Oleh: Anis Fuadah, S. Pd. I
(SMA Negeri 1 Cileungsi, Bogor – Jawa Barat)
RAMADHAN merupakan bulan yang sangat berkesan bagi umat muslim. Seluruh umat muslim dunia selalu berapi-api dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan karena bulan istimewa ini dipenuhi berjuta rahmat, pahala, serta ampunan. Selain itu, bulan Ramadhan begitu istimewa karena menjadi bulan diturunkannya kitab suci umat muslim yaitu Al-Qur’an. Kitab yang menjadi pedoman hidup dan penerang seluruh umat manusia dan menjadi penerang dari segala bentuk kegelapan dunia.
Banyak cerita tersimpan dalam setiap bulan istimewa yang dijuluki bulan seribu bulan ini. Cerita yang begitu mengesankan dan terpatri dalam setiap memori yang melaluinya. Mulai dari sebelum mengetahui makna detail akan hadirnya bulan tersebut hingga kini seperti halnya diriku. Bagiku bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh kasih serta menyimpan segala kenangan indah yang menyimpan berbagai pelajaran akidah dan kasih sayang orang tua.
Sejak usiaku empat tahun, orang tua telah mengajariku makna bulan Ramadhan dan kewajiban yang harus dilaksanakan di bulan suci tersebut yaitu berpuasa. Dengan penuh cinta, mereka mengajariku tentang arti kesabaran dalam menahan rasa lapar dari sebelum subuh hingga magrib tiba. Kesabaran yang kaya makna karena ketika berpuasa kita bisa merasakan bagaimana orang yang memiliki sedikit rijki merasa kelaparan namun tetap bekerja keras, tidak bermalas-malasan serta mampu menahan lisan agar tidak mengeluarkan kata-kata yang tidak bermanfaat serta menyakiti orang lain. Dengan demikian aku bisa mengetahui bahwa dalam kondisi lapar kita harus tetap menggunakan akal sehat, pikiran positif serta mampu mengendalikan nafsu amarah. Hal sederhana namun tidak semua orang mampu melakukannya.
BACA JUGA:Â Doa Strobery, Sebuah Kenangan Manis di Bulan Ramadhan
Di tahun pertamaku berpuasa bukanlah hal ringan bagiku. Usia empat tahun tentunya sangat sulit bagiku menahan lapar dan dahaga. Apalagi ketika melihat teman sebaya hilir mudik dengan es di tangan dan berbagai aneka makanan yan dilahap tepat di depan mataku, namun berkat dukungan orang tua terutama ayahku hal tersebut tidaklah menjadi penghalang bagiku untuk berpuasa. Walau sedikit sulit namun aku mampu melaluinya dari hari ke hari.
Ayahku memang memiliki peranan penting terlebih ia adalah seorang Kyai sohor di daerahku yang banyak mengajari orang untuk menjalankan ibadah termasuk berpuasa. Beliaulah sosok yang mampu memotivasiku dalam menjalankan rutinitas di bulan suci tersebut. Selain diajari berpuasa, aku pun diajari cara menjalankan syariat agama dan mengaplikasikannya menjadi akidah hidupku seperti menghormati para ulama yang telah memberikan banyak pelajaran dan teladan bagi masyarakat.
Sebagai anak kelima dari sembilan bersaudara, ayahku Kyai Muh selalu mengajariku untuk mengikuti segala bentuk kebiasaan yang dilakukannya. Walaupun usiaku masih sangat kecil pada saat itu namun aku seolah paham arti dari didikan yang beliau ajarkan terhadapku dan saudara-saudaraku yang lain. Ketegasan dan kedisiplinan dalam beribadah merupakan hal yang paling diutamakan dalam keluargaku.
Bangun pukul tiga pagi, melaksanakan shalat tahajud, taubat, istiqarah, dan witir contohnya. Ketegasan dan kedisiplinan inilah yang membuatku begitu kagum terhadapnya. Ketegasan dan kedisplinan beliau juga yang dijadikan contoh oleh masyarakat karena tak sedikit masyarakat di lingkunganku mengikuti cara yang diterapkan oleh ayahku tersebut.
Tak ada keluh kesah bagiku atau pun keterpaksaan dalam menjalankan rutinitas tersebut. Entah mengapa di usiaku sekecil itu sudah merasakan keihklasan dan kegembiraan ketika harus mengikuti semua ajakan dan perintah ayahanda tercintaku untuk beribadah. Ketika harus bangun sepagi itu tak ada rasa kantuk yang melanda karena aku dan saudara-saudaraku telah terbiasa menjalankannya. Walau rasa dingin menyelimuti namun dengan ikhlas aku melaksakannya.
Kegembiraan di bulan Ramadhan bukan hanya itu saja melainkan kegembiraan menikmati hidangan yang ibuku sajikan. Masakan yang penuh cinta diramu dengan bumbu kasih sayang begitu nikmat kurasa. Mungkin bagi orang lain makanan itu terlihat sangat biasa dan sederhana namun tidak bagiku. Bagiku ibuku adalah peracik masakan yang paling handal di seluruh dunia. Bukan hanya ada kelezatan di dalamnya namun juga ada keihlasan dan kasih sayang yang teramat tulus untuku dan saudara-saudaraku.
Sempurna rasanya bagiku, memiliki seorang ayah yang begitu memahami akidah dan seorang ibu yang begitu memahami anak-anaknya. Rasa syukur selalu ku panjatkan kepada Allah Swt. yang telah menganugerahkan mereka dalam hidupku dan menuntunku menuju surga-Nya.
Setelah menyantap hidangan sahur, aku dan saudara-saudaraku duduk manis di teras rumah dan mendengarkan berbagai cerita ayahku tentang perjalanan hidupnya ketika menimba ilmu. Masa muda beliau yang dihabiskan di pesantren selalu beliau ceritakan kepada kami. Segala kesusahan, rintangan, serta duka yang beliau alamai saat menuntut ilmu tidaklah menjadikan kegundahan, kebosanan, atau kelelahan dalam menuntut ilmu.
Walau makan seadanya, sering merasa kelaparan, tidur dengan alas tikar yang tipis tak membuat ayahku goyah sedikit pun dalam menuntut ilmu. Itu lah yang membuatku paham kenapa beliau menjadi seorang Kyai yang disegani karena untuk menjadi beliau tidaklah mudah. Begitu banyak perjuangan dan rintangan yang harus dilalui. Sungguh aku semakin bangga terhadapnya. Dari cerita-ceritanya itulah aku belajar bahwa hidup haruslah sederhana, tak perlu berlebihan namun tak boleh mudah putus asa. Hidup sesuai kemampuan dan hdiuplah dengan akhlak yang bernalar.
Subuh pun tiba, kakakku Mail langsug sigap dan mengumandangkan azan. Lantunan azan yang selalu membuatku merinding kagum. Begitu merdu dan membuka mata setiap pendengar bahwa tidak ada yang lebih besar dari Allah Swt. pencipta seluruh alam.
Setelah melaksanakan shalat subuh, aku dan saudara-saudaraku tak berani beranjak. Kami akan setia menanti sang ayah menghampiri dari tempat imam. Setelah itu, kami tadarus satu juz. Tak ada yang berani keluar bermain sebelum selsai membaca satu juz Al-Qur’an.
Setelah selesai, barulah aku dan saudara-saudaraku diizinkan bermain bersama teman seperti berolahraga atau sekadar berjalan pagi bersama di lingkungan rumah. Walapun ayahku begitu disiplin dalam mengajari kami, namun beliau tak pernah merampas hak kami untuk menikmati masa kecil yaitu bermain.
Jenuh terkadang datang menghampiri. Wajar rasanya anak seusiaku merasa bosan dengan rutinitas yang itu-itu saja. Rutinitas yang berbeda dengan temanku yang lain. Walau ayahku masih mengizinkanku bermain namun tetap saja sebagai anak kecil aku merasa kurang dan tak adil. Kejenuhan yang tak pernah sampai pada ujung lidahku. Aku begitu takut jika harus melawan sang ayah karena aku tahu apa yang diajarkannya demi kebaikanku sediri.
Semakin besar semakin aku menyadari bahwa yang diajarkan ayahku telah menjadi pondasi hidupku dalam mengahadapi perubahan zaman. Andai saja ayahku tidak setegas itu mungkin aku tidak akan menjadi seperti ini. Lagi dan lagi rasa syukur selalu ku ucapkan kepada Allah Swt.yang telah menganugerahkannya untukku dan untuk saudara-saudaraku.
Selama berpuasa, tak ada satu pun dari kami yang luput dari pantauan sang ayah. Tak ada yang berani mengeluh atau merasa tersiksa dalam menjalankan ibadah puasa. Lapar dan dahaga yang dirasa cukuplah menjadi rahasia yang tak pernah terucap menjadi keluh kesah yang tak bermanfaat.
BACA JUGA:Â Cerita Wanita Palestina Pembuat Fawanees, Lentera Khas Ramadhan
Selama berpuasa kami diwajibkan untuk membantu ibu dalam membersihkan rumah. Membantu mengerjakan apapun yang kami mampu untuk meringankan tugas ibu. Kami lakukan dengan keikhlasan. Setelah selesai, kami pun melaksakan shalat duha bersama. Kemudian setelah selesai barulah kami diizinkan untuk bersantai hingga zuhur tiba. Setelah melasanakan shalat zuhur, kami mengaji bersama anak-anak yang lain hingga pukul14.00. setelahnya kami layaknya anak kecil bermain bersama permainan sedehana seperti cublak-cublak suweng, tebak-tebakan nama buah-buahan dari inisial, kisah 25 nabi, nama-nama sahabat Rasul, kisah asabiqunal awwalun, dan tantangan menghafalkan surat-surat pendek. Permainan yang kami mainkan memang tidak seperti permainan anak zaman sekarang yang mengutamakan gedzet dan cenderung individual.
Asar pun tiba dan kami shalat bersama. Setelah itu, kami tidak tidak boleh meninggalkan sajadah kami sebelum wiridan sampai do`a selesai dan ayah turun dari mimbar imam, karena kami pun akan diabsen dalam tadarusnya walaupun hanya satu `ain. Memang sehabis asar kami diberi keringanan dalam tadarus karena harus membantu ibu untuk mempersiapkan hidangan berbuka puasa seperti membantu memetik sayur dan buah-buahan yang ditanam ayah di kebun. Tak lupa kami pun membantu merawat kebun tersebut seperti menyirami dan memberi pupuk.
Magrib pun tiba, saatnya kami berbuka puasa. Segala lelah yang terasa di siang hari sirnalah sudah dengan seteguk air. Alhamdulillah puasaku berjalan lancar. Kemudian kami pun shalat magrib bersama. Setelah selesai berbuka dan shalat magirb, aku dan saudara-saudaraku pergi untuk melaksanakn shalat isya dan tarawih serta rutinitas ibadah lainnya.
Demikianlah kisahku di bulan Ramadhan ketika kecil. Begitu banyak ruinitas yang harus dilakukan. Dengan berbagai kedipsiplinan yang diajarkan oleh ayahku dan kasih sayang ibuku. Rutinitas yang membuatku rindu kampungku. Rutinitas yang membuatku rindu pendidik terbaiku, Pak Muh ayahnda tercintaku. []