Oleh: Farah Riza
BERDAKWAH sejatinya menjadi kewajiban tiap muslim. Bukan hanya menjadi dominasi muslim yang telah mengusai segala hal tentang Kalamullah dan Rasul-Nya. Seorang remaja yang sekadar berbagi tulisan tentang kiat menghindari diri dari pergaulan bebas pun sudah merupakan dakwah. Meskipun yang paling utama tentu juga punya bekal dasar ilmu syariat.
Berdakwah dengan menceritakan kisah hidup sendiri yang berkaitan dengan akhlaqul karimah justru lebih mulia daripada sekadar menyampaikan ilmunya saja tanpa contoh nyata. Bersamaan dengan ‘booming’nya dunia maya atau media sosial malah meluaskan obyek penerima dakwah kita.
Dalam medsos, dakwah lebih mudah disampaikan lewat tulisan bagi seseorang yang belum punya ‘nama’ sebagai pedakwah. Buah dari dakwah dalam medsos melalui tulisan adalah munculnya komentar bagi pembaca. Menuai komentar yang tunjukkan penerimaan atas tersampainya pesan dalam tulisan tentu sebuah hal yang diharapkan.
Akan tetapi, tidak semua pembaca dapat menerima dakwah dengan mudah. Adalah hal lumrah bila muncul komentar yang butuh penjelasan lebih lanjut tentang pesan dakwah yang belum dimengerti. Namun, ada hal baru yang akhir-akhir ini baru saya sadari saat berbagi kebaikan melalui tulisan. Hadirnya seorang pendebat.
Seorang pendebat yang tampak cerdas. Sesaat saya tak menyadari bahwa seorang pendebat tadi bukanlah meminta penjelasan karena tidak mengerti pesan dakwah. Setelah berbagai pertanyaan saya jawab, namun pendebat terus memutar balik kata bahkan membuat tulisan tandingan yang ‘mengosongkan’ nilai pesan tulisan saya.
Masih dalam konteks tak berburuk sangka, saya tak ambil peduli dengan karya tandingannya. Namun setelah beberapa penulis yang aktif berdakwah di sebuah komunitas menulis juga selalu didebat, saya langsung bertindak. Memblokir akun pendebat. Bukan karena kebencian, blokir saya pilih. Namun karena khawatir saat tiap tulisan saya dijadikan ide menulis baginya namun berisi pesan yang berlawanan dan meracuni iman pembaca yang awam.
Sempat terlintas rasa heran saat melihat pendebat adalah orang yang cerdas dan beragama Islam. Namun dari kisah bangsa Yahudi yang terkenal cerdas namun tak mau mengakui Allah saya mulai memahami bahwa otak yang pintar tidak selalu berbanding lurus dengan iman yang kuat. Juga masih teringat kisah dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya ( sekarang UINSA ) menginjak-injak Al-Quran di hadapan para mahasiswanya dan banyak kasus mahasiswa universitas Islam yang justru melecehkan agamanya sendiri.
Cerdas … mereka adalah orang-orang cerdas, namun tak tersentuh hidayah. Naudzubillah.
Berdakwahlah. Berdakwah semampu kita. Siapkan diri dari segala rintangan. Netralkan hati dari racun dakwah dengan menulis karena Allah semata. Hanya karena Allah.