Oleh: Hamdi Putra Ahmad
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Klaijaga Yogyakarta
hamdie11041997@yahoo.co.id
KEMBALI, kita umat Islam dipertemukan dengan sebuah bulan yang memiliki sejuta keindahan dan keutamaan. Ya, bulan suci Ramadhan. Sebuah bulan yang seolah-olah datang sebagai tamu terhormat yang mempu menyedot perhatian semua pihak di dunia ini, khususnya umat Islam. Pengaruhnya begitu kentara dan membekas, sehingga semua orang berlomba-lomba mempersiapkan diri mereka untuk mengimarahkan kedatangan bulan yang mulia ini.
Datang hanya satu kali dalam setahun, membuat bulan Ramadhan menjadi waktu yang sangat strategis untuk melakukan banyak hal. Orientasi waktunya yang hanya berkisar antara 29 sampai 30 hari, menjadikan bulan Ramadhan sangat sayang untuk diabaikan dan disia-siakan begitu saja. Karena, di bulan ini begitu banyak janji-janji yang disediakan oleh Allah dan Rasul-Nya berupa kebaikan-kebaikan dan pahala-pahala yang tidak dijanjikan di bulan-bulan lain. Bulan ini juga menjadi momen yang sangat menjanjikan untuk memperbaiki dan berbenah diri untuk menjadi manusia yang semakin baik dari waktu ke waktu.
Berbicara tentang bulan Ramadhan, berarti berbicara tentang keutamaan-keutamaan. Bagaimana tidak, bulan ini memang disediakan oleh Allah bagi manusia untuk menyibukkan diri mereka demi mengejar berbagai keutamaan yang ditawarkan di dalamnya. Hampir seluruh keistimewaan yang melekat pada bulan Ramadhan adalah hal-hal yang diutamakan, seperti janji-janji berupa pahala yang berlipat ganda, dan lain sebagainya. Selain itu, terdapat beberapa ibadah tertentu hanya ditekankan untuk dikerjakan pada bulan ini saja, seperti kewajiban berpuasa, shalat tarawih, i’tikaf di masjid, dan lain sebagainya. Ini hanyalah beberapa contoh yang membenarkan mengapa bulan ini disebut sebagai sarangnya keutamaan.
Selain keutamaan-keutamaan, hal lain yang patut untuk dijadikan bahan renungan ialah hikmah-hikmah dibalik perintah mengerjakan ibadah-ibadah tertentu di bulan suci Ramadhan. Salah satunya ialah hikmah yang terkandung dibalik kewajiban melaksanakan ibadah puasa. Sebab, sebagai sesuatu yag diwajibkan, tentunya kewajiban untuk berpuasa itu mengandung hikmah-hikmah yang dapat dipetik oleh manusia. Ada beberapa hal menarik yang bisa kita kupas dalam tulisan ini terkait hikmah yang terdapat dibalik kewajiban melaksanakan puasa di bulan suci Ramadhan.
Puasa, secara harfiah diartikan dengan menahan. Sedangkan secara istilah diartikan sebagai perbuatan menahan diri dari makan dan minum semenjak terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Itu pengertian secara kasar. Lebih dalam lagi, puasa sebenarnya bukan hanya menuntut manusia untuk menahan diri dari makan dan minum saja. Lebih dari itu, yang disebut dengan puasa yang sempurna ialah menahan diri dari makan, minum dan dari segala hal yang tidak berguna, yang dapat merusak kesempurnaan ibadah puasa. Nah, menahan diri dari hal-hal yang tidak berguna ini lah yang sering dilupakan oleh kebanyakan orang-orang yang berpuasa di bulan suci Ramadhan.
Sebelas bulan lamanya, mungkin kita telah banyak menumpuk berbagai bentuk dosa dan maksiat, yang mungkin disebabkan karena sedikitnya peringatan yang sampai ke diri kita. Mungkin telah begitu banyak hal-hal tidak berguna yang tak pernah henti menghampiri diri kita, yang mungkin disebabkan karena dorongan hawa dan nafsu kita. Maka bulan suci Ramadhan, datang sebagai sebuah tamu yang mulia, yang selalu mengingatkan kita untuk terus berbenah dan terus memperbaiki diri agar dosa-dosa, maksiat-maksiat, dan hal-hal yang tidak berguna itu dapat dihilangkan atau setidaknya dapat dikurangi secara berangsur-angsur dari diri kita. Proses menahan yang dituntut di dalam bulan suci Ramadhan inilah sebenarnya yang menjadi kunci utama dalam proses mewujudkan semua tujuan-tujuan tersebut. Namun sayangnya, kunci utama ini sering diabaikan oleh kebanyakan umat Islam, dan malah mengejar kunci-kunci yang lain yang tidak lebih penting.
Selain perintah untuk menahan, dalam ibadah puasa juga terdapat perintah untuk bersikap disiplin terhadap waktu. Antara perintah menahan dan perintah disiplin ini selalu berjalan beriringan. Menahan yang dituntut bukan sekadar menahan, namun bagaimana seseorang mampu bersabar untuk menahan hingga tiba waktu yang tepat untuk menghentikan penahanan itu. Jika waktunya belum tiba, meskipun hanya tinggal beberapa detik lagi, maka ia masih belum diperbolehkan untuk meninggalkan kegiatan menahan tersebut. Nah, dalam hal ini terdapat sebuah hikmah yang sangat besar yang dapat kita ambil.
Kita pasti menyadari bahwa kita sering menganggap remeh hal-hal yang kecil, termasuk waktu. Satu menit itu biasanya asumsinya dapat berubah-ubah tergantung kondisi yang sedang dialami seseorang. Kita umpamakan saja dengan diri kita sendiri sebagai seorang mahasiswa. Adakalanya satu menit itu kita anggap satu detik, dan ada kalanya satu menit itu kita anggap satu jam. Satu menit sering kita anggap satu detik jika kondisinya menguntungkan buat diri kita. Seperti saat akan keluar dari kelas. Jika ada dosen yang bertanya di satu menit terakhir waktu normal untuk keluar dari kelas, apakah waktunya sudah habis, maka kita cenderung akan menjawab bahwa waktunya sudah habis. Padahal waktu nya masih tersisa satu menit lagi. Nah, dalam hal ini kita sering zhalim dengan waktu yang satu menit, dengan menganggapnya hanya satu detik.
Bagaimana pula kasus menganggap satu menit sama dengan satu jam? Kembali kita umpamakan dengan diri kita sebagai mahasiswa. Biasanya, kecenderungan seperti ini akan muncul jika keadaannya menyusahkan, atau dalam keadaan yang tidak kita senangi. Seperti saat akan menghadiri rapat. Jika satu menit lagi waktu normal dimulainya rapat telah masuk, biasanya para peserta rapat akan mengubah anggapan satu menit itu menjadi satu jam. Sehingga ia akan bersikap santai dan tidak segera megejar waktu yang satu menit itu. Dan pada akhirnya rapat yang diagendakan seharusnya pukul delapan misalnya, bergeser dengan sendirinya menjadi jam sembilan. Nah inilah kebiasaan-kebiasaan kurang baik yang menunjukkan inkonsistensi kecenderungan manusia. Memang tidak semua orang yang bersikap seperti ini, namun sebagian besar pasti memiliki kecenderungan seperti ini. Nah, sikap-sikap inilah yang diajarkan dalam ibadah puasa untuk dijauhi dan dihilangkan dari dalam diri kita.
Terakhir, hikmah terbesar yang dapat kita ambil dari perintah melaksanakan ibadah puasa ialah bagaimana puasa yang kita lakukan itu dapat melatih hati kita untuk selalu takut kepada Allah. Contohnya ialah saat seorang pecandu rokok mampu menahan dirinya untuk tidak merokok selama melaksanakan ibadah puasa di siang hari. Lantaran Allah sendiri yang melarangnya merokok saat berpuasa, ia mampu untuk tidak merokok selama lebih kurang 12 sampai 13 jam setiap hari. Sebuah pencapaian yang luar biasa oleh seorang pecandu rokok yang mungkin di bulan-bulan lain tidak mampu ia lakukan. Tentunya ini bukan sebuah kebetulan, namun sebuah pencapaian yang mampu ia lakukan lantaran takut kepada Allah. Seandainya saja larangan merokok itu datang dari isterinya di rumah, atau dari rang tuanya, mungkin ia bisa pergi ke luar atau ke tempat lain yang tidak diketahui oleh istri atau orang tuanya, lalu merokok di sana sehingga ia tidak ketahuan. Namun berbeda dengan hambatan merokok lantaran berpuasa. Kemanapun ia pergi, ia tidak akan pernah luput dari pengawasan Allah, sehingga dengan sendirinya ia mampu menahan dirinya untuk tidak merokok dalam waktu yang cukup lama, yang mungkin di bulan-bulan lain hal itu menjadi sesuatu yang mustahil untuk diraih.
Semoga puasa yang kita lakukan tahun ini bukan sekadar sebuah ritual penyambutan tamu yang terhormat saja. Namun bagiamana kita mampu melayani sekaligus menikmati oleh-oleh yang diberikan tamu itu dengan sebaik-baiknya, sampai akhirnya kita mampu melepas kepergiannya dengan kesedihan yang mendalam dan merindukan kedatangannya kembali. []
Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi di luar tanggung jawab redaksi.