Cerpen Awang Blackdog
BAGI penduduk Pulau Cuki, hujan adalah Tuhan. Pesta pora dengan tarian gemulai bernada gempita adalah penyambutan untuk Tuhan. Mereka meyakini dan tidak tergerus waktu sedetikpun, hujan adalah Tuhan.
Pulau Cuki berada jauh dari warna-warni dunia. Ia tersuruk jauh di tengah samudra. Peradaban berjalan tanpa ada manusia luar yang pernah mengunjungi. Kelahiran, kehidupan dan kematian tetap bertumpu dalam satu poros, Pulau Cuki.
Waham Jena, begitu kami menyebut orang yang dituakan di Pulau Cuki. Ia adalah juru kunci. Ia adalah lembaran sejarah yang mencatat segala asal usul Pulau Cuki. Ia generasi ke tujuh puluh enam. Lama memang. Beratus tahun Pulau Cuki telah melintang dan senyap bergemuruh di tengah lautan luas.
“Siapa orang pertama di Pulau Cuki ini, wahai Waham Jena ke-76?”
“Kenapa tiba-tiba kau mempertanyakan itu?”
“Aku hanya ingin tahu.”
“Hanya ingin tahu? Tidak ada faedahnya jika hanya ‘ingin tahu’. Engkau harus punya alasan untuk setiap pertanyaan selain kata ‘ingin tahu’.”
“Maaf, Waham Jena ke-76. Namun keingintahuan ini setidaknya akan membawaku kepada pertanyaan ‘kenapa hujan adalah Tuhan kita?’. Dan satu lagi, apakah ada kehidupan manusia lain selain peradaban di Pulau Ceki ini? Maaf atas kelancanganku, wahai Waham Jena ke-76.”
Tetra, pemuda Pulau Cuki. Memberanikan diri bertanya pada Waham Jena. Maklum, kepala Tetra penuh berisi tanya. Saat penduduk Pulau Cuki bergelak tawa dalam gemulai untuk menyanjung hujan yang turun deras, Tetra hanya diam sambil terus menatap ke langit. Selalu saja ada tanya dalam kepalanya. Bersahut-sahut berakar.
“Tetra, seperti apa yang terukir di dinding bebatuan ini. Orang pertama di Pulau Cuki adalah Waham Jena. Kami menyebutnya Waham Jena ke-1. Sosoknya tinggi besar. Wajahnya elok dengan suara berkharisma menyanjung langit. Ia bersama seorang perempuan bernama Derniala. Mereka berdua melarikan diri dari peradaban di luar sana, di pulau-pulau luas di luar sana. Lama mereka terombang-ambing di lautan. Hingga pada suatu malam hujan deras menenggelamkan mereka dan kemudian mendamparkan tubuh mereka di pulau ini.”
“Melarikan diri? Kenapa?” ujar Tetra penuh tanya.
“Karena agama. Di luar sana ada pembentukan bermacam agama. Mereka lahir dalam keluarga yang berbeda agama. Di sana, agama menjadi bahan untuk perang. Apalagi ketika mereka bertemu dan terkait rasa, keluarga mereka menolak keras. Benar-benar keras prinsip seseorang di sana untuk menghebatkan agama masing-masing mereka. Waham Jena memberontak. Hasilnya, kesakitan yang dilempar setiap orang ke jiwa, hati dan tubuhnya.”
“Lalu ia lari bersama Derniala?”
Waham Jena ke-76 mengangguk pelan.
Setiap pertanyaan yang ada di kepala Tentra terus menciptakan akar yang bercabang. Satu pertanyaan menghasilkan jawaban yang berbentuk dua sampai lima pertanyaan. Begitu seterusnya. Kepalanya berisik dengan gema-gema tanya.
Aku adalah teman baik Tetra. Kami menghabiskan siang dan malam bersama-sama. Akrab berdua mencari hewan-hewan lucu, mengejar kelinci, menembak burung, mandi di pantai, memanjat pohon pinus dan permainan lainnya di Pulau Cuki ini. Apa yang ada di dalam kepala Tetra tidak terlalu menjadi hal berarti bagiku. Aku hanya menganggap Tetra adalah teman sepermainan.
“Kenapa hujan adalah Tuhan, wahai Waham Jena ke-76?”
Tiga hari berlalu, Tetra kembali menemui Waham Jena ke-76. Ia gigih bertanya. Aku hanya menemani saja.
“Tidakkah kamu ingat apa ceritaku tempo hari? Hujan telah membawa Waham Jena ke-1 dan Derniala menemukan pulau ini. Maka itulah mereka meyakini hujan adalah Tuhan. Hari-hari yang mereka lewati di pulau ini juga karena adanya hujan. Hujan telah memberi penawar dahaga, hujan menumbuhkan pepohonan dan hujan membuat hewan-hewan di sini ikut berkembang biak. Banyak hal, dan semua itu karena hujan.”
“Kalau memang begitu, kenapa harus hujan? Bukankah ada sosok yang menciptakan hujan tersebut? Bisa saja Tuhan adalah awan. Atau, bisa saja petir. Petir yang memaksa awan untuk menurunkan hujan. Saya rasa dibalik itu ada lagi sosok yang membuat petir menggelegar. Rangkaian inikah yang membawa kita menuju Tuhan, Waham Jena ke-76?”
Tetua Pulau Cuki diam. Ia menatap langit. Ia mencoba mengolah persepsi yang diutarakan oleh Tetra. Sebagai tetua pulau ia bijaksana. Waham Jena ke-76 menggenggam hangat bahu Tetra. Ia tersenyum dan berlalu menuju Istana Jengkulan, rumah bagi tetua pulau.
***
Pulau Cuki teramat sepi. Ketika mata memandang jauh samudra, sekeliling hanya terlihat lautan. Tetra selalu mengucap tanya, bagaimana kehidupan di pulau-pulau lain? Apa Tuhan mereka? Apa yang mereka kerjakan setiap hari di dunia ini? Apakah mereka sama dengan kami di sini? Apakah ada yang menTuhankan pepohonan, bebatuan atau sosok legenda? Beruntun pertanyaan itu diutarakan Tetra pada langit di atas sana. Aku hanya mendengar, tidak berani berpersepsi.
“Bagaimana caranya biar kita bisa berlayar di lautan luas dan menepi di pulau-pulau seperti yang diceritakan Wahan Jena, Sangkala?”
Pertanyaan yang tidak pernah terpikir olehku, apalagi jawabannya.
“Aku yakin, ada Tuhan yang benar-benar satu di atas sana. Kita harus mencari-Nya, Sangkala.”
Aku masih diam atas apa yang dilontarkan Tetra.
“Kita harus membuat sebuah perahu!” ujar Gedis. Ia adalah perempuan Pulau Cuki.
***
Hari-hari berlalu dengan kekeringan. Tanah telah retak bercabang. Pohon-pohon meringis kering. Kerontang dihoyak angin laut. Telah dua purnama berlalu, hujan tidak kunjung membasahi Pulau Cuki.
“Wahai Waham Jena ke-76, apa yang harus kami perbuat dengan kekeringan ini? Kenapa Tuhan tidak lagi mau turun ke Pulau Cuki? Penduduk telah banyak yang mati kelaparan dan kehausan akibat kekeringan ini. Engkau pun juga telah ringkih akibat keadaan ini, wahai Waham Jena ke-76,” ujar Golia, seseorang yang ditunjuk sebagai pemimpin ritual pemanggil Tuhan di Pulau Cuki.
“Tak mampu aku berpikir, Golia. Tubuhku rapuh.”
Golia menunduk lesu. Telah acap kali ia memimpin ritual pemanggilan Tuhan, tetapi nihil. Kering kerontang meretakkan kehidupan di Pulau Cuki. Waham Jena ke-76 juga tampak tak berdaya. Ia sakit parah. Pandanus conoideus tidak bisa ditemukan untuk obat tetua. Tanama itu banyak yang layu dan mati merengas.
Beberapa saat kemudian, Golia mengumpulkan penduduk di tanah lapang. Kesekian kalinya untuk pemanggilan Tuhan. Harus khusyuk dan khidmat.
“Wahai para penduduk Pulau Cuki. Di sini kita berkumpul bersama, di sini kita panjatkan kidung alam semesta untuk merayu hujan membelai tanah lestari. Mari, mari kita lantunkan Syair Gundara,” ucap Golia.
Penduduk Pulau Cuki berdiri tegap sambil menadahkan tangan dan kemudian bersenandung, “Hondara murja. Titik air mengurai jinawa arahinamu. Kursainama halaikatu basahi raga dalam sulaman deras berjuta remah. Jiwa guranda titisan cakra bersila, kami haturkan jumawa hanya padaMu.”
Syair itu didendangkan terus menerus. Mereka bagai kerasukan roh. Menekur, gemetar dan larut dalam ritual. Hujan belum juga datang.
***
Esoknya, aku, Tetra dan Gedis telah siap berlayar dengan perahu hasil karya kami berdua. Perahu dari pepohonan yang tumbang akibat kekeringan. Dua alasan kami, pertama; untuk mencari pulau lain di luar sana dan kedua; kami ingin membawa hujan agar kembali lagi ke Pulau Cuki.
“Bagaimana? Apakah kalian sudah siap?”
Aku mengangguk. Begitupun Gedis
Penduduk pulau melepas kami dengan haru. Lambaikan tangan mereka menyiratkan pesan, bawalah Tuhan ke Pulau Cuki.
Kami telah melewati siang di lautan lepas. Malampun siap menyuguhkan kegelapan. Sebuah obor kecil menjadi penerang. Tiba-tiba saja ombak mengalun bertambah keras. Aku dan Tetra mulai bersiap melipat layar. Sepertinya akan ada badai. Benar saja. Kami dihempas ombak yang diramu badai. Terombang ambing. Aku berpegang kuat pada sisi perahu.
“Biar! Biar saja badai ini datang. Biar kita tahu apakah memang hujan adalah Tuhan. Ini yang dirasakan oleh Waham Jena ke-1,” teriak Tetra.
***
Badai semakin kencang bergemuruh. Hujan tajam menghujam Bumi. Malam itu penduduk Pulau Cuki berpesta merayakan kedatangan Tuhannya. Tapi bahagia hanya sebentar saja. Tiba-tiba penduduk cemas. Hujan menggila bersama badai yang berkejaran. Mereka terhempas dan tenggelam dalam teriakan pilu. Air laut naik menghantam Pulau Cuki. Seketika daratan itu tenggelam dilahap lautan luas. Dalam kesekaratan nyawa, Waham Jena ke-76 berucap lirih, “Tuhan telah marah”. Tidak ada satupun penduduk pulau itu yang selamat.
***
Aku, Tetra dan Gedis terhuyung melawan badai disertai hujan deras. Ombak bergulung-gulung menghempas perahu kami. Aku dalam ketakutan yang teramat hebat. Obor telah terlepas dan hilang terbenam ke dasar laut. Hanya gelap, benar-benar hitam. Aku berpegang pada sisi perahu sekuat mungkin.
Tiba-tiba terdengar teriakan Tetra. Ia jatuh terhempas. Hilang ditelan ombak.
***
Aku dan Gedis terdampar di sebuah pulau yang cukup luas. Pagi itu ada pelangi yang indah. Angin berhembus pelan menyejukkan. Ombak telah kembali lembut membelai pasir pantai. Kehidupan memang harus berlanjut. Aku dan Gedis siap untuk membentuk peradaban baru.
“Gedis, sekarang aku adalah Sangkala ke-1. Tuhan kita bukan lagi hujan. Mulai sekarang, Tuhan kita adalah badai.” []