KITA masih ingat doa Nabi Ibrahim yang dipanjatkan ke haribaan Ilahi agar para keturunannya diselamatkan dari segala tipu muslihat duniawi yang kerap menggelincirkan nasib hidup manusia, namun kemudian secara eksplisit Tuhan menjawab: “Doamu akan Kami kabulkan bagi anak-cucumu yang konsisten memilih jalan yang benar, kecuali bagi mereka yang menyimpang dari kebenaran.”
Rupanya tidak ada jaminan bagi keturunan seorang Rasul maupun anak Waliullah mendapat jaminan gratis untuk masuk surga kecuali atas dasar usaha dan perjuangan hidupnya dalam menempuh jalan kebenaran.
Sebaliknya, anak seorang Abu Jahal pun dapat mencapai kemuliaan apabila dia mengikuti kata hatinya untuk menempuh jalan yang benar. Karena pada hakikatnya, kebenaran itu secara adil disuarakan kepada hamba-hamba Allah melalui berbagai macam cara untuk menempuhnya, tergantung pada kehendak dan perjuangan hamba tersebut untuk mencapainya.
Seperti kata pepatah, semakin tinggi tingkat tantangan dan ujian hidup, semakin kentara kesuksesan dan kemuliaan berada di pelupuk mata. Pada ayat-ayat pertama surat Al-Ankabut dinyatakan bahwa seorang hamba tidaklah mendapat jaminan gratis untuk meraih surga sebelum ia berhasil melampaui segala rintangan dan tantangan yang disodorkan Tuhan. Karenanya, bagi seorang muslim yang baik, kita harus fokus berpikir dalam konteks ini, agar dapat meraih rahmat dan maghfirah Allah di bulan suci ini.
Segala petuah dan amanat yang disampaikan orang-orang bijak (waliullah) mengajarkan kita bahwa setiap kekuatan dan kemampuan kita untuk memperjuangkan agama Allah, tak lain adalah anugerah yang dititipkan di pundak kita sebagai khalifah. Dan kita semua bertanggungjawab untuk mengembangkan dan melestarikannya.
Ujian Allah tentu diberikan kepada semua manusia di dunia ini, terlebih-lebih seorang pemimpin yang berhadapan langsung dengan realitas kehidupan masyarakat yang kompleks dan plural, di mana ia harus menentukan keputusan-keputusan vital demi kemaslahatan pendidikan umat.
Sewaktu Kiai Syukri Zarkasyi (Gontor) mengunjungi pesantren kami (Al-Bayan) ketika usia pesantren baru menginjak dua tahun (2002 lalu), teringat oleh saya ketika pemimpin Gontor itu mengajak untuk terus bersabar, terutama dalam merintis dan menjalankan dunia pesantren yang saya bangun dari titik nol. Pesan yang singkat itu nampak sederhana, namun begitu besar maknanya bila disampaikan seseorang yang kita anggap sepuh, yang memang punya kapasitas untuk menyampaikannya secara arif dan bijaksana.
Pesan untuk terus konsisten di jalan kebenaran dan kesabaran, terutama pelajaran berharga yang saya ambil dari jejak-langkah beliau. Kemudian saya sampaikan sebagai hikmah dan pelajaran bagi para kiai-kiai muda di Banten, bahwa: untuk menjadi seorang ahli sabar itu tidaklah mudah, kecuali bila kita mendekatkan diri, dan selalu akrab dengan Allah Subhanahu Wata’ala.
Bagaimanapun perjuangan untuk menegakkan kualitas pendidikan tidaklah mudah, dan karenanya di bulan penuh maghfirah ini selayaknya kita bersama-sama saling muhasabah, membuka diri, hingga adanya sambung rasa yang baik di antara kita. Karena bagaimanapun, ukhuwah islamiyah dan ukhuwah imaniyah yang menjadi pesan sentral dari cita-cita para aulia dan anbiya, harus menjadi pijakan utama yang membuat misi pendidikan dan pencerdasan umat, dapat tersampaikan dengan sebaik-baiknya.
Demikian halnya dengan tanggungjawab pemerintah dalam membangun pencerdasan dan kedewasaan umat. Semoga mereka ikhlas berkarya untuk mendidik umat agar memekarkan nilai-nilai peradaban yang islami. Kiranya di bulan yang penuh maghfirah ini kita terus mencapai kualitas ibadah yang semakin baik. Dan bukankah tingkat kualitas ibadah yang baik itu terletak pada besarnya tantangan dan ujian hidup yang dengannya kita konsisten bersikap sabar? []