Ketiga orang itu terdiam. Aku membayangkan mereka menerawang. Tapi siapa tahu, aku tidak bisa melihat dan mengenal mereka?
Lagu pertama usai. Aku segera melanjutkan dengan nasyid kedua, Senyum. Aku sengaja memilih lagu-lagu yang ceria ini, untuk memberi semangat kepada yang mendengarnya. Dalam hati aku bertanya-tanya berbagai pertanyaan yang tidak menentu. Namun fokusku kepada nasyid yang sedang kubawakan tidak berkurang sedikitpun.
Lagu kedua pun selesai. Aku berhenti sejenak. Mengambil nafas, dan minum air putih. Sambil mengatur nafas, aku berkata kepada ketiga pendengarku, tapi hei ternyata, tidak cuma mereka sekarang. Ada beberapa, jumlahnya sekitar puluhan, orang-orang lain yang juga sudah merubungiku. Tapi semangatku sudah keburu terbentuk dari tadi, jadi hal itu sudah tidak berpengaruh lagi.
Kali ini sebelum sempat aku menyanyikan lagu terakhir menurut perjanjian, seseorang dari ketiga orang tersebut tiba-tiba mengangkat tangannya, “Boleh saya request?”
“Ya?”
Ia diam sejenak, seperti menarik nafas, “Can you sing Ya Rasulullah?”
Giliranku yang terdiam sejenak. Bukan apa-apa, sumpah, tadinya memang aku sudah akan membawakan lagu itu sebagai penutup. Aku menganggukan kepala. Tanpa ba-bi-bu lagi, aku segera saja masuk intro. Dan kupikir, aku benar-benar bernyanyi dengan segenap kekuatan terbaik yang pernah kumiliki selama ini.
……………….
Kutahu cintamu kepadamu umat, (ummati-ummati)
Kutahu bimbangnya kau tentang kami, (selamatkanlah kami),
…………………
alangkah indahnya hidup ini
andai dapat kutatap wajahmu…
……………………..
Lagu itu usai kunyanyikan, dan suasana sekitar benar-benar hening. Lama. Kemudian, satu-satu kudengar isak tangis hampir di semua penjuru. Beberapa menit kemudian, kudengar tepuk tangan perlahan, namun kemudian suasana mulai kembali ramai seperti semula.
Salah seorang dari ketiga orang kakek itu berdiri. Sambil menyalamiku, dan aku merasakan ada sebuah amplop di sana, ia berkata perlahan, “Orang muda, you sing better than the owner of its songs….”
Aku hanya menggaruk-garuk kepala. Ketiga orang itu mulai pergi, begitu juga dengan kerumunan yang sudah membubarkan diri setelah memberikan satu atau dua kepingan receh yang mereka punyai. Fiuh, alangkah melelahkannya hari ini. Matahari sudah hampir akan terbit di sebelah barat.
Aku menghirup nafas. Kubuka amplop itu. Aku tersentak, hampir terjatuh. Amplop itu berisi sebuah kertas yang kuyakin pasti sebuah cek. Isinya (tak pernah terpikir olehku) Rp. 250 juta untuk kuuangkan!
Tapi yang lebih membuat aku terkaget-kaget dan mungkin juga bisa membuat jantungku berdetak sangat cepat adalah tanda tangan di cek itu: Nazrey Johani, salah satu personil dan pendiri Raihan! []