MAKA penetapan dari Anas bin Malik bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- melakukan Qunut Subuh, lebih didahulukan dan diunggulkan daripada peniadaan yang dinyatakan oleh Sa’ad bin Thariq. Karena pada diri orang yang menetapkan, terdapat ilmu yang tidak dimiliki oleh orang yang meniadakan.
Dalam kaidah lain disebutkan:
الذي يعلم حجة لمن لم يعلم
“Orang yang mengetahui hujjah (dalil) atas orang yang belum tahu.”
Di dalam “Syarhu Ma’anil Atsar” (1/239) disebutkan :
شرح معاني الآثار (1/ 249)
فَقَالَ: «أَيْ بُنَيَّ , مُحْدَثٌ» قَالَ أَبُو جَعْفَرٍ: فَلَسْنَا نَقُولُ: إِنَّهُ مُحْدَثٌ , عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ قَدْ كَانَ , وَلَكِنَّهُ قَدْ كَانَ بَعْدَهُ مَا رَوَيْنَاهُ فِيمَا قَدْ رَوَيْنَاهُ فِي هَذَا الْبَابِ قَبْلَهُ. فَلَمَّا لَمْ يَثْبُتْ لَنَا الْقُنُوتُ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , رَجَعْنَا إِلَى مَا رُوِيَ عَنْ أَصْحَابِهِ فِي ذَلِكَ
“Ucapannya “WAHAI ANAKKU ! ITU (QUNUT SUBUH) MUHDATS (PERKARA BARU)”. Abu Ja’far (Ath-Thahawi) berkata : “Maka kami tidak mengatakan sesungguhnya qunut subuh itu muhdats (perkara baru) sebagai suatu perkara yang belum pernah ada. Akan tetapi telah ada setelahnya di dalam apa-apa yang kami riwayatkan dalam bab ini sebelumnya. Maka tatkala qunut subuh tidak tetap dari Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wa sallam- bagi kami, kami kembali kepada apa yang diriwayatkan dari para sahabatnya di dalam hal itu.”
BACA JUGA: Ini Hukum Qunut Menurut 4 Imam Madzhab
Jadi, kalaupun hadits yang secara langsung menunjukkan Nab –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak ada, atau ada tapi dhaif (lemah), maka kita kembali kepada apa yang diriwayatkan dari para sahabat. Diantaranya, riwayat Anas bin Malik yang telah kami sebutkan di atas.
Disamping itu, riwayat Sa’ad bin Thariq di atas, masih ada kemungkinan dimana beliau menyatakan demikian dalam beberapa kesempatan saja. Tapi tidak dalam seluruh kesempatan. Karena awalnya, sifat qunut subuh dilakukan secara berkala saja. Sebagaimana hal ini telah dinyatakan Asy-Syaikh Muhammad Fu’ad Abdul Baqi’ –rahimahullah- beliau berkata :
سنن ابن ماجه (1/ 393) شرح محمد فؤاد عبد الباقي
(أي بني محدث) يدل على أن القنوت كان أحيانا. والظاهر أنه كان في الوقائع.
“Perkataan “WAHAI ANAKKU ! ITU (QUNUT SUBUH) MUHDATS (PERKARA BARU)”, hal ini menunjukkan sesungguhnya qunut (awalnya) dilakukan secara berkala (kadang-kadang). Dan yang tampak, sesungguhnya (Sa’ad bin Thariq) menyaksikannya di dalam beberapa kejadian saja.”
Oleh karena itu, hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik –radhiallahu ‘anhu- yang berbunyi :
مسند أحمد مخرجا (20/ 95)
12657 – حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ يَعْنِي الرَّازِيَّ، عَنِ الرَّبِيعِ بْنِ أَنَسٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: «مَا زَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا»
“Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- senantiasa melakukan Qunut di shalat Subuh sampai meninggal dunia.”
Hadits ini telah dihasankan oleh sebagian ulama’ ahli hadits, diantaranya imam Al-Hakim dan Al-Haitsami. Jika derajatnya hasan, maka selesai sudah. Namun jikapun kita tetapkan dhaif (lemah) secara sanad dikarenakan di dalamnya ada rawi yang bernama Abu Ja’far Ar-Razi, maka secara makna yang terkandung shahih, karena telah didukung oleh hadits Anas bin Malik dalam “Shahih Muslim” yang telah kami sebutkan sebelumnya.
Imam Al-Baghawi –rahimahullah- berkata :
شرح السنة للبغوي (3/ 123)
وَذَهَبَ قَوْمٌ إِلَى أَنَّهُ يَقْنُتُ فِيهَا، يَرْوِي بَعْضُهُمْ ذَلِكَ عَنْ: عُمَرَ، وَعُثْمَانَ، وَعَلِيٍّ، وَأَبِي هُرَيْرَةَ، وَعُرْوَةَ، وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ، وَالشَّافِعِيُّ، حَتَّى قَالَ الشَّافِعِيُّ: إِنْ نَزَلَتْ بِالْمُسْلِمِينَ نَازِلَةٌ، قَنَتَ فِي جَمِيعِ الصَّلَوَاتِ، وَتَأَوَّلَ هَؤُلاءِ قَوْلَهُ: «ثُمَّ تَرَكَهُ»، أَيْ: تَرَكَ اللَّعْنَ وَالدُّعَاءَ عَلَى أُولَئِكَ الْقَبَائِلِ الْمَذْكُورَةِ فِي الْحَدِيثِ، أَوْ تَرَكَهُ فِي الصَّلَوَاتِ الأَرْبَعِ، وَلَمْ يَتْرُكْهُ فِي الصُّبْحِ، يَدُلُّ عَلَيْهِ مَا عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: «مَا زَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي صَلاةِ الصُّبْحِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا».قَالَ الْحَاكِمُ: وَإِسْنَادُ هَذَا الْحَدِيثِ حَسَنٌ.
“Sebagian kaum berpendapat, sesungguhnya dianjurkan untuk qunut subuh di shalat subuh. Sebagian mereka meriwayatkan hal ini dari Umar, Utsman, Ali, Abu Hurairah, Urwah, dan hal ini merupakan pendapat imam Malik bin Anas dan imam Asy-Syafi’i. Imam Asy-Syafi’I sampai berkata : “Jika kaum muslimin ditimpa oleh suatu peristiwa besar, maka qunut di seluruh shalat. Mereka menta’wil (mentafsirkan) ucapan “KEMUDIAN BELIAU MENINGGALKAN”, artinya : meninggalkan laknat dan do’a kejelekan untuk para kabilah yang tersebut dalam hadits, atau beliau meninggalkan dalam shalat yang empat waktu, dan tidak meninggalkan dalam shalat subuh. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Anas bin Malik beliau berkata : “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- senantiasa melakukan Qunut di shalat Subuh sampai meninggal dunia.” Al-Hakim berkata : dan sanadnya hasan.”
BACA JUGA: Ini Hukum Doa Qunut menurut Empat Imam Madzhab
Demikianlah pembahasan sederhana tentang masalah qunut subuh. Artikel ini tidak punya tujuan untuk “memaksa” anda yang tadinya tidak qunut untuk kemudian qunut, atau yang qunut untuk tidak qunut. Karena masalah ini termasuk masalah khilafiyyah ijtihadiyyah. Masing-masing kita boleh dan sah untuk memilih pendapat mana yang kuat menurutnya untuk diamalkan. Namun setelah itu, wajib bagi kita untuk saling menghormati dan berlapang dada dengan saudara kita yang mungkin pendapatnya berbeda dengan kita. Tidak boleh untuk saling mencaci, menghina, memboikot, apalagi menyesatkan.
Artikel ini juga membuka mata kita, betapa pembahasan Qunut Subuh itu tidak sesederhana yang dibayangkan oleh sebagian orang. Dan kita semakin sadar, akan kebodohan dan kekerdilan diri-diri kita, serta bagimana tingginya kedudukan para imam besar di zaman itu. Wallahu a’lamu bish shawab. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani