“Ini adalah rahmat yang Allah swt letakan pada hati siapa saja yang dari hambanya, dan sesungguhnya Allah menyayangi hamba-hambanya yang penuh kasih sayang.” (HR Bukhari, Muslim).
SAAT Nabi melihat cucunya menghembuskan nyawanya, beliau menangis. Maka itulah bentuk kelembutan dan kasih sayangnya. Bahkan jika terdengar suara tangisan dari anak kecil, Nabi yang terkadang memanjangkan shalatnya akan meringankan shalatnya, karena tidak ingin membebankan sang ibu. Seperti pada waktu Umamah menangis maka ia menggendongnya dalam shalat, ketika ingin sujud ia meletakkannya dan menggendongnya kembali saat ia berdiri.
Aisyah menceritakan jika Nabi bersabda, “Tidak ada kelembutan pada sesuatu, melainkan ia akan memperindahnya, dan tidak tercabut kelembutan pada sesuatu melainkan ia akan memburukkannya.”
BACA JUGA: Rasulullah Hadapi Pertanyaan di Akhir Zaman
Pada suatu kesempatan pula, ketika Nabi sedang sujud, tiba-tiba cucunya Hasan naik ke punggungnya. Maka ia memanjangkan sujudnya. Begitu salam beliau minta maaf kepada para jama’ah dengan berkata, “Sesungguhnya cucuku ini menaiki punggungku, maka aku tidak senang untuk mengangkat kepalaku sampai ia turun dengan sendirinya.” (HR Ahmad)
Nabi adalah rahmat bagi yang dekat dan jauh. Beliau sangat berat hati untuk memasukkan pada manusia berbagai hal yang menyulitkannya, karena beliau meringankan beban mereka dalam rangka menjaga keadaan mereka.
BACA JUGA: Dua Peristiwa Masa Depan yang Disampaikan Rasulullah
Beliau merupakan orang yang mudah dan penuh kasih dalam risalahnya, dakwahnya, ibadahnya, shalatnya, puasanya, makan dan minumnya, pakaiannya, diam dan perginya, serta akhlaknya. Bahkan kehidupannya terbangun atas prinsip kemudahan, karenanya beliau datang untuk menghilangkan beban dan belenggu umatnya. []
Sumber: Ka Annaka Tara/ Penulis: Dr. ‘Aidh Abdullah Al-Qarny/ Penerbit: Cakrawala Publishing, 2005