Oleh: Sapto Waluyo
LANGIT di Ibukota hari itu, Rabu (15/6/2005), seperti tak bisa menahan kesedihannya. Hujan deras mengucur bak mengiringi pemakaman seorang tokoh nasional. Rahmat Abdullah sebenarnya “kiai dari kampung Betawi” biasa, tapi pengaruhnya sungguh luar biasa. Namanya tidak cukup populer di media massa, sebab ketokohannya bukan virtual. Ketokohan yang kongkret terlihat dari puluhan ribu kaum muda yang mengantarkan kepergiannya.
Ustaz Rahmat, begitu ia kerap dipanggil murid-muridnya, pernah digelari “Syaikh at Tarbiyah” (Sang Guru) oleh sebuah majalah nasional di tahun 2001. Itulah momen peringatan “20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia” yang telah melahirkan komunitas unik: Partai Keadilan – dan akhirnya menjadi Partai Keadilan Sejahtera. Selain tetap setia menjadi guru mengaji, Ustaz Rahmat kini menjadi anggota DPR dari Fraksi PK Sejahtera.
Karir politiknya benar-benar tak lazim. Sebagai murid langsung allahuyarham K.H. Abdullah Syafi’i (pendiri Pondok Pesantren Asy Syafi’iyah di Jakarta), ia tak pernah membayangkan akan terjun ke dunia politik. Waktunya habis untuk mengaji kitab kuning, sambil mengikuti perkembangan pemikiran kontemporer. Dialah salah satu model kiai yang mampu mengawinkan khazanah pemikiran Islam klasik dengan pelbagai wacana pemikiran dan gerakan modern.
Bagi Ustaz Rahmat sudah menjadi menu utama mengkaji ulang kitab Tafsir Ibnu Katsir atau Jalalain. Tetapi, tanpa sungkan ia sering mempertajam tinjauan klasik itu dengan kitab Fi Zhilal al Qur’an dari Sayid Qutb atau Turjuman al Qur’an dari Abul A’la al Maududi. Sesekali saya pernah mendengar ia menyitir tafsir Thabathabai dari kalangan Syiah atau “The Meaning of the Holy Qur’an” dari Abdullah Yusuf Ali.
Sebagai mantan mahasiswa sosial-politik saya agak kesulitan mengakses buku-buku klasik berbahasa Arab. Namun, saya belajar banyak dari Ustaz Rahmat yang hanya lulusan Madrasah Aliyah itu untuk rajin membaca karya lintas disiplin. Saya terpana ketika ia mampu mengkritik habis “Das Kapital” Karl Marx dengan kerangka sejarah yang cukup kuat seperti Ali Syariati atau Murtadla Mutahhari. Sayang sekali, buah pemikirannya baru sebatas kuliah atau ceramah, belum sempat dibakukan dan dibukukan. Padahal, bila saya renungkan lebih dalam, banyak pemikirannya yang sejalan dengan pandangan “The Third Way” dari Anthony Giddens atau Alija Izetbegovic (Islam between East and West).
Mungkin terlalu muluk untuk mengharapkan figur alim yang bersahaja seperti dirinya agar menulis buku. Sebab, dalam hampir semua ceramahnya yang pernah saya ikuti, ia lebih lebih kerap menyulut kepekaan nurani, walau tak mengabaikan ketajaman rasio. Mengikuti jejak gurunya, ia mengembangkan majelis taklim dan memimpin Islamic Center Iqro di Pondok Gede, serta mengisi rutin kuliah dhuha dan renungan malam di sebuah radio lokal di kawasan Bekasi yang padat penduduknya.
Para jamaah anggota majelisnya tak pernah kehilangan waktu untuk mendengarkan nasihatnya, karena sebagai wakil rakyat di gedung parlemen ia tak sedikitpun melupakan hak konstituen. Bahkan, posisinya yang sangat penting selaku Ketua Majelis Syuro dan sekaligus Ketua Majelis Pertimbangan Partai di jajaran teras PK Sejahtera, tak pernah mengorbankan jatah waktu sosialnya. Hanya saja, sejumlah jamaah bertanya-tanya tatkala namanya sempat mencuat sebagai alternatif calon Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari Koalisi Kerakyatan. Untunglah, tokoh yang lebih muda Hidayat Nur Wahid akhirnya naik panggung. Ia tak pernah merasa dilangkahi sejengkal pun, bahkan seperti terselamatkan (saved by HNW) dari beban politik yang berat.
Habitat aslinya jelas bukan ranah politik, walau ia tak pernah menutup-nutupi kenangan manisnya kala berdiskusi dan berguru dengan tokoh-tokoh politik Masyumi, seperti M. Natsir, Syafruddin Prawiranegara dan Mohammad Roem. Secara berterus terang, ia mengakui telah mengadopsi sebagian logika dan metoda orasi yang diperkenalkan Isa Anshari atau Buya Hamka. Tetapi, guru besarnya tetap Abdullah Syafi’i yang masyhur dengan teriakan menggugah jiwa, “Laa ilaaha illallah…. Muhammadun rasulullah”.
Salah satu keistimewaanya adalah mampu menggubah syair, mengungkapkan pikiran dan renungan filosofis dalam format puitis. Sekali lagi, ini mengingatkan saya pada pemikir-penyair semacam Muhammad Iqbal, suatu varian yang semakin jarang ditemukan di kalangan aktivis dan pemikir muslim. Bersama koleganya, Abu Ridla (mantan Wakil Ketua MPP PK Sejahtera), mereka menebarkan spirit baru di barisan seniman-budayawan nasional.
Sutradara Chaerul Umam, penulis skenario Misbach Jusa Biran, novelis Helvy Tiana Rosa, artis kondang Deddy Mizwar atau Inneke Koesherawati, hingga entertainer Ferrasta “Pepeng” Soebardi serta Cici Tegal tentu mengenalnya. Mereka merupakan lapis baru dari seniman-budayawan yang tetap mempertahankan “nilai transendental” dalam segenap ekspresi jiwa dan kreativitasnya. Kenyataan itu, menurut hemat penulis, telah membantah salah satu tesis penting Kuntowijoyo yang menyatakan bahwa gerakan modernisme dan puritanisme Islam secara sadar telah menggerus akar budaya dan tradisi lokal. Tidak semua hal berjalan linear.
Cukup banyak karya seni dan budaya yang dilahirkan dari periode “islamisasi budaya” itu, antara lain berkembangnya Nasyid (acapella muslim), film dan sinetron relijius, cerita pendek dan novel alternatif. Dalam kesaksian penyair sepuh Taufik Ismail, misalnya, bangsa Indonesia patut bersyukur mendapat karunia budaya berupa ribuan penulis muda yang tergabung dalam Forum Lingkar Pena (FLP). Karya nyata generasi santri-penulis itu kini memenuhi seluruh toko buku dan memberi keuntungan besar pada penerbit di seantero Nusantara.
Ustaz Rahmat pasti tidak mengenal mereka semua secara langsung, tetapi sentuhan dakwahnya telah menyebarkan virus kreativitas di berbagai bidang dan jenjang kaum muda. Sampai suatu titik, gerakan kolektif kaum muda santri telah mengubah konstelasi politik nasional. Gejala ini bisa dihipotesiskan sebagai kebangkitan kembali politik Islam kali ini melalui gerakan sosial-budaya (baca: dakwah kultural). Politik dan dakwah bertemu pada satu titik krusial yang paling konstruktif, karena mendorong proses reformasi nasional dan demokratisasi bangsa.
Dalam kasus Indonesia, pendapat Oliver Roy tentang kegagalan politik Islam (Failure of Political Islam) tak terbukti valid. Kekuatan politik Islam – juga tendensi relijius lain — justru sedang bangkit secara signifikan tergambar dalam hasil Pemilihan Umum 2004 lalu. Ideologi nasionalisme sekuler dan pragmatisme politik tengah menghadapi tantangan berat dan digugat habis, karena simbol politik nasional dalam format partai-partai besar telah bangkrut. Secara nasional maupun internasional, memang harus diamati: apakah gejala itu bersifat sementara atau kecenderungan yang makin menguat.
Karena itu, mengamati dengan lebih cermat kepergian tokoh nasional dari kampung Betawi ini akan sangat membantu pemahaman kita terhadap dinamika politik kontemporer. Pengaruh Ustaz Rahmat dapat diukur dari bertumbuhnya 450.000 kader aktivis dan 8,3 juta orang konstituen yang telah menjatuhkan pilihan kepada partai “dua bulan sabit yang mengabit padi emas”. Popularitasya jelas tidak sama dengan Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) atau Zainuddin M.Z. yang pernah dijuluki “dai sejuta umat”. Tapi, tanpa pretensi membanding-bandingkan figur selebriti, setiap tokoh punya panggung dan pengikutnya sendiri.
Cuma, saya tersentak ketika menyadari bahwa Ustaz Rahmat meninggal dunia dalam usia yang tergolong “muda” untuk politisi kita, yakni 52 tahun (lahir 1953). Rambut kepala dan jenggot yang sudah memutih ternyata tidak menggambarkan umur yang sebenarnya. Ada fenomena yang khas di kalangan politisi PK Sejahtera, mereka dipandang terlalu serius dan moralis dalam berpolitik. Akibatnya raut wajah mereka kebanyakan lebih tua dari usia di KTP-nya. Semoga ini tanda dari kematangan berpolitik, dan bukan beratnya tekanan publik. Sebab, negeri ini masih memerlukan energi dan stamina politik yang prima untuk menyelesaikan bengkalai krisis multidimensi. []