TENTANG pahala, Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam Surah Al-Lail (92) ayat 6:
وَصَدَّقَ بِالْحُسْنٰىۙ
“dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga),”
Penjelasan Ayat
Terkait makna kata al-husna atau “yang terbaik” dalam ayat ini, ada tiga pendapat ahli tafsir.
Pertama, pendapat kalangan salaf yang menyatakan bahwa al-husna adalah kalimat La Ilaha Illallah. Dengan demikian, maksudnya dalam membenarkan lailahaillallah. Kedua, al-husna adalah surga. Hal ini sebagaimana firman Allah pada Surah Yunus (10) ayat 26:
لِلَّذِيْنَ اَحْسَنُوا الْحُسْنٰى وَزِيَادَةٌ ۗوَلَا يَرْهَقُ وُجُوْهَهُمْ قَتَرٌ وَّلَا ذِلَّةٌ ۗ
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (kenikmatan memandang wajah Allah)….”
Tafsiran salaf terhadap ayat ini adalah orang-orang yang berbuat baik akan mendapatkan al-husna (surga) dan juga waziadatan—sebuah tambahan—memandang wajah Allah. Jadi. makna ayat ini adalah membenarkan adanya surga.
Ketiga, al-husna di sini adalah bil kholafi minallah “ganti dari Allah”. Ketika seseorang berinfak, harta yang dikeluarkannya akan mendapat ganti dari Allah.
BACA JUGA: 8 Amalan yang Pahalanya Besar
Ketiga pendapat ini benar. Namun, pendapat yang lebih tepat dan sesuai dengan konteks pembicaraan ayat ini adalah pendapat ketiga (inilah pendapat yang dipilih oleh Ath-Thabari dalam tafsirnya).
Hal itu karena topik pembahasan surah Al-Lail adalah orang yang berinfak dan orang yang pelit. Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Allah akan memberi ganti kepada orang yang berinfak sangatlah banyak, salah satunya firman Allah dalam Surah Saba’ (34) ayat 39:
وَمَآ اَنْفَقْتُمْ مِّنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهٗ ۚوَهُوَ خَيْرُ الرّٰزِقِيْنَ
“…. Dan apa saja yang kalian infakkan, Allah akan menggantinya dan dialah pemberi rezeki yang terbaik.”
Dalam ayat yang lain, yakni dalam Surah Al-Baqarah (2) ayat 261, Allah berfirman:
مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
“Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai. Pada setiap tangkai, ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang dia kehendaki, dan Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui.”
Hal itu juga dibahas dalam hadis-hadis Nabi. Rasulullah ﷺ bersabda: “Allah Yang Mahasuci lagi Mahatinggi berfirman, ‘Wahai, anak Adam! Berinfaklah, niscaya aku berinfak (memberikan rezeki) kepadamu.’”
Dalam hadis lain, Rasulullah ﷺ juga bersabda: “Tidak satu hari pun ketika pada pagi harinya seorang hamba—ada padanya—melainkan dua malaikat turun kepadanya. Salah satu dari keduanya berkata: ‘Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak.’ dan yang lainnya berkata: ‘Ya Allah, hancurkanlah (harta) orang yang kikir.’”
Nabi ﷺ juga bersabda bahwa sedekah tidak akan mengurangi harta, seperti dalam hadis berikut: “Sedekah tidaklah mengurangi harta.”
Orang yang gemar bersedekah tetapi justru hartanya semakin bertambah banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itulah, orang yang bersedekah kepada orang miskin, sesungguhnya kebutuhannya terhadap si miskin lebih besar daripada kebutuhan si miskin terhadap dirinya. Ketika menerima infak dari si kaya, si miskin menggunakan pemberian tersebut untuk menghilangkan rasa lapar, untuk menutup utang, atau untuk kebutuhan sehari-harinya. Sementara itu, si kaya yang berinfak kepada si miskin akan mendapatkan lebih banyak keuntungan.
Pertama, Allah akan memberikannya pengganti di dunia sesuatu yang lebih banyak daripada sedekah yang diberikannya kepada si miskin. Sedekah tidak akan mengurangi hartanya, bahkan justru menambahnya. Hal itu terjadi dengan syarat sedekahnya ikhlas karena Allah dan bukan semata-mata mencari pengganti dunia.
Kedua, seseorang akan mendapat pengganti untuk akhiratnya, yaitu pahala yang berlipat ganda.
Ketiga, Allah akan menganugerahi kebahagiaan kepadanya seperti kaidah al jaza’ min jinsil amal (balasan itu sesuai dengan amalan seseorang). Ketika seseorang membahagiakan si miskin dengan memberikan sebagian hartanya, Allah akan memberikan kebahagiaan dalam dirinya.
Bahkan, kebahagiaan yang dirasakannya melebihi kebahagiaan yang dirasakan si miskin yang—mungkin hanya sesaat. Orang yang berinfak akan mendapatkan kebahagiaan yang lama dalam hatinya.
Ketika ada seorang sahabat Nabi mengeluhkan kepada nabi tentang kerasnya hatinya, Nabi bersabda kepadanya: “Jika engkau ingin melembutkan hatimu, berilah makan kepada orang miskin dan usaplah kepala anak yatim.”
BACA JUGA: Ini Pahala Orang yang Menahan Marah
Hadis ini menunjukkan bahwa amalan membantu orang lain akan berpengaruh pada hati. Oleh sebab itu, orang yang paling bahagia adalah orang yang paling sering membantu orang lain.
Dalam sebuah hadis, ketika Nabi ﷺ baru pertama kali menerima wahyu yang disampaikan oleh malaikat Jibril dengan bentuknya yang sangat dahsyat, beliau ketakutan dan segera turun dari Gua Hira menuju rumah Khodijah. Lalu, ia berkata “Aku mengkhawatirkan keburukan menimpa diriku”.
Maka, Khodijah menenteramkan hati suaminya sambil berkata: “Sekali-kali tidak, bergembiralah! Demi Allah, sesungguhnya Allah selamanya tidak akan pernah menghinakanmu. Demi Allah, sesungguhnya engkau telah menyambung tali silaturahmi, jujur dalam berkata, membantu orang yang tidak bisa mandiri, engkau menolong orang miskin, memuliakan (menjamu) tamu, dan menolong orang-orang yang terkena musibah.”
Inilah sifat-sifat Nabi sebelum beliau diangkat menjadi Nabi. Beliau merupakan orang yang paling bahagia karena paling banyak memberi manfaat untuk orang lain. Dalam hadis lain, Nabi juga bersabda: “Sebaik-baiknya manusia adalah ia yang paling bermanfaat bagi manusia.” []
Sumber: Tafsir Juz Amma, karya Ust. Firanda Andirja | Pusat Studi Quran