Oleh: Mia Fitriah
el.karimah@gmail.com
CERITA ini berawal dari Ali seorang putra mahkota dari Khalifah al-makmun, Khalifah ketujuh Bani Abbasiyah yang melanjutkan kepemimpinan saudaranya, Al-Amin., Pada periode al-Ma’mun berkuasa, ilmu pengetahuan berkembang pesat lewat penguatan institusi Bait al-Hikmah.
Bekal kepintaran dan kecintaan pada ilmu itulah yang membuat periode kekhilafahan di masanya tercatat sebagai masa keemasan Abbasiyah, melanjutkan kisah gemilang ayahnya, Harun ar-Rasyid.
Anak Khalifah al-makmun ini selalu memperhatikan aktivitas rakyatnya. Suatu hari ia melihat laki-laki yang bekerja sebagai kuli pikul dan pada diri laki-laki itu terlihat adanya tanda keshalihan dan ahli ibadah.
Dilihatnya laki-laki itu, Dia memikul barang-barang dari satu toko ke toko yang lain dan dari satu tempat ke tempat yang lain. Di pagi hari ia sempatkan shalat Dhuha di sela-sela bekerja, lalu kembali bekerja sampai saat menjelang Zhuhur. Selanjutnya, ia membeli roti dan dibawanya ke tepi sungai Tigris, lalu roti itu dibasahi dengan air terlebih dahulu, baru ia makan dan minum.
BACA JUGA: Pelayan yang Selalu Mengatakan ‘Allah Itu Baik, Ia Tak pernah Salah’
Setelah makan, ia mengambil air wudhu untuk shalat dzuhur, lalu turun ke pasar dan bekerja lagi dengan sungguh-sungguh. Menjelang sore hari, ia membeli roti, lalu pulang ke rumahnya.Hal tersebut dilakukannya setiap hari.
Akhirnya, putra mahkota itu lewat seorang pengawalnya memanggil tukang pikul itu.
Seketika terlintas lah dalam benak si miskin itu bahwa putra mahkota akan menginterogasinya, dan berucap dalam hatinya hasbunallah wani’mal wakil.
Sahabat Abdullah bin ‘Abbas pernah berkata, bahwa “hasbunallah wa ni’mal wakil” adalah doa yang dipanjatkan oleh Nabi ‘Ibrahim ‘alaihis salaam ketika beliau akan dilempar dalam api yang membara.
Sejarah mencatat, bahwa dzikir Hasbunallah Wani’mal Wakil Ni’mal Maula Wani’man Nasir adalah salah satu bacaan yang kerap diucapkan oleh para nabi dan ulama salaf, baik dalam keadaan lapang maupun saat menghadapi cobaan besar ataupun fitnah yang berat.
Orang miskin ini masuk menemui putra mahkota, ‘Ali bin Ma’mun dan mengucapkan salam kepadanya.
Putra mahkota bertanya kepadanya: “Apakah engkau mengenalku?”
Ia menjawab: “Aku belum pernah melihat Tuan, tetapi aku mengenal Tuan.”
Putra mahkota berkata: “Apakah pekerjaanmu?”
Ia menjawab: “Aku bekerja bersama hamba-hamba Allah di negeri Allah.”
Putra mahkota berkata: “Aku telah melihatmu selama beberapa hari dan kulihat engkau sangat sengsara, maka aku ingin meringankan penderitaanmu.”
Ia bertanya: “Dengan cara apakah Tuan akan melakukannya?”
Putra mahkota berkata: “Tinggallah kamu dan keluargamu di dalam istana bersamaku, kamu akan hidup tenang dan senang.”
Ia menjawab: “Tidak, demi Allah !”
Putra mahkota bertanya: “Mengapa?”
Ia menjawab: “Aku takut kalbuku akan menjadi keras dan agamaku menjadi terlantar.”
Putra mahkota berkata: “Apakah kamu lebih memilih menjadi tukang kuli pikul di pasar dalam keadaan lapar di bawah terik matahari?”
Ia menjawab: “Benar, demi Allah” Si miskin pun turun dan pergi meninggalkan putra mahkota.
BACA JUGA: Berikan Saya Buah yang Manis!
Putra mahkota merenung dan berpikir mendengar perkataan dan kalbunya tersentuh oleh pelajaran tauhid.
Pada suatu malam putra mahkota terbangun dari tidurnya yang begitu lelap. Dan memandangi dirinya dan menyadari bahwa ia berada dalam keadaan tidur nyenyak yang lama.
Menurut ahli sejarah bahwa putra mahkota meninggalkan istana menuju wasit dan mengubah penampilannya menjadi rakyat biasa yang bekerja pada seorang saudagar kaya.
Diberitakan bahwa ketika putra mahkota mendekati ajalnya, ia memberikan kepada majikannya atau saudagar kaya cincin yang dipakainya selama ini dan berkata, “Aku adalah anak Khalifah Al Makmun, apabila aku mati mandikanlah dan kuburlah aku, kemudian serahkanlah cincin ini kepada ayahku.”
Pada awalnya khalifah mengira bahwa putranya telah terbunuh di suatu tempat tapi setelah melihat cincin itu ia pun sangat terkejut dan menangis lalu menanyakan perihal anaknya selama ini.
Ini merupakan salah satu kisah sejarah yang terbukti kejadiannya. Demi Allah, kebahagiaan itu bukan karena memiliki harta yang banyak. Berapa banyak orang miskin memperoleh kenikmatan di sisi Allah dan berapa banyak orang-orang yang mengenal Allah beroleh kebahagiaan. []