Oleh: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., MA
DALAM Al-Quran, kata atau istilah suap muncul sekurang-kurangnya dalam tiga surat. Pertama dalam QS. Al-Baqarah: 188, yang menyebutkan larangan Allah Ta’ala memakan harta orang lain dengan cara batil, yang bentuknya, sebagaimana dijelaskan Al-Haitsami, antara lain suap.
Kedua dalam QS. Al-Ma’idah: 42 dan ketiga dalam QS. Al-Ma’idah: 62, yang menyebutkan Allah Ta’ala menjelaskan berbagai karakter buruk orang Yahudi, antara lain mengonsumsi makanan haram. Pakar tafsir kalangan tabi’in seperti Al-Hasan dan Sa’id bin Jubair menafsirkan berbagai karakter buruk Yahudi dalam kedua ayat itu sebagai suap.
BACA JUGA: Bagaimana Seorang Muslim Menyikapi Harta?
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 188, yang artinya: “Janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan jalan yang batil. Dan (janganlah) kalian menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kalian mengetahui.” Tulisan ini hanya membahas ayat ini.
Untuk mendapatkan pemahaman utuh makna sebuah ayat perlu mempelajari siyâq (susunan lengkap) ayat tersebut. Bahkan jika dibutuhkan, perlu melihat pula ayat sebelum dan sesudahnya.
Menarik pula dicermati bahwa ayat tentang suap tersebut terselip di tengah ayat-ayat tentang puasa. Sebelumnya, dalam QS Al-Baqarah: 183–187, Allah menjelaskan pensyariatan puasa beserta beberapa hukum yang berkaitan dengannya.
Sebelum berpindah ke ayat 189, yang juga masih berkaitan dengan puasa, Allah menyelipkan ayat 188 yang berbicara tentang suap. Adakah keterkaitan antara puasa dan suap sehingga tema suap disisipkan di antara pembahasan puasa?
Korelasi Puasa dan Suap
Hakekat puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya seperti makan, minum dan berhubungan suami-istri. Sebagaimana telah diketahui, seluruh hal tersebut hukum asalnya halal. Pun demikian kita bersedia meninggalkannya karena takwa kita kepada Allah Ta’ala. Jika selama sebulan penuh seorang hamba berhasil menahan diri dari melakukan hal-hal yang sebenarnya halal, maka tidaklah pantas dia tidak bisa menahan diri dari sesuatu yang hukumnya haram. Semacam memakan harta orang lain dengan cara batil, yang salah satu di antara suap-menyuap.
Ibnu Rajab Al-Hambali menuturkan, “Kewajiban orang yang berpuasa adalah menahan diri dari hal-hal mubah dan hal-hal yang terlarang. Mengekang diri dari makanan, minuman dan jima’, Ini sebenarnya sekadar menahan diri dari hal-hal mubah yang dibolehkan. Sementara itu ada hal-hal terlarang yang tidak boleh kita langgar baik di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya.
Di bulan suci Ramadhan tentunya larangan tersebut menjadi lebih tegas. Maka sungguh sangat mengherankan kondisi orang yang berpuasa (menahan diri) dari hal-hal yang pada dasarnya dibolehkan seperti makan dan minum kemudian dia tidak berpuasa (menahan diri) dan tidak berpaling dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan di sepanjang zaman seperti ghibah, mengadu domba, mengumpat, menyuap dan lain-lain. Semua ini merontokkan ganjaran puasa.”
Jadi, puasa sebulan penuh dari makan dan minum haruslah diiringi dengan puasa sepanjang tahun dari perbuatan maksiat. Andaikan tidak, seakan-akan belum berpuasa Ramadhan. Sebab tujuan dan buah terbesar berpuasa adalah menggapai ketakwaan (QS. Al-Baqarah: 183).
Zakat Fitrah vs Suap
Jika kita simak syarat zakat fitrah setelah selesai berpuasa Ramadhan, lalu kita kaitkan antara kedua amalan tersebut pun memunculkan korelasi amat indah. Seakan seorang muslim berkata, “Wahai Rabbi, seselesainya aku berpuasa di bulan Ramadhan dan aku telah berhasil meraih ketakwaan, tidaklah tersisa dalam benakku keinginan untuk memakan harta orang lain – walaupun hanya secuil, dengan cara batil. Semisal suap-menyuap. Justru sebaliknya, aku keluarkan hartaku untuk kuberikan kepada orang lain.”
BACA JUGA: Setelah Meninggalkan Suap, Rezeki pun Melimpah
Pantaskah manakala kita mengulurkan tangan kanan untuk berinfak, dalam waktu bersamaan tangan kiri mengambil harta orang lain dengan cara batil? Kontadiktif! Betapa banyak keluhan orang miskin yang seharusnya menerima jatah raskin 15 kg per bulan harus rela menerimanya 3 kg saja! Mengapa? Karena orang-orang kaya dan mereka yang berkecukupan iri dan menuntut jatah pula! Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Sudah matikah hati dan perasaan mereka? Bukannya menyisihkan sebagian hartanya untuk diinfakkan kepada kaum papa, malah menyerobot jatah mereka! Anak SD pun tahu arti raskin, beras untuk orang miskin, bukan beras untuk orang kaya!
Sebuah Renungan
Realitas menunjukkan kesemarakan Ramadhan semakin meningkat. Ironisnya, bersamaan dengan itu penyimpangan dan ketidakjujuran berjalan terus. Padahal, sebulan bulan kita dilatih dan didik berlaku jujur, menjadi orang yang dapat dipercaya. Bila selama satu bulan itu orang-orang yang berpuasa benar-benar berlatih serius dan penuh penghayatan terhadap hikmah puasa, maka pancaran kejujuran akan terpantul dari dalam jiwa mereka.
Kalau puasa Ramadhan yang dilakukannya tidak melahirkannya menjadi manusia jujur, berarti kualitas puasanya masih sebatas lapar dan dahaga. Puasanya tidak memantulkan kejujuran. Kalau seorang yang berpuasa masih mau menerima suap, berarti kualitas ibadahnya masih rendah. Kalau orang yang berpuasa masih mau melakukan mark up proyek, korupsi dan kolusi, berarti puasanya masih jauh dari tujuan puasa.
Kalau pasca puasa Ramadhan, kejujuran semakin tipis, bahkan sirna, sementara pungli, korupsi dan kolusi tetap menjadi kebiasaan, barang kali puasanya tidak didasari iman. Mungkin berpuasa hanya karena mengikuti tradisi. Semoga kita tidak termasuk golongan tersebut. []
SUMBER: PENGUSAHA MUSLIM