TAK semua orang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Adakalanya seseorang merasakan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup, hingga mendorongnya untuk meminta bantuan orang lain. Salah satunya meminjam materi.
Ketika seseorang meminjam, tentu ada hal yang bisa ia jaminkan. Ia bisa berutang karena yakin bisa membayarnya. Ia memiliki kelebihan, berupa upah dari hasil kerja yang ia lakukan. Tapi, semua yang telah dipersiapkan itu, bisa saja hilang di luar dugaan kita. Bisa jadi kita akan merasakan kebangkrutan. Lalu, bagaimana dengan utangnya?
Dalam kasus seperti ini, dalam Islam kita mengenal istilah At-Taflis. Apakah itu? At-Taflis ialah seseorang yang mempunyai utang, sedangkan seluruh kekayaannya habis hingga tidak tersisa sedikit pun untuk membayar utangnya. Nah, bagaimana hukum Islam memandang hal ini?
1. Orang yang mengalami at-taflis (bangkrut) dikenakan al-hajru, yakni ia dilarang mengelola kekayaannya jika para kreditur menghendakinya.
2. Seluruh asset orang yang mengalami at-taflis dijual kecuali pakaiannya dan sesuatu yang harus dimilikinya seperti makanan, kemudian hasil penjualannya dibagi secara rata di antara para kreditur.
3. Jika di antara salah satu kreditur menemukan barangnya dalam keadaan utuh tanoa perubahan sedikit pun pada orang yang mengalami at-taflis, ia lebih berhak mengambilnya daripada krediur lainnya. Sebab, Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa menemukan barangnya di orang yang telah bangkrut, maka ia lebih berhak terhadapnya,” (Muttafaq alaih).
Ini dengan syarat ia tidak pernah mengambil sedikit pun dari uang hasil penjualan barang tersebut. Jika ia pernah mengambilnya, ia mempunyai hak yang sama dengan para kreditur lainnya.
4. Barangsiapa terbukti mengalami kesulitan keuangan oleh hakim atau pengadilan dalam arti ia tidak mempunyai kekayaan yang bisa dijual untuk melunasi utangnya, ia tidak boleh ditagih. Sebab, Allah Ta’ala berfirman, “Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan,” (QS. Al-Baqarah: 280).
Rasulullah ﷺ bersabda kepada salah seorang kreditur dari generasi sahabat, “Ambillah apa yang kalian dapatkan dan kalian tidak memiliki hak selain itu,” (Diriwayatkan Muslim).
5. Jika harta orang yang mengalami at-taflis telah dibagi-bagi, kemudian datanglah seorang kreditur yang tidak pernah mengetahui pemberlakuan al-hajru terhadapnya dan juga tidak mengetahui penjualan assetnya, maka ia menemui para kreditur dan meminta hak sama dengan mereka.
6. Barangsiapa mengetahui pemberlakuan al-hajru pada salah seorang debitur (orang yang bangkrut), kemudian ia melakukan transaksi bisnis dengannya, maka ia tidak mempunyai hak yang sama seperti para krediut lainnya dan utangnya tetap menjadi tanggungan debitur tersebut (orang yang bangkrut) hingga ia bisa membayarnya. []
Referensi: Ensiklopedi Muslim Minhajul Muslim/Karya: Abu Bakr Jabir Al-Jazairi/Penerbit: Darul Falah