Supadilah Iskandar
Penulis adalah cerpenis dan peneliti sastra milenial Indonesia, menulis prosa dan esai di berbagai media nasional, luring dan daring
supadilahiskandar@gmail.com
Sufi dan Penyair Tua
Penyair-penyair tua itu bertanya,
“Apa yang menyebabkan kami takut mati?”
Sang Guru Sufi menyatakan bahwa selama ini
kalian tidak menghasilkan apa-apa,
meskipun puluhan buku sudah terbit dan terjual jutaan eksemplar.
Kalian hanya berkarya untuk kepentingan dirimu
sambil menumpuk dendam kesumat
pada lawan-lawan politikmu di dunia sastra.
Sementara, kalian berdalih bahwa politik itu kotor,
tanpa sempat berkaca dan muhasabah tentang kekotoran batinmu.
Kalian hanya berkreasi sekehendak hatimu sendiri,
diilhami dari sentimen-sentimen primordial
yang dipupuk selama puluhan tahun.
Kalian hanya sibuk mengultuskan diri sebagai berhala,
memuja-muji prahara budaya yang kalian ciptakan
demi keuntunganmu sendiri.
Kalian terus memelihara berhala kata-kata,
hingga menumpulkan daya nalar dan imajinasi
serta menghambat mekarnya pemikiran bagi tunas-tunas muda.
Sang Guru Sufi menambahkan,
bahwa kalian tak lebih dari para pendendam dan pendengki sejati,
hanya setia pada kata-kata yang kalian nikmati keelokannya
dalam batok kepalamu sendiri.
Kalian merasa takut jika kata-kata itu meninggalkan
dan ditinggalkan oleh kalian sendiri,
terlindas oleh hempasan perubahan dan dialektika zaman.
Sang Guru Sufi mengakhiri petuah dan fatwanya,
bahwa sesungguhnya kalian memang takut akan kematian
lantaran kalian begitu jatuh cinta pada kreasi dan karyamu sendiri.
Padahal, umur kalian sudah menua,
sementara kalian masih sibuk membangun rumah-rumah duniamu
sambil mengabaikan kepentingan bagi rumah akhiratmu,
lalu bagaimana dengan tanggung jawab moralmu
dalam pengadilan sejarah? ***
BACA JUGA: Puisi tentang Malam Pertama Alam Kubur
Keyakinan Penyair Tua
Di usia senjanya, penyair itu bagaikan seorang mistikus ulung
yang memiliki ribuan murid di berbagai pelosok daerah.
Para muridnya memiliki keahlian di bidangnya,
berkiprah selaku pendidik bagi proses kecerdasan umatnya.
Mereka melahirkan karya-karya yang melampaui zamannya,
sanggup mengguratkan pena yang melesat
dengan kecepatan peluru yang keluar dari selongsongnya.
Setelah hari-hari kematiannya, si penyair tua memprotes
dan menggugat Tuhan,
kenapa dirinya masuk ke surga yang paling bawah
ketimbang murid-muridnya?
Bukankah ia telah banyak berkreasi dan berkarya,
serta menulis puluhan buku yang telah dibaca
oleh ribuan penggemar di zamannya?
Penyair tua merasa tak rela pada kehendak dan keputusan Tuhan,
hingga malaikat pun datang dan kembali menimbang ulang
amal-amal perbuatannya selama hidup di dunia fana.
Akhirnya, amal-amal kebaikannya tak sanggup mengimbangi
segala amal-amal buruknya, karena dibebani oleh keangkuhan
dan kesombongan yang selalu menyelimuti dirinya
sampai ajal menjemputnya. ***
Mencari Bahagia
Apa yang sebenarnya kau cari, wahai penyair tua?
Jika kau katakan pentingnya kebahagiaan hidup,
sanggupkah kau memahami arti kebahagiaan yang sesungguhnya?
Kau berdalih bahwa manusia perlu mencari kebahagiaan,
itukah yang kau maksud?
Apakah benar kebahagiaan perlu dicari dan dilacak jejaknya?
Apakah kau merasa bahagia setelah menerbitkan buku-buku?
Padahal sejatinya, kau harus senantiasa bahagia
di sepanjang goresan pena
dalam mengguratkan karya-karyamu.
Kau berdalih bahwa menerbitkan buku
dan menerima royalti adalah kebahagiaan,
namun setelah kau raih dan kau habiskan sekehendak hatimu,
sudahkah kau rasakan arti kebahagiaan itu?
Adakah kau bahagia dengan membeli barang-barang kebutuhanmu?
Lalu, setelah kau peroleh barang-barang konsumsi itu,
benarkah kau sudah merasa bahagia?
Kaupun sibuk bersaing dengan para penulis muda dengan dalih
bahwa kekayaanmu akan kau manfaatkan untuk keliling dunia.
Lalu, sudahkah kau merasa bahagia setelah berkeliling
ke negeri-negeri megapolitan itu?
Bukankah setelah kau turun dari jok-jok empuk kendaraanmu,
tetap saja kau kembali pada batok kepalamu yang mengeras bagai batu,
sampai kau sibuk bersaing kembali dengan generasi muda
dan dibeliti oleh hasrat keinginan yang menggebu-gebu.
Untuk apa kau sibuk berlari dan berkejaran mencapai suatu tempat,
meski pada akhirnya kau akan bermuara
di tempat yang itu-itu juga. ***
BACA JUGA: Terlena, Puisi oleh: Buya Hamka
Kaidah Menulis Puisi
Apalah makna dari kaidah-kaidah puisi
bagi suatu bangsa yang sedang berproses menjadi bangsa
juga bagi pengguna bahasa yang berproses menerima serapan
dari segala suku dan bangsa-bangsa dunia.
Sesungguhnya, berkomunikasi dengan bahasa
adalah soal kenyamanan dalam memaknai
dan memahami kata-kata
agar dipetik hikmahnya bagi keluhuran budi manusia.
Bukan semata-mata demi estetika kebenaran
bagi kelompok ideologi tertentu,
juga bukan demi kemolekan frase dan diksi
yang hanya dinikmati sebatas oleh penggunanya semata. ***
Rendra di Usia Senja
Tidak sulit bagi generasi muda memahami sajak-sajak Rendra,
biarpun dalam puisi maupun lirik-lirik lagu Kantata Takwa.
Baginya, kesederhanaan berbahasa adalah jalan pilihan
yang dapat mempersatukan jiwa-jiwa umat manusia,
tanpa harus meliuk-liuk berlika-liku mempermaikan kata.
Sebab, berkomunikasi dengan bahasa
tak pernah mengenal kebakuan dan kebekuan.
Di usia senjanya, Rendra semakin memahami
bahwa dalam sepanjang sejarah politik
umat manusia bersengketa di wilayah teori bahasa
yang tak pernah mengenal kebakuan itu.
Fungsi bahasa bisa ditarik-ulur ke mana-mana
bergantung dari kepentingan pemakainya.
Kita orang Indonesia menggunakan kata ‘padu’
untuk saling mempersatukan dan bersatu padu,
sementara bagi orang Jawa, kata yang sama diartikan
sebagai pertengkaran dan saling bermusuhan. ***
Si Buta dan Penyair Tua
Tahukah kau mengenai momen paling berharga dalam hidupmu,
yang dapat membuatmu begitu mulia, di mata Tuhan dan manusia?
Demikian firman Tuhan dalam mimpi indahmu malam itu,
menyibak rahasia masa silam, ketika kau sedang berceramah
di hadapan ratusan sastrawan terkemuka dari penjuru tanah air.
Lalu, kau menyarungkan ego dan keangkuhanmu untuk menutup
dan mengakhiri ceramahmu,
kemudian menghampiri seorang buta bernama Maktom
yang jauh-jauh datang dari Irian Jaya.
Ia menanyakan sesuatu yang sederhana,
namun sangat bermakna baginya.
Saat itu, kau berusaha melayani dan menanggapinya,
sementara kau meminta maaf dan pamit
kepada ratusan sastrawan terkemuka itu,
seraya mengajak Maktom untuk duduk-duduk
di serambi gedung kesenian, serta bertanya dengan santun,
“Apa yang bisa saya bantu, Pak?”
Ya, momen itulah yang mengangkat dejaratmu,
hingga menjadikanmu begitu agung dan mulia,
baik dalam pandangan Tuhan maupun makhluk-makhluk-Nya. ***
BACA JUGA: Puisi Epik Italia Berusia 550 Tahun Ditemukan, Isinya Pujian untuk Sultan Ottoman
Puisi Terakhir
Dari sekian kumpulan puisi yang kutuliskan
serta dibaca oleh ribuan penggemar,
hanya satu kumpulan puisi yang memberiku kepuasan
dan ketenangan batin.
Ya, hanya satu kumpulan puisi yang tidak seberapa royaltinya
dan tidak seberapa jumlah pembacanya,
meski buku tipis itu hanya berisi beberapa puluh halaman
yang kuberi judul pada jilidnya sebagai “Lebah”.
Berkali-kali wawancara dengan puluhan wartawan,
hanya karya lebah itulah yang kusanjung dan kusebutkan,
suatu kumpulan puisi sederhana yang biasa-biasa saja,
dan diilhami oleh seekor lebah yang hinggap di ujung penaku,
pada suatu senja kala aku hendak menyelesaikan kumpulan puisi,
yang rencananya kutulis sejumlah 100 halaman penuh.
Namun, karena lebah yang hinggap di ujung pena itu
dan menghisap habis tinta-tinta penaku, aku pun tercenung dan terdiam
memerhatikan lebah yang terus menghisap dengan tenangnya.
Hal itu dikarenakan tunas-tunas bunga yang kian mengering
tanpa sanggup memberi seteguk saripati bunga
sepanjang musim kemarau itu.
Kini, setelah lebah itu pergi dengan perut yang sudah terisi,
semoga bunga-bunga di halaman rumahku akan kembali mekar,
dan semerbak mewangi seperti sedia kala.
Meski cukuplah kuputuskan karya terakhirku berisikan 99 puisi,
biarpun pihak penerbit mengusulkan untuk menggenapkannya. []