ADA seorang ibu bercerita dengan hebohnya, “Ummi itu tuh, si ibu yang itu ngomong gini ke saya.”
“Ada apa, bu?” tanya saya tenang.
“Ngapain sekolah di situ. Kerjanya cuma main-main aja. Di sekolah anak saya, dari anak lima tahun, sampai yang besar, waktu belajar ya belajar, waktu main ya main, ga ada yang namanya belajar melalui main. Ga kayak di sana, main terus. Apa-apa melalui main. Kan udah jelas beda, belajar sama bermain itu,” tukasnya dengan oktaf tinggi.
“O…o begitu ya. Tidak apa apa, kalau mereka berbicara seperti itu, kan hak mereka bicara. Kalau kita tidak suka mendengarnya, abaikan saja. Kecuali mereka bertanya, baru saya akan jawab,” dengan oktaf rendah saya menenangkannya.
Bukan sekali ini saja, laporan seperti itu sudah sering saya dengar. Memang resikonya membuat sekolah di kampung dengan konsep yang berbeda dari sekolah kebanyakan, ya pasti jadi sorotan.
Karena kami, pemilik sekolah adalah muslim, maka Rasulullah SAW teladan kami.
Pasti semua orang hapal hadist yang menerangkan kejadian Rasulullah berlama lama sujud dikala shalat.
Ketika sahabat bertanya, apa yang terjadi, Rasulullah SAW menjawab cucuku bermain di punggungku dan aku membiarkannya sampai ia puas.
Begitu hebatnya Nabi Muhammad SAW ini, salawat dan salam baginya. Tak ada kemarahan, tak ada pukulan atau jeweran. Beliau begitu memahami anak-anak.
Rasulullah saja membiarkan cucu beliau bermain. Padahal beliau sedang salat.
Bermain sangat penting bagi anak, tentu jelas kriteria bermain seperti apa yang membuat dia belajar.
Ketika bermain, hendaknya motivasi itu muncul dari dalam dirinya. Mereka tidak disuruh-suruh. Mereka melakukannya sendiri. Mereka hal itu dengan nyaman. Mereka terbebas dari tekanan siapa pun atau apa pun.
Permainan yang mereka lakukan hendaknya seperti dalam kehidupan yang sesungguhnya.
Saat bermain lebih ditekankan pada proses bukan pada hasil. Anak terlibat aktif dalam permainan tersebut. Anak lah yang mendominasi, kalau ada orang dewasa terlibat, perannya hanya sebagai pendamping.
Orang dewasa yang mendampingi harus memerhatikan agar sebuah permainan mampu membuat anak belajar, bukan hanya sekadar main dan tentu harus dapat membangun kemampuan berpikir.
Jika kita masih melarang anak bermain, lalu siapa yang kita jadikan teladan?
Sungguh kita tak lebih hebat dari Rasulullah, bukan? []