Oleh: Henny Ummu Ghiyas Faris
Penulis buku antologi “Puzzle Dakwah”
Bulan Ramadhan yang mulia dan agung telah menghampiri kita. Saat di mana Allah melipatgandakan pahala, dan membuka pintu-pintu kebaikan bagi orang-orang yang menginginkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memilih bulan Ramadhan dengan keutamaan dan kekhususan dibanding bulan-bulan yang lainnya. Hal ini sebagai bentuk nikmat dan karunia Allah kepada para hamba-Nya agar mereka bersemangat mendekatkan diri kepada Allah dan meninggalkan perbuatan yang dimurkai-Nya.
Di antara keutamaan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an, setan-setan dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup dan pintu-pintu surga dibuka ketika Ramadhan tiba. Terdapat malam yang penuh kemuliaan dan keberkahan, dan Bulan Ramadhan adalah salah satu waktu dikabulkannya doa.
Maha Benar Allah dengan firmanNya :
“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.”(QS. Al Baqarah: 185)
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa Bulan Ramadhan yang mulia ini adalah kesempatan kita untuk melakukan dan memperbanyak amalan kebaikan. Begitu banyak amalan kebaikan yang bisa kita lakukan di bulan Ramadhan ini, yang tentunya akan menambah pundi-pundi pahala terbuka lebar.
Tinggalkan Maksiat
Di bulan Ramadhan, setan-setan dibelenggu sehingga manusia tidak tergoda untuk melakukan penyimpangan ataupun kemaksiatan. Namun, pertanyaan yang sering kita dengar adalah “kalau dibelenggu mengapa kemaksiatan masih ada di bulan Ramadhan?”
Keterangan tentang dibelenggunya syetan di bulan Ramadhan, sebenarnya dari sebuah hadits dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rasulullah saw telah bersabda, “Apabila bulan Ramadhan datang, maka pintu-pintu surga akan dibukakan dan pintu-pitu neraka akan ditutup serta syetan-syetan akan dibelenggu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Di antara faktor yang menyebabkan manusia terjerumus ke dalam perbuatan maksiat adalah godaan setan, godaan nafsu, dan tabiat buruk manusia.
Di bulan Ramadhan banyak terlihat maraknya tayangan religi di TV, booming busana muslimah, menutup aurat hanya di bulan Ramadan, juga tentang penutupan tempat-tempat hiburan, tempat-tempat maksiat. Dikutip dari news.detik.com 11/05/2018 seluruh tempat hiburan malam di Kota Bandung diwajibkan untuk tutup selama Bulan Ramadan. Kewajiban itu mulai berlaku menjelang puasa 13 Mei hingga usai lebaran pada 18 Juni 2018 mendatang.
Di antara sekian alasan yang pro terhadap penutupan itu, salah satunya adalah bahwa bulan suci Ramadhan dan umat Islam yang berpuasa di dalamnya harus dihormati dengan jalan menghentikan segala bentuk perilaku maksiat.
Menarik menelaah seberapa jauh alasan tersebut bisa diterima. Memang, pada saat umat Islam menunaikan ibadah di bulan Ramadhan, diperlukan suasana kondusif yang memungkinkan dijalankannya puasa dan ibadah lain secara khusyuk. Maka, segala gangguan, terutama yang berbau kemaksiatan, sebisanya dihindari dan ditinggalkan.
Namun, ada kelemahan mendasar pada argumentasi itu. Sebab, seolah-olah perilaku kemaksiatan di luar Ramadhan diperbolehkan, bahkan diberi ruang yang luas. Kita tentu setuju jika tempat-tempat kemaksiatan ditutup pada Ramadhan. Tetapi, penutupan tersebut jangan didasarkan pada Ramadhan¬nya, melainkan bahwa segala bentuk kemaksiatan memang harus dihindari, tak peduli Ramadhan atau bulan-bulan lain. Jangan sampai pasca Ramadhan semua kembali seperti semula. Masyarakat dipaksa hidup dalam suasana sekuler.
Sebab, sekali lagi, jika Ramadhan dijadikan alasan penutupan hiburan malam, akan timbul kerancuan berpikir bahwa di luar Ramadhan, kemaksiatan menjadi halal (argumentasi seperti ini sama dengan pernyataan, “Jangan berbohong saat sedang berpuasa.” Jadi, logika terbaliknya: di luar Ramadhan boleh berbohong dong?).
Cara berpikir seperti itu sama saja dengan “memenjarakan” Allah, yaitu membatasi wilayah kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya di waktu atau tempat sakral (suci) sehingga logika terbaliknya, Allah tidak berhak mengatur kita di waktu atau tempat profan (duniawi).
Sementara itu, kalangan yang kontra atas penutupan tempat-tempat maksiat mengajukan berbagai argumentasi yang kelihatan logis dan manusiawi. Akan tetapi, jika kita tinjau lebih jauh, semuanya tidak logis dan (justru) tidak manusiawi.
Pertama, penutupan tempat maksiat dan sejenisnya bahwa sudah ada sepanjang sejarah manusia. Karena tempat maksiat dianggap ada sejak dulu, sia-sia saja usaha untuk memberantasnya. Karena itu, perlu dilokalisasi dan tidak perlu diusik-usik, meski Ramadhan tiba. Jika cara berpikir seperti ini diikuti, memang tidak perlu ada usaha-usaha pemberantasan.
Kedua, argumentasi bahwa (maaf) para pelaku maksiat atau pengusaha tempat-tempat maksiat itu akan kesulitan mencari nafkah (apalagi menjelang Lebaran) jika pada saat Ramadhan tempat “kerja” mereka ditutup. Argumentasi itu kelihatannya manusiawi sekali. Tetapi, sesungguhnya justru menjerumuskan mereka dari sisi kemanusiaan. Sisi kemanusiaan mana yang membolehkan orang melakukan transaksi jual-beli untuk kemaksiatan diri ?
Dalam pandangan Islam sudah jelas berbuat maksiat dan pemberi fasilitas untuk berbuat kemaksiatan adalah dosa. Berbuat maksiat akan menjauhkan kita dari ketidakbaikan.
Sambutlah Ramadhan dengan amalan kebaikan
Bulan yang penuh keberkahan dan kebaikan ini akankah kita menyia-nyiakannya? bisa jadi Ramadhan kali ini adalah Ramadhan terakhir bagi kita, tidak ada yang menjamin kita akan berjumpa dengan Ramadhan berikutnya. Oleh karena itu nikmat yang di berikan Allah Subhanahu wa Ta’ala ini hendaknya kita syukuri.
Bulan Ramadhan kita jadikan tonggak awal untuk perubahan kebaikan yang hakiki pada diri kita, tapi perubahan itu tidak hanya di bulan Ramadhan saja tapi di bulan-bulan yang lainnya tetap harus menjadi lebih baik. Perubahan hakiki tidak akan tercapai hanya dengan menghidupkan suasana Ramadhan yang nuansa serba islami, agamis. Kebaikan Ramadhan hanya semu karena pola pikir dan sikap masyarakat tidak diubah secara fundamental, melalui pemahaman yang utuh tentang makna kehidupan Islami.
Bahwa kehidupan penuh suasana ketakwaan adalah jika setiap hamba terikat pada aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam seluruh aspek kehidupan. Bukan hanya masalah ibadah mahdhah saja seperti puasa, zakat, sholat, dan terlebih amalan sunah seperti tarawih bersama, dll. Tetapi Makan, minum, berpakaian, berpolitik, mengurus tatanan ekonomi, sodial, budaya, hukum, dan lainnya harus diatur dengan Aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wallaahu a’lam bi ash-shawab. []