PUASA wajib di bulan Ramadhan dan puasa sunnah memiliki landasan dan dalil yang jelas dalam Al-Quran maupun hadits. Namun dalam praktiknya, masyarakat memiliki aneka puasa tertentu yang biasa dilakukan untuk mendapatkan kesaktian maupun kekayaan.
Adapun letak kesesatannya dan sisi perbedaan antara puasa ‘sesat’ dengan puasa ‘syariat’ adalah:
Pertama, berbeda dari prioritas tujuannya. Telah dimaklumi bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh orang yang berpuasa adalah untuk mencapai derajat takwa:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. Al-Baqarah 183).
Makna taqwa adalah ”Melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya.” Sedangkan puasa merupakan perwujudan yang paling nyata atas ketaatan terhadapa perintah Allah SWT, kendati bertentangan dengan nafsunya.
Adapun puasa sesat jelas bukan merupakan bentuk ketaatan terhadap perintah Allah SWT. Bila kita lihat dalam ritual puasanya ada yang seolah mengharamkan nasi putih, membisu, pura-pura tuli, dan ada juga yang sampai ‘bersemedi’ di tempat-tempat yang khusus, lalu siapapun juga yang melarang mereka untuk menghindari makanan selama sekain hari, pantang untuk berbicara, pantang terhadap cahaya, pantang terhadap makanan selain yang berwarna putih dan persyaratan yang lainnya.
Bahkan dalam ritual puasa syirik ini mereka seolah telah mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah SWT untuk mereka dan menghalalkan apa-apa yang dihalalkan Allah atas mereka.
Dan sudah jadi rahasia umum tujuan yang akan di capainya biasanya untuk mendapatkan suatu kesaktian, tenaga dalam, ilmu kebal senjata tajam, ilmu pelet, ilmu penglaris. Semua itu biasanya erat hubungannya dengan meminta pertolongan atau perlindungan kepada jin yang berarti merupakan bentuk kesyirikan. Allah SWT berfirman:
“Dan bahwasannya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa (ketakutan).” (QS. Al-Jin: 6).
Kedua, caranya pun berbeda dengan puasa yang disyariatkan, seperti menahan diri dari sesuatu yang membatalkan semenjak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Adapun hari harinya, tidak boleh mengkhususkan hari-hari tertentu melainkan yang telah di khusukan oleh syariat.
Sedangkan puasa yang beraroma syirik rata rata melebihi batasan yang sudah oleh syariat seperti puasa wishol yakni menahan diri dari makan dan minum selama dua hari atau lebih tanpa berbuka ataupun sahur, padahal Nabi melarang hal seperti ini. Sebagian lagi mengkhususkan hari-hari tertentu, padahal tak ada nash yang mengkhususkannya.
Memang ada juga orang yang mendapat hasil dari prosesi puasa syirik ini. Jika ditanya “Kok bisa ya?” Jawabannya adalah karena mereka benar-benar yakin. Dan apa yang mereka dapatkan tidak akan pernah berkah. Tercapainya tujuan dengan cara tertentu bukan bukti benarnya cara yang ditempuh, akan tetapi kebenaran yang sesuai dengan syariat. Wallohualam. []