PEREMPUAN berbaju kebaya itu menunduk. Seakan-akan menahan segunung beban yang menggantung di leher dan pundaknya. Terdengar lirih isak tangis. Gadis belasan tahun itu nampak rapuh, tenggelam dalam kekalutan yang membuatnya beringsut dari kursi, menjatuhkan tubuh kurusnya seketika ke lantai.
Tak lama tangisnya pecah, meraung-raung seakan penuh sesal. Ia mengamuk, mencakar wajah. Merobek-robek kain batik pembungkus tubuhnya. Rambutnya kusut masai sudah.
“Maafkan saya, Ndoro,” ucapnya lirih dengan bibir bergetar.
Tiba-tiba ia menengadah. Wajahnya berubah perlahan-lahan menjadi lebih dewasa, lalu seketika menua. Seperti adegan film yang dipercepat. Matanya menatap tajam sambil mengangkat telunjuk tepat ke arahku dan seseorang–entah siapa–yang duduk di sampingku. Lalu suara melengking itu terdengar sesaat setelah dia berteriak, “Kamu, kamuuu! Pergi! Pergiii!”
Hah!
Aku terbangun dengan tubuh penuh keringat. Sudah tiga malam mimpi itu berulang. Siapakah perempuan itu? Aku tak pernah bertemu dengannya, apalagi kenal. Apakah ada hantu di rumah baruku ini? Aku tak pernah bersinggungan dengan hal mistis sebelumnya. Seribu tanya berkecamuk di kepala. Hal ini benar-benar sangat mengganggu tidurku. Padahal tugas esok hari masih menumpuk.
Sulit bagiku memejamkan mata kembali. Kuraih saja gawai di nakas. Mencari satu nama yang tak lama lagi akan menjadi penguasa hati, juga rumah ini.
Kanaya adalah gadis manis yang berhasil mencuri perhatianku. Beberapa kali bertemu dengannya, entah mengapa hati ini semakin yakin padanya. Rasanya nyaman sekali ketika ngobrol dengan pengajar sekolah TK itu. Seakan aku bisa bercerita apa saja padanya. Hingga suatu saat kunyatakan perasaanku. Aku yakin dari awal dia tak akan menolak.
Tak hanya cantik rupa, gadis berambut panjang itu juga berakhlak baik. Sangat baik malahan. Senang berbagi dengan teman-teman yang kurang beruntung di jalan atau di lingkungan sekitar rumah. Mungkin karena latar belakang kehidupan, ia mudah berempati pada sesama.
*
“Mi, Janu ingin menikahi Kanaya,” ucapku sambil memindahkan secentong nasi ke piring di atas meja makan.
“Kamu sudah kenal dengan kedua orang tuanya?” suara Mami terdengar datar, tak nampak raut muka terkejut atau pun gembira.
“Kanaya yatim piatu, Mi. Ia dulu tinggal di panti asuhan, sebelum diadopsi.”
“Kamu yakin dengan pilihanmu? Kemarin Resti, sebelum itu Anggi, Shofi ….”
“Janu serius, Mi. Kanaya itu beda. Pokoknya, Janu maunya sama dia. Boleh, kan?”
“Hmm, coba bawa dan kenalin dulu Kanaya sama Mami. Seandainya Papimu ada, mungkin akan banyak persyaratan untuk mencari perempuan yang tepat buat pendamping anaknya yang ganteng ini,” ujar Mami sambil tersenyum.
Aku pun tergelak. Soal ganteng, itu memang fakta.
“Mami, percaya deh sama Janu. Sekali melihat Kanaya, dijamin Mami pasti suka,” ucapku setengah merajuk.
Mami adalah sosok wanita yang sangat dihormati. Sebagai seorang direktur sebuah rumah sakit terkenal, rasanya wajar untuk menelusuri seluk beluk, bibit, dan bobot perempuan yang kelak menjadi istri anaknya yang slengean seperti aku. Memang sebagai anak semata wayang Mami Papi, aku tidak diwarisi otak encer seperti mereka.
Namun, aku–Janu Ranajaya–cukup bertanggung jawab dengan pilihanku sendiri. Menggeluti passion di bidang seni lukis bukanlah hal yang main-main. Kutempuh kuliah di bidang seni lukis kreatif hingga ke University of Kent di Canterbury, Inggris.
Sementara ini, sudah ada lima galeri seni milikku yang tersebar di beberapa kota besar. Sebenarnya, tidak hanya di dalam negeri, sudah banyak lukisanku yang diboyong penikmat seni hingga ke luar negeri.
*
Beberapa hari kemudian, aku berhasil mengajak Kanaya ke rumah Mami, seperti janjiku saat itu.
“Ayo masuk, Sayang. Mami sudah menunggu di dalam.”
“Aku deg-degan, Mas. Sudah oke belum penampilanku?” Kanaya mematut diri, lalu memutar badannya yang dibalut gaun biru muda. Membuatku gemas ingin memeluk tubuhnya yang semampai.
“Sudahlah, tenang saja. Kamu itu sudah cantik alami. Mami pasti suka.” Kugenggam jemarinya, mencoba mengempaskan ragu yang terbaca di bening kedua mata.
*
“Janu, katakan sejujurnya, siapa orang tua gadis itu?”
Mami bertanya pelan, tapi dengan mimik serius kala malam tiba.
Aku membaca gelagat buruk dari perubahan sikap Mami. Padahal tadi siang Mami menerima Kanaya dengan sangat baik, meski terkadang memang kutangkap beberapa kali pandangan Mami sangat lekat padanya.
“Janu belum nanya lebih lanjut, Mi. Apakah itu sangat penting?”
“Menurut Mami, ini penting sekali, Nak. Apalagi setelah tadi Mami bertemu Kanaya.”
“Maksud Mami apa?” tanyaku penuh selidik.
“Semoga saja perkiraan Mami salah. Coba kamu pastikan dulu siapa ibunya, ya.”
Aku hanya mengangguk pasrah.
Malam itu aku tidur dalam kondisi gelisah. Hingga bermimpi lagi hal yang sama seperti malam-malam sebelumnya, padahal saat itu aku tidur di rumah Mami.
Keesokan hari, aku dan Kanaya pergi ke panti asuhan, tempat tinggal dia dahulu semasa kecil. Aku berterus terang pada Ibu pengasuh tentang tujuan kedatangan ke sana, bahwa ini adalah keinginan Mami. Beruntung Ibu pengasuh mau mengerti posisiku. Hingga ia pun bercerita tentang satu rahasia di masa lalu, bahkan Kanaya pun sebelumnya tidak pernah tahu.
*
“Silahkan masuk, Anda semua hanya punya waktu lima belas menit paling lama untuk menemuinya. Saya akan menunggu di luar.”
“Baik, suster. Terima kasih.”
Aku, Kanaya, Ibu pengasuh panti, dan Mami memasuki kamar perawatan yang lengang. Tak jauh dari ranjang terlihat ada seseorang yang duduk di kursi roda. Sosok perempuan kurus, berambut panjang, berkulit bersih, dan hei! aku merasa tak asing dengan wajahnya.
Kucoba mengingat-ingat lagi siapa gerangan dia. Ya Tuhan! Perempuan itu mirip sekali dengan sosok yang ada dalam mimpiku!
“Ini Kanaya, Bu. Puteri Ibu,” bisik Kanaya bersimpuh di kaki Ibunya sambil terisak. Ibu pengasuh yang ikut mengantar, mengusap punggung kekasihku yang berguncang.
Mungkin ia tak menyangka, kisah ibu kandungnya begitu tragis. Terpaksa menitipkan Kanaya yang masih berusia satu tahun di panti asuhan, setelah sang suami meninggal akibat kecelakaan kerja. Jiwanya kian labil hingga akhirnya keseimbangan mentalnya terganggu.
Sementara Mami, terlihat shock melihat sosok Ibu dari kekasihku itu. Setengah berlari segera menghampirinya.
“Ya Allah! Surti …!”
“Ndoro Ayu?”
Aku yang berdiri di dekat pintu hanya bisa tercenung. Entah ada apa ini sesungguhnya. Kulihat kedua perempuan itu saling berpelukan. Aku semakin tak mengerti.
*
Sendiri kuberdiri di tepi pantai ini. Semburat jingga di atas sana membawaku dalam kisah pilu yang menjatuhkan angan dan harapan tanpa ampun. Hancur kini sudah, hingga berkeping-keping.
Kuingin larut dan hanyut dalam sinar mentari yang lindap di tengah lautan. Rasanya belum siap menerima kenyataan yang bertubi-tubi menghampiri. Masih tak percaya dengan perkataan Mami tadi malam sebelum aku beranjak pergi.
“Janu, ada yang harus Mami ceritakan. Maafkan jika selama ini Mami tutup rapat, tak lebih hanya untuk kebaikanmu juga.”
“Katakan ada apa sesungguhnya, Mi? Janu merasa jadi satu-satunya orang yang tidak mengerti tentang ini semua. Apalagi hingga kini Kanaya mematikan teleponnya. Janu bingung, Mi.”
“Dulu sekali, sebelum kamu lahir, semasa gadis Surti pernah tinggal di sini. Tugas dia membantu Mami mengerjakan pekerjaan rumah. Suatu hari dia–”
Telingaku rasanya berdengung untuk beberapa saat. Menahan tubuh yang seakan limbung rasanya. Lamat-lamat terdengar kembali penjelasan panjang lebar dari bibir Mami.
“Maafkan Mami, Janu. Baru sekarang terpaksa menceritakan ini padamu. Mami tidak ingin kehilangan kamu. Mami lah yang mengurus dari sejak kamu membuka mata melihat dunia. Meskipun tidak terlahir dari rahim ini, tapi sampai kapan pun, kamu tetap anak Mami. Anak satu-satunya yang Mami sayangi,” ucap Mami dengan suaranya yang bergetar, di sela-sela isak tangisnya.
Aku tak mampu lagi menahan genangan di sudut mata yang makin memanas. Pandanganku menjadi buram. Akhirnya tangis pun pecah dalam pelukan wanita agung itu. Bagiku, tidak mengapa tak terlahir dari rahimnya. Karena kasih dan sayang seorang Ibu, utuh telah kurasakan sepanjang hayatku, dengan sepenuh jiwa dan raganya, berkorban hanya untukku selalu.
Mami tetaplah Ibu bagiku. Namun satu hal yang sulit rasanya kuterima, Surti–Ibu Kanaya–adalah Ibu kandungku. []
Cibinong, 14 Agustus 2019
—–
Cerpen ini saya persembahkan untuk Ibu saya, Ibu Djudju yang memiliki beberapa orang anak asuh. Selalu merangkul siapa pun baik saudara atau bukan, yang memerlukan kasih sayang dan perhatian dalam kondisi lapang ataupun sempit. Semoga Allah SWT memberikan tempat terbaik di surgaNya. Aamiin yra.