Oleh: Ibnu Qadri, murdani.tulqadri@gmail.com
TANPA terasa, hari-hari Ramadhan yang penuh berkah telah banyak berlalu meninggalkan manusia. Sekarang, Ramadhan hendak beranjak pergi di hari-hari terakhirnya ini untuk meninggalkan manusia dengan segala amalan yang telah mereka lakukan. Ramadhan begitu akrab dan identik dengan puasa, tarawih, dan untaian bacaan Alquran. Ibadah-ibadah tersebut telah menjadi warna dominan yang menghiasi tiap-tiap Ramadhan.
Di sisi lain, sebagian orang kadang meninggalkan sebuah agenda yang begitu penting untuk dilakukan di bulan Ramadhan. Agenda tersebut bernama muhasabah. Adalah muhasabah diri dikenal pula dengan sebutan wawas diri dan juga introspeksi. Dalam bahasa Indonesia istilah ini berarti peninjauan kembali atau koreksi terhadap diri sendiri baik dari segi sikap, perbuatan, kelemahan, keasalahan, dan yang berkaitan lainnya. Lalu, mengapa muhasabah menjadi penting untuk kita?
Perintah Bermuhasabah
Allah telah mengingatkan agar kita selalu bermuhasabah dalam kehidupan keseharian kita. Hal ini dilakukan agar buah dari pekerjaan kita nantinya bukanlah berupa buah yang pahit rasanya dan busuk aromanya. Allah berfiman,
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Terjemahan Q.S. AL Hasyr: 18)
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan menyatakan bahwa hendaknya manusia menghisab (menghitung-hitung amalnya) dirinya sendiri sebelum Allah yang menghisab dirinya. Hendaknya pula manusia melihat dan memperhatikan bekal dan tabungan amal salih yang akan dibawa ke hadapan Rabbnya. Bahkan, Allah memberikan penegasan kepada manusia dua kali dalam ayat ini untuk selalu bertakwa kepada-Nya yang mencakup pelaksanaan semua perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya.
Sehubungan dengan itu, Umar bin Khattab sahabat Rasulullaah Shallallaahu ‘alayhi wassallam pernah pula berkata,“Hisablah dirimu sendiri sendiri sebelum dirimu dihisab (pada hari kiamat), dan timbanglah amal perbuatanmu sendiri sebelum perbuatanmu ditimbang (pada hari kiamat).” (diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan At-Tirmidzy)
Seorang Tabi’in (generasi as-salaf as-shalih setelah generasi sahabat) bernama Hasan Al-Bashriy juga pernah memberikan nasehat yang bijak dan indah berkaitan dengan muhasabah. “Seorang mukmin itu,” kata Sang Tabi’in, “adalah pimpinan bagi dirinya sendiri. Ia menginstropeksi dirinya karena Allah. Sesunggunya hisab (perhitungan) pada hari kiamat nanti akan menjadi ringan, bagi mereka yang telah melakukan introspeksi di dunia. Sebaliknya, hisab akan terasa berat bagi mereka yang tak pernah berintrospesi.”
Saat-saat yang tepat untuk bermuhasabah
Berpikir adalah bahagian dari muhasabah. Berpikir sebelum bertindak dan beramal adalah hal yang patut untuk dilakukan. Bahkan, sebagian ulama menyatakan bahwa hendaknya seseorang berhenti sejenak, merenung di saat pertama munculnya keinginan untuk melakukan sesuatu. Tidak bersegera kepadanya sampai benar-benar jelas baginya bahwa melakukannya lebih baik daripada meninggalkannya.
Hasan Al-Bashriy bahkan mendoakan orang yang bermuhasabah sebelum beramal. Beliau berkata,“semoga Allah merahmati seorang hamba yang berpikir di saat pertama ia melakukan sesuatu. Jika itu karena Allah, ia lanjutkan, dan jika bukan karenanya, ia menangguhkannya.” Maka, hal ini disebut dengan muhasabah sebelum beramal.
Muhasabah juga dilakukan setelah beramal. Kita menyadari bahwa begitu banyak kelalaian yang kita perbuat. Begitu banyak hak-hak Allah yang kita tinggalkan. Tak jarang kita melakukan serentetan kesalahan yang di sisi Allah begitu besar dosanya. Ada beberapa pertanyaan yang patut kita renungkan dalam proses muhasabah ini. pertanyaan-pertanyaan yang akan menyadarkan bahwa kita telah benar-benar jauh dari Allah.
Mari kita bertanya, berapa banyak Alquran yang kita baca dalam sehari daripada Koran yang sekali duduk boleh jadi kita khatamkan? Berapa banyak lafadz-lafadz Alquran yang kita lantunkan dan berbagi jenis zikir yang menghiasi bibir kita daripada berpuluh-puluh judul lagu yang kita nyanyikan bahkan hafalkan? Sudah berapa banyak hati dan raga yang tersakiti akibat dari lontaran kata pedas dan sakitnya pukulan kita? Sudah berapa sering kita shalat namun tidak tepat waktu bahkan tak jarang meninggalkannya? Adakah waktu kita gunakan dengan sebaik mungkin ataukah selama diisi dengan berbagai macam kesia-siaan bahkan kemaksiatan yang mendatangkan murka Allah? astagfirullaah al-Adziim. Kadang bahkan seringkali dosa-dosa yang kita lakukan mengalir deras bak air terjun yang menerjang bebatuan tanpa kita sadari.
Taubat sebagai buah muhasabah
Bermula dari muhasabah kita menyadari sedemikian banyaknya kesalahan-kesalahan yang kita lakukan selama ini. Maka begitulah manusia tak pernah lepas dari kesalahan. Begitulah anak cucu Nabi Adam yang telah ditakdirkan untuk berbuat kesalahan. Namun, apakah yang lebih baik dari semua itu?
“Seluruh anak Adam berdosa dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang bertaubat.” (HR. Ibnu Maajah)
Olehnya, kembali kepada Allah adalah satu-satunya jalan untuk menghapus kesalahan-kesalahan yang ada. Allah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,” (Terjemahan Q.S. At-Tahrim: 8)
Dengan taubat pula, kita akan meraih cinta Allah Azza wa Jalla. Allah menyatakan cintanya itu kepada mereka yang senantiasa bertaubat kepada-Nya. Karena, Allah berfirman,
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (Terjemahan Q.S. Al-Baqarah: 222)
Muraqabatullah sebagai buah muhasabah
Muhasabah juga mengajarkan untuk tentang muroqabatullah dalam artian kita meyakini bahwa Allah selalu hadir dan mengawasi seluruh perilaku yang kita lakukan. Kita mengetahui bahwa Alah mengetahui segala sesuatu yang kita tampakkan dan kita sembunyikan dalam hati kita. Karena sesungguhnya,
“Yang mengetahui semua yang gaib dan yang nampak; Yang Maha Besar lagi Maha Tinggi. Sama saja (bagi Allah), siapa di antaramu yang merahasiakan ucapannya, dan siapa yang berterus-terang dengan ucapan itu, dan siapa yang bersembunyi di malam hari dan yang berjalan (menampakkan diri) di siang hari.” (Terjemahan Q.S. Ar-Ra’ad: 9-10)
Muroqabatullah pula mengajak untuk senantiasa takut kepada Allah dengan azabnya yang boleh jadi dengan seketika ia berikan kepada kita tatkala kita sedang larut dalam perbuatan dosa. Ataukah kita merasa aman dari makar Allah tatkala kita menikmati perbuatan keji dan dosa yang kita lakukan dan tak ada hukuman Allah yang disegerakan? Sungguh Rasulullaah Shallallaahu ‘alayhi wassallam pernah bersabda,
“Sungguh saya akan memberitahukan tentang segolongan dari kaumku, mereka di hari kiamat akan diperlihatkan pahala kebaikan-kebaikannya yang begitu banyak menyerupai besarnya gunung Tihamah yang putih, kemudian tiba-tiba Allah meleburkan pahala mereka. Tahukah kalian? Mereka adalah saudaramu, sebangsamu, kalau malam beribadah seperti kalian, tetapi mereka ketika sendirian melakukan larangan-larangan Allah.” (HR. Ibnu Majah)
Ramadhan memang bukanlah satu-satunya waktu untuk melakukan muhasabah diri. Akan tetapi bagi mereka yang belum pernah mengetahui perintah dan hakikat bermuhasabah dapat menumbuhkannya di bulan penuh berkah ini. Sehingga ketika ba’da bulan Ramadhan, mereka akan senantiasa menjadikan muhasabah sebagai kebiasaan baik sebelum dan setelah melaksanakan sesuatu.
Kita menyadari bahwa amalan saleh yang kita lakukan begitu sedikit dan kita tak pernah tahu apakah amalan tersebut diterima di sisi Allah. Sedangkan dosa adalah perkara yang senantiasa kita lakukan. Maka kita berharap, dengan tekad yang kuat serta keyakinan dalam hati agar senantiasa bermuhasabah di setiap amalan yang kita lakukan dalam kehidupan ini. Pun dengan istighfar (taubat) yang mengiringi dan dan muraqabatullah yang selalu menghiasi amalan-amalan kita.
Di Penghujung Ramdhan ini, kita berharap bahwa setelahnya kita senantiasa istiqamah dalam ibadah dan ilmu serta selalu berkumpul bersama orang-orang yang senantiasa bermuhasabah dan takut dengan Rabb-Nya. Semoga, masih ada Ramadhan-Ramadhan berikutnya yang Allah perkenankan untuk kita bertemu membasahi rindu akannya dan merajut cinta yang saleh di dalamnya. Semoga pula Allah mengumpulkan kita ke dalam Jannah Al-Firdaus-Nya, kelak. Aamiin. Wallahu a’lam. []