Oleh: Rianda Febrianti, Mahasiswa Psikologi
Koordinator Kajian I, Komunitas Penggenggam Hujan Universitas Indonesia
“Rasulullah SAW adalah orang yang paling pemurah, dan lebih pemurah lagi dalam bulan Ramadhan. Ketika ditemui oleh Jibril, beliau SAW ditemui Jibril pada setiap malam di bulan Ramadhan, dan kemudian beliau melakukan mudarasah al-Qur’an (mendengarkan dan memperdengarkan bacaan al-Qur’an). Sungguh Rasulullah SAW sangat lebih pemurah dibandingkan angin yang bertiup.”
(HR. Bukhari, Muslim, an-Nasai, Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Hibban)
RAMADHAN adalah bulan dimana Allah Swt bukakan seluas-luasnya pintu surga. Bahkan Rasulullah SAW kekasih Allah Swt sangat giat menambah kebaikan di bulan ini seperti yang tergambar dalam kutipan hadist tersebut. Rasulullah Saw mencontohkan kepada kita untuk lebih giat meningkatkan ibadah dalam bulan Ramadhan. Ibarat ketika kita melihat barang yang mendapat diskon, kita akan membeli lebih dari satu barang tersebut karena diskon itu hanya berlaku pada waktu itu saja.
Sebagai umat muslim yang berorientasi kepada kehidupan akhirat, tentu kita tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini, terlebih kita tidak tahu apakah usia kita akan sampai lagi atau tidak di bulan Ramadhan tahun depan. Idealnya, kita pun akan memanfaatkan bulan Ramadhan ini dengan sebaik-baiknya. Namun, apakah realitanya kita benar-benar akan lebih giat dalam beribadah seperti yang dicontohkan Rasulullah Saw tersebut? Akan ditemui keragaman jawaban atas pertanyaan tersebut, bisa ‘ya’, ‘tidak’ atau bahkan ‘ragu-ragu’.
Bila kita menilik lebih lanjut, dalam bulan suci ini, kita digiring untuk meningkatkan kualitas diri dengan lebih giat beribadah untuk mencapai taqwa kepada Allah Swt. Peningkatan kualitas diri ini dapat berupa memperbaiki kekurangan, membiasakan yang baik dan meningkatkan kualitas kebaikan dalam diri kita. Pada bulan yang baik ini, kita dapat memulai habituasi (membiasakan) hal-hal baru untuk meningkatkan ketaqwaan kita sehingga hal tersebut menjadi output yang dapat menambah kualitas diri sesudah ramadhan ini untuk menjadi insan yang lebih baik dan meraih kemenangan di hari yang fitri.
Prof. Al Attas dalam bukunya “Risalah untuk Kaum Muslimin” menjelaskan bahwa dalam Islam, target utama pendidikan Islam adalah individu muslim. Hal ini berkaitan dengan bagaimana individu itu dapat menjadi insan yang beradab kelak. Islam sangat memperhatikan kualitas diri individu sebagai muslim. Ini jelas tergambar dimana setiap manusia akan dihitung amal ibadahnya secara individu saat Yaumul Hisab. Kebaikan yang dia lakukan semasa hidup walaupun itu dilakukan kepada orang lain seperti sedekah atau memberi makanan kepada orang miskin, tetap itu akan dihitung sebagai pahala bagi dirinya sendiri.
Begitu juga dengan keburukan, walaupun keburukan ia kenai kepada orang lain saat di dunia, tetap keburukan dosa itu akan kembali kepadanya kelak. Hal itulah yang membuat seorang muslim yang terdidik dengan baik akan berhati-hati dengan perilakunya karena perbuatan apapun akan kembali kepada dirinya sendiri. Dalam bulan Ramadhan ini, tentu kita harus sebanyak-banyaknya mengingat kualitas diri kita sendiri dan menjadikan momen ramadhan ini sebagai kesempatan memperbaiki kualitas diri.
Berbicara kualitas diri, kita akan berbicara tentang aspek fisik dan metafisik dalam diri kita. Secara fisik, kita dapat melihat kualitas diri kita melalui kesehatan tubuh. Sedangkan secara metafisik, kita biasanya menyebut dengan kesehatan jiwa.
Perbedaan Ilmu Jiwa Kontemporer dan Islam
Sebelum membahas lebih jauh tentang jiwa dan inti jiwa dalam Islam, akan terlebih dahulu dibedakan antara psikologi kontemporer yang banyak dipahami sekarang dengan psikologi Islam. Istilah psikologi, berasal dari dua kata bahasa Yunani, “psyche” yang berarti jiwa dan “logos” yang berarti ilmu. Definisi psikologi, bila merujuk pada definisi Gerrig dan Zimbardo (2002), yaitu, “ilmu yang mempelajari perilaku individu dan proses mentalnya”. Seperti yang dipaparkan dalam definisi tersebut, ilmu jiwa yang dipelajari dalam ilmu pengetahuan kontemporer lebih fokus pada perilaku dan proses mental yang bersifat empiris.
Psikologi kontemporer awalnya berangkat dari hal-hal yang metafisik seperti ruh (spirit), jiwa (soul), pikiran (mind), dan lain-lain dan terus berkembang hingga sekarang lebih menekankan empirisisme (King, Viney, dan Woody, 2009), yaitu dengan mempelajari perilaku dan proses mental yang dinilai dapat menggambarkan kejiwaan seseorang. Bila kita membandingkan dengan ilmu jiwa yang dipaparkan oleh para ilmuwan muslim terdahulu dengan rujukan Al Quran dan sunnah, ilmu jiwa yang dipelajari dalam Islam tidak sebatas perilaku yang dapat terindera atau empiris. Ilmu jiwa dalam Islam mempelajari yang terindera maupun yang tidak terindera, fisik maupun metafisik, perilaku terlihat maupun yang ada di dalam hati.
Berbeda dengan dengan psikologi kontemporer, ilmu jiwa dalam Islam mempelajari juga yang tidak terindera seperti hati, ruh, pahala, dosa dan lain-lain. Secara umum dan singkat mungkin itulah perbedaan antara keduanya. Dalam bahasan kali ini, kualitas jiwa yang dibahas adalah jiwa perspektif Islam.
Pusat Jiwa
Secara garis besar, menurut Ibnu Sina, jiwa meliputi fisik dan metafisik, ia berbentuk fisik dan juga berupa substansi metafisik yang menggerakkan individu dan independen atau berdiri sendiri dalam individu itu. Tidak ada pemisahan antara fisik dan metafisik pada jiwa manusia dalam pandangannya. Peningkatan kualitas jiwa manusia berhubungan dengan hal yang fisik maupun metafisik pada diri seseorang.
Islam memiliki perhatian besar terhadap aspek jiwa (nafs). Al Ghazali mengatakan bahwa pusat dari jiwa adalah hati. Dimana kualitas jiwa seseorang ditentukan oleh kondisi hatinya. Mungkin kita juga teringat dengan sabda Rasulullah Saw tentang hati,
“Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika segumpal daging itu baik, maka akan baik seluruh tubuh manusia, dan jika segumpal daging itu buruk, maka akan buruk seluruh tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia.” (Muttafaqun’alaih)
Kita juga bisa melihat dimana Allah SWT banyak membahas tentang hati manusia dalam Al Quran (QS. Al-Hajj:46, QS. al-Isra’:36, QS. Al-Mujadilah:22, QS. Al-Hujurat:7, Al Nahl:106). Melalui hati Allah Swt menyampaikan rahmat dan hidayah-Nya, dimana Allah Swt akan memberi cahaya petunjuk manusia kepada hatinya.
“Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya..” (QS. At-Taghâbun: 11)
Kualitas diri seseorang bermula dari hatinya. Dimana yang harus banyak dibenahi ketika seseorang ingin meningkatkan kualitas dirinya adalah hatinya. Menjaga hati ibarat menjaga pusat kota yang mengontrol sebuah negara. Ketika pusat itu hancur maka hancur juga negara tersebut, ketika pusat itu baik dan menjalankan fungsinya dengan baik juga negara itu sehingga menjadi hal yang sangat penting menjaga kesucian hati untuk kualitas jiwa kita.
Lalu hati yang seperti apa yang dapat meningkatkan kualitas jiwa seseorang?
Sebelum menjawab pertanyaan tentang hati, mari kita menilik bahasan ulama klasik tentang ini. Dalam kitab Ihya’ Ulumiddin, Al Ghazali mengkategorikan kondisi jiwa menjadi tiga macam, Al Nafs Al Ammarah (jiwa yang dipenuhi nafsu hewani), Al Nafs al-lawwamah (jiwa yang dipenuhi penyesalan), Al Nafs muthma’innah (jiwa yang tenang). Kondisi jiwa yang menyelamatkan kita tentulah jiwa yang tenang seperti yang diperintahkan oleh Allah Swt.
“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke kalangan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke surga-Ku.” (QS. Al Fajr: 27-30).
Kondisi jiwa yang tenang hanya dapat dicapai dengan kondisi hati yang bersih dan dipenuhi dengan niat ibadah kepada Allah Swt. Al Hakim Al Tirmidzi (205-304H) termasuk ulama yang banyak membahas tentang hati, bahkan beliau sudah mengkategorikan hati menjadi empat stasiun atau lapisan. Lapissan hati menurut beliau antara lain dada (sadr), hati (qalb), hati yang lebih dalam (fu’ad) dan inti hati yang lebih dalam (lubb). Lapisan sadr adalah tempat masuknya segala ancaman terhadap hati atau penyakit hati seperti syahwat, iri, dengki, angan-angan dan lain-lain. Pada sadr ini juga tempat masuknya cahaya Islam dimana untuk melancarkan cahaya Islam masuk seseorang harus banyak belajar, mendengar karena pada sadr juga merupakan tempat menjaga apa yang didengar dan dipelajari. Pada lapisan sadr ini, bisikan setan yang berbahaya bila bertahan lama dapat menembus ke lapisan kedua, yaitu, qalb.
Qalb atau hati merupakan tempat keyakinan, pengetahuan, dan niat berasal. Apapun yang dapat menembus lapisan ini dapat mempengaruhi keyakinan, pengetahuan dan niat. Hati diibaratkan seperti sumber mata air yang memancar ke telaga (sadr). Qalb merupakan tempat cahaya iman berasal yang dapat menembus sadr dan membersihkan sadr. Ketika hati sudah dipenuhi dengan pengaruh yang bukan karena rahmat Allah atau nafsu yang buruk maka hati ini dapat mempengaruhi seluruh jiwa. Qalb ibarat raja yang berkuasa di sebuah kerajaan.
Lapisan ketiga, fu’ad, yaitu, tempat lokus makrifat dan penyaksian. Lapisan ini adalah tempat cahaya makrifat, tempat terjadinya penguatan dan penyaksian tentang keagungan Allah Swt. Semua pengetahuan yang didapat pada sadr dan qalb tidak akan bermanfaat apa-apa ketika fu’ad tidak menyaksikan. Ibarat pengetahuan pengelihatan yang tidak dapat diraih oleh orang buta karena tidak dapat menyaksikan apa-pun. Orang yang mendapat cahaya makrifat pada fu’ad akan merasakan penguatan pada keimanannya karena Allah membuatnya merasakan nikmat beriman sehingga menjadi orang arif dalam menjalani hidup.
Fu’ad juga lintasan hati yang mengantarkan kepada inti hati lebih dalam (lubb) sehingga ketika fu’ad tidak mendapat cahaya makrifat karena hati yang dipenuhi keburukan maka lubb pun akan sulit terbuka. Lubb atau inti hati lebih dalam, adalah tempat cahaya tauhid dimana jiwa yang tenang (nafs muthma’inah diraih. Lubb juga merupakan sumber cahaya tauhid, sumber penyaksian keesaan-Nya. Lubb yang aktif hanya akan diraih oleh orang yang beriman dan berhati bersih karena lubb tidak akan tersentuh dengan syahwat, kebodohan maksiat atau penyakit hati lainnya. Cinta kepada iman akan menghiasi hati akan terjadi di lubb orang yang berhasil berpaling dari hawa nafsu dan taat beribadah kepada Allah Swt.
Al Tirmidzi juga menjelaskan bahwa orang yang memiliki lubb yang aktif adalah orang yang berakal yang sering disebut Allah Swt dalam Al Quran. Lubb adalah akal orang beriman, dimana dalam memutuskan segala sesuatu berdasarkan ketaqwaannya kepada Allah Swt, berdasarkan apa yang dianjurkan oleh Sang Penguasa alam semesta. Kecerdasan hati inilah yang dapat membuat seorang hamba mencapai jiwa yang tenang karena berhasil menjauhkan diri dari apa yang dilarang-Nya.
Pada bulan Ramadhan ini, Allah Swt lapangkan kesempatan kita untuk mencapai jiwa yang tenang dengan mewajibkan puasa dan menganjurkan lebih giat meningkatkan amal ibadah. Puasa dan ibadah di bulan Ramadhan dapat melatihkan meningkatkan kualitas jiwa kita sebagai muslim dengan memerangi hawa nafsu yang selalu mengancam diri manusia.
Kita dapat memulainya dengan berbenah dari pusat jiwa kita yaitu, hati. Membiasakan diri untuk membersihkan sadr dari penyakit atau gangguan syahwat atau penyakit hati lainnya dan meningkatkan keimanan pada qalb kita sehingga kita dapat menyaksikan keesaan-Nya yang mengukuhkan iman dan meraih nikmat cahaya tauhid dan ketenangan serta mencapai kemenangan dan kesucian diri yang sesungguhnya di hari nan fitri nanti. Mari kita jadikan Ramadhan ini momen untuk melakukan rekonstruksi diri melalui peningkatan kualitas hati dan jiwa kita.
Wallahua’lam bisshawab. []
Daftar Pustaka
Al Quran
Hadist Riwayat Bukhari & Muslim
Al Attas, S.M.N. (2001). Risalah Untuk Kaum Muslimin. Kuala Lumpur: ISTAC.
Al Ghazali, M. (1995). Disciplining the Soul: Breaking of Desire, Ihya’ Ulumiddin. Cambridge: The Islamic Texts Society.
Al Tirmidzi, A. (1992). Al-Farq Bayna al-Shadr wa al Qalb wa al-Fu’ad wa al-Lubb. Beirut: Dar al Jil. Diterjemahkan oleh Bahreisy, F.F. (2011). Biarkan Hatimu Bicara. Jakarta: Zaman
Gerrig, R.J., & Zimbardo, P.G. (2002). Psychology and Life (16th edition). Boston: Pearson.
Sina, I. (2009). Psikologi Ibnu Sina. Bandung: Pustaka Hidayah.
King, D.B., Viney, W., & Woody, W.D. (2009). History of Psychology. Boston: Pearson