ADA sebuah keistimewaan dalam berpuasa. Allah SWT menyebutkan keistimewaan itu dalam sebuah hadits qudsi. “Puasa itu untuk-Ku, maka Akulah yang akan membalasnya,” demikian ujar Rasulullah SAW dalam hadits qudsi. Para ulama menyebutkan pernyataan Allah ini terkait dengan kerahasiaan dan keistimewaan ibadah puasa dibandingkan dengan ibadah lainnya.
Dari segi rukun, puasa ini hanya memiliki dua rukun saja, yaitu niat dan menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Pun demikian, dari segi durasi waktu pelaksanaan, puasa adalah yang paling panjang dari ibadah-ibadah lainnya, termasuk juga ibadah haji.
Apa keistimewaan ibadah puasa ini? Dibandingkan ibadah-ibadah lainnya yang bersifat lahiriah dan terukur secara kasat mata seperti shalat, haji, dan zakat, maka puasa tidak bias dinilai secara kasat mata, hanya Allah dan pelakunya saja yang bias memberikan penilaian apakah puasanya ini sudah benar atau tidak benar.
Pada bulan Ramadhan yang mulia ini kita bias berasumsi bahwa setiap muslim yang baligh pasti sedang menjalankan ibadah puasa, karena memang merupakan suatu kewajiban. Akan tetapi, di luar Ramadhan, kita tidak bias menebak apakah seseorang berpuasa atau tidak.
BACA JUGA: Tata Cara Wudhu saat Puasa Supaya Tidak Batal
Begitu istimewanya kerahasiaan puasa, sampai-sampai di surga Allah menyediakan pintu al-Rayyan, khusus bagi mereka yang berpuasa. Dikabarkan bahwa para malaikat yang menjaga surga terheran-heran karena tiba-tiba saja ada yang sudah memasuki surge tanpa sepengetahuan mereka. Ketika ditanyakan bagaimana orang-orang ini memperoleh keutamaan memasuki surga secara rahasia, mereka menjawab “ini adalah kemurahan Allah bagi kami yang beribadah secara rahasia di dunia,” maksudnya berpuasa.
Kenapa rahasia? Terlepas dari kenyataan bahwa semua amal ibadah yang dianjurkan memiliki makna pendidikan secara lahiriah dan batiniah, maka secara spesifik ibadah puasa mendidik jiwa manusia untuk menjauhi kecendrungan-kecendrungan duniawinya. Siapa yang lebih mengetahui kecendrungan duniawi ini selain Allah dan tiap-tiap individu itu sendiri?
Secara umum, kecendrungan duniawi itu adalah makan-minum dan berhubungan badan. Tentu saja ini sudah bukan rahasia, maka dengan sendirinya tidaklah menjadi tujuan utama dari ibadah puasa itu sendiri. Yang masih menjadi pertanyaan adalah, masih adakah kecendrungan-kecendrungan duniawi lainnya pada diri kita yang patut untuk ditahan, dicegah, bahkan ditangkal?
Untuk memudahkan pemahaman, mari kita perhatikan bagaimana Imam Ghazali membagi puasa pada tiga level, yaitu puasa ‘am, puasa khas, dan puasa khawasul-khawas.
Pertama, puasa ‘am, yaitu puasa yang hanya sebatas tidak minum, tidak makan dan tidak berhubungan badan; Kedua, puasa khas, yaitu selain menahan ketiga perbuatan tadi ditambah juga dengan mencegah anggota badan dari melihat, mendengar, dan berkata-kata yang buruk; dan yang ketiga sekaligus tertinggi adalah puasa khawasul-khawas, yakni selain melakukan semua hal dalam puasa ‘am dan khas tadi, juga harus mengelola emosi dan sikap mental dari segala hal yang destruktif, seperti dengki, iri hati, konsumtif, anarkis, dan lain-lain.
Nabi Saw bersabda “Betapa banyak orang yang berpuasa, tiada yang diperoleh dari puasanya kecuali lapar dan haus saja.” Tentu saja kita bias memahami bahwa yang ditegur oleh hadist ini adalah mereka yang mencukupkan dirinya pada level ‘am saja.
Makna lain dari kerahasiaan ibadah ini adalah kejujuran. Jika kita menerapkan konsep Imam Ghazali di atas pada makna kejujuran ini, maka yang dimaksud adalah tidak hanya kejujuran pada level ‘am saja, tapi juga kejujuran pada level khas dan khawasul-khawas. Dengan kualitas kejujuran ini, diharapkan seorang shaaim tidak hanya memperoleh sertifikat rahmat semata-mata, tapi juga sertifikat maghfirah (ampunan) dan itqun-minannar (terbebas dari siksa neraka).
Sekali lagi, hal ini bisa dicapai karena kejujuran pribadi muslim akan kecenderungan-kecenderungan negatif yang ada pada dirinya akan mendorong lahirnya sikap korektif, evaluatif, dan juga pertobatan yang sungguh-sungguh.
Maka, kalau kita lihat hasil kepribadian yang dilahirkan dari puasa ini, sangat erat kaitannya dengan pribadi pemimpin yang juga memastikan sukses atau tidaknya amanah kepemimpinan yang diusung. Kita semua adalah pemimpin, sesuai levelnya masing-masing. Pemimpin masyarakat, pemimpin keluarga, pemimpin di rumah atau juga pemimpin sebuah Negara.
Hubungan puasa dan kepemimpinan ini misalnya dapat kita lihat pada pribadi Nabi Dzulkifli ‘as, pribadi Nabi Daud as, pribadi Nabi Muhammad Saw dan juga para sahabat yang utama. Nabi Dzulkifli diangkat sebagai Raja dan Nabi sekaligus dengan syarat wajib berpuasa setiap harinya dan qiyamullail setiap malamnya. Dzulkifli artinya yang sanggup memikul syarat-syarat kepemimpinan.
BACA JUGA: 3 Faktor Pengurang Nilai Puasa Ramadhan
Nabi Daud yang gagah perkasa dan adil bijaksana, terkenal dengan puasanya sehari berselang, yaitu sehari berpuasa dan sehari berbuka, demikian terus menerus hingga akhir hayatnya. Dan Nabi kita Muhammad Saw juga terkenal dengan ibadah puasanya, sampai-sampai beliau mengikat tali ke perutnya di luarRamadhan. Bukan karena tidak ada makanan sama sekali, melainkan sebagai pendidikan bagi ummatnya, khususnya para pemimpin.
Teladan nabi ini diikuti oleh para sahabat, khususnya khulafaur-rasyidin seperti Abubakar, Umar, Utsman, Ali dan Umar bin Abdul Aziz. Mereka menjadikan puasa sebagai atribut dan lambing kepemimpinan, sehingga rakyatnya hidup makmur dalam kesejahteraan dan keadilan.
Pemimpin yang tidak terbiasa berpuasa, tidak akan mampu mengendalikan jiwa dan perilakunya. Tidak dapat bertahan dalam kehidupan yang sulit. Tidak bisa tegas menentukan keputusan, karena jiwa dan pikirannya masih digantungkan banyak kepentingan. Tidak mampu melihat jernih persoalan, karena hatinya diliputi oleh rasa iri, dengki, ujub, sombong, dan lain sebagainya. []
SUMBER: IKADI