Istriku…
Jika engkau bumi, akulah mentari.
Aku menyinari kamu, kamu mengharapkan aku.
Ingatlah bahtera yang kita kayuh.
Mentari menyinari bumi, ah silau.
Tapi, aku ingat satu hal.
bahwa bukan hanya bumi yang disinari mentari.
Jadi relakanlah aku menyinari planet lain.
Menebar sinarku, menyampaikan faedah adanya aku.
Karena itu sudah kodrati.
Suamiku……
Bila Kau memang mentari.
Aku rela kauberikan sinarmu tuk planet lain.
Karena mereka juga butuh sinarmu.
Dan aku pun tak kan pernah kekurangan cahayamu.
Tapi bila kau hanya sebuah lilin.
Janganlah bermimpi menyinari planet lain.
Kamar kitapun belum sanggup kauterangi.
Berkacalah pada cermin di sudut sana.
Di tengah remang-remang cahayamu.
Lihatlah siapa dirimu, mentari atau lilin? []
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” [An-Nisaa’/4: 3].