RAMADHAN tiba, kaum mauslimin menyambut dengan gembira. Tetapi akan ada fenomena unik yang kita jumpai saat bulan suci menjelang. Banyak ibu sebagai pemegang anggran keluarga merasa heran. Secara logika dengan puasa, frekuensi makan berkurang, namun anehnya ternyata anggaran belanja malah menjulang.
Pada bulan lain rata-rata orang makan tiga kali sehari, saat Ramadhan terhitung hanya dua kali. Bukankah seharusnya jatah belanja berkurang sepertiganya? Faktanya tak selalu demikian, banyak yang jujur bahwa ternyata malah lebih banyak dari bulan-bulan biasa.
Jika pada bulan puasa setan-setan ditangkap, ternyata mereka tak begitu saja rela dibelenggu tanpa meninggalkan perangkap. Ada ungkapan satir seperti ini, puasa itu me’neraka’kan siang hari lalu menyurgakan malam hari. Ibarat kata, masa berbuka adalah ajang balas dendam.
Setelah berjuang menahan nafsu di saat terang, lalu melampiaskan sebebas-bebasnya saat malam. Jika bulan biasa makan nasi, sambal, lauk tempe goreng atau ikan teri sudah cukup, lain saat Ramadhan. Harus ada hidangan pembuka entah kolak, es buah dibarengi camilan ringan untuk membatalkan puasa. Lalu menu utama pun mesti yang beda, minta yang lebih lezat dan bervariasi dari biasanya. Maka tak perlu heran jika terjadi kenaikan anggaran belanja.
Bukan maksud menghakimi tindakan demikian sebagai suatu kesalahan. Banyak yang beralasan apa salahnya menyemarakkan bulan Ramadhan? Bukankah dengan cara ini ini bulan suci menjadi lebih berkesan dan anak-anak menghadapi puasa dalam suasana kegembiraan. Ya, bisa jadi , hanya saja bagi orang yang terbatas secara ekonomi tak perlu memaksakan diri. Karena bulan ini seharusnya umat Islam belajar “prihatin”. Merasakan kelaparan dan keterbatasan orang yang melakoninya tidak cuma sebulan tetapi setiap hari. Mereka yang saat siang kelaparan dan kehausan tanpa ada harapan berbuka saat tergelincir matahari. Bukan karena puasa tetapi karena memang tidak ada yang bisa dikonsumsi.
Jika seharusnya sepuluh hari terakhir Ramadhan umat Islam konsentrasi mengejar ” lailatu qadr” ternyata fakta bicara beda. Banyak masjid yang mengalami kemajuan. Bukan kemajuan jumlah jama’ah, tetapi kemajuan shaff/barisan jama’ah shalat tarawih. Jika awal puasa jama’ah mencapai lima shaff tetapi mulai pertengahan tinggal empat bahkan tiga shaff. Artinya semakin berkurang yang datang. Jumlah umat yang berbondong-bondong memberikan ZAKAT MAAL pun masih kalah dengan jumlah umat yang melakukan ZAKAT MALL. Memborong habis isi mall. Membeli baju baru, sandal baru, jilbab baru hingga gadget baru. Biar percaya diri saat sanak keluarga di hari raya nanti saling bertemu.
Setelah anggaran masakan , dan pakaian masih ada lagi anggaran perjalanan. Mudik saat lebaran sudah menjadi tradisi mengakar di negeri ini. Bagi anak-anak yang ada di luar kota harus mempersiapkan dana yang tidak sedikit agar bisa mudik ke rumah orang tua.
Jika memakai transportasi umum tinggal mengalikan harga tiket dengan jumlah anggota keluarga. Belum lagi persiapan buah tangan dan “angpao” ponakan. Kondisi ekonomi sebuah keluarga tidak selalu sama, jika suatu saat sedang sempit lalu dipaksakan maka terasa sangat menghimpit.
Sepuluh hari terakhir bulan puasa, manusia mulai memenuhi jalanan. Ribuan kendaraan terjebak kemacetan.
Benar-benar menguji kesabaran, panas dan lelah perjalanan membuat beberapa orang mulai mengambil keringanan. Puasa hari itu diqodho tahun depan. Itikaf di masjid semakin sedikit penggemar, ada yang pindah di mobil, atau kapal yang sedang berlayar. Boro-boro mengejar “lailatul qadar”, konsentrasi ibadah pun mulai buyar. []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word