Oleh: Ahmad Zarkasih, Lc
KAIDAH bertetangga itu sama di semua Negara, semua bangsa, juga di semua budaya; bahwa orang yang baik dengan tetangga, murah senyum, sering berkunjung, suka menyapa, ramah, dan rajin berbagi, pastinya akan mendapat kebaikan pula dari sekelilingnya. Dan begitu juga sebaliknya, siapa yang jahat terhadap tetangga, buruk sikap, kasar perangai, pelit senyum, dan ogah menyapa, begitu juga yang akan ia dapatkan dari sekelilingnya.
Dalam hal bertetangga, Rasulullah SAW adalah contoh terbaik tentang orang yang baik dalam bergaul terhadap tetangga, sehingga menjadi tokoh yang dicintai bagi tetangga. Dan itu bukan hanya terhadap yang Muslim, non-Muslim pun sama diperlakukan dengan baik oleh Nabi SAW. Bukti nyatanya banyak kita dapati dalam kitab-kitab hadits bahwa Nabi SAW mendapat feedback kebaikan dari tetangganya, bahkan yang non-muslim. Berikut di antaranya:
BACA JUGA: Nabi Peringatkan Orang yang Suka Ganggu Tetangga Tidak akan Masuk Surga
Nabi SAW diundang makan oleh Yahudi
Dalam riwayat Imam Ahmad bin Hanbal dalam musnad-nya, dari sahabat Anas bin Malik ra, beliau menceritakan bahwa Nabi SAW pernah diundang oleh Yahudi untuk makan, dan Nabi SAW memenuhi undangan tersebut.
عن أَنَسٍ أَنَّ يَهُودِيًّا دَعَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى خُبْزِ شَعِيرٍ وَإِهَالَةٍ سَنِخَةٍ فَأَجَابَهُ
Dari Anas bin Malik ra., seorang Yahudi mengundang Nabi SAW untuk bersantap roti gandum dengan acar hangat, dan Nabi SAW pun memenuhi undangan tersebut. (HR Imam Ahmad)
Ini salah satu bukti bahwa memang Nabi SAW adalah tetangga yang baik bagi tetangga yang lainnya. Sampai-sampai, orang non-muslim yang tidak sepaham dengan agama Nabi SAW saja mau mengundang Nabi untuk makan di rumahnya.
Hal ini tidak mungkin terjadi jika Nabi SAW memperlakukan tetangganya dengan buruk, kurang bergaul, ogah menyapa. Undangan ini jelas memberitahukan kita bahwa Nabi SAW itu orang yang baik kepada semuanya, termasuk non-muslim. Beliau SAW sama sekali tidak anti kepada non-muslim apalagi memusuhinya. Bukankah Nabi SAW itu diutus untuk kebaikan semua makhluk?
Berwudhu dengan air dan bejana orang Musyrik
Bukan hanya itu, dalam riwayat imam al-Bukhari dan Muslim pun disebutkan:
وَعَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – أَنَّ النَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – وَأَصْحَابَهُ تَوَضَّئُوا مِنْ مَزَادَةِ امْرَأَةٍ مُشْرِكَةٍ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari ‘Imron bin Hushain ra, beliau berkata: “Rasulullah SAW bersama para sahabatnya berwudhu dengan air dari bejana wanita musyrik”. (Muttafaq ‘alaih)
Mungkin kalau urusan undangan makan, tidak begitu sensitif, karena memang masalahnya umum dan masih dikatakan wajar, walaupun sejatinya itu menakjubkan. Akan tetapi lebih menakjubkan lagi bahwa ada orang musyrik di zaman Nabi SAW rela meminjamkan bejananya untuk wudhu Nabi SAW dan para sahabat, padahal wudhu itu ibadah. Ibadah yang jelas-jelas bertentangan dengan kepercayaan wanita musyrik tersebut.
Kita berandai-andai, seandainya saja gaya bergaulnya Nabi SAW kepada musyrik itu kasar, ganas, dan bengis, tidak mungkin wanita musyrik itu rela meminjamkan bejananya dan juga airnya dipakai untuk ibadah, untuk ritualnya orang Islam yang jelas menyimpang dari ajaran nenek moyangnya. Tapi kenapa wanita itu mau? Tentu karena memang Nabi SAW dan para sahabat adalah orang yang baik dan sopan dalam bertetangga. Tidak meledak-meledak, tak gampang menghina, dan pastinya murah senyum.
Pembantu Nabi SAW seorang anak Yahudi
Ada lagi. Dulu Nabi SAW punya ART (Asisten Rumah Tangga) seorang anak laki-laki Yahudi, bukan Islam. Suatu saat anak Yahudi ini sakit dan tidak masuk kerja, akhirnya Nabi SAW mengunjunginya di rumah anak Yahudi itu. Sampai di rumahnya, ada ayah anak itu yang juga sama-sama menganut Yahudi sedang menunggu sang anak. Setelah meminta izin kepada sang ayah, Rasul SAW mendekati anak tersebut lalu mengajaknya untuk bersyahadat; masuk Islam. Diajak masuk Islam, anak itu bingung karena ada sang ayah di dekatnya. Sesekali melirik ayahnya, sesekali melirik Nabi SAW, sampai akhirnya sang ayah berbicara: “Anakku! Taati Abu Qasim (Muhammad)!”. Mendapat izin dari ayahnya, anak itu bersyahadat. Kemudian Nabi SAW keluar dari rumah sambil mengucapkan: “Alhamdulillah, Allah telah menyelamatkan anak itu dari neraka dengan wasilahku.”
Mari renungkan poin dari cerita dari hadits yang termaktub dalam shahih al-Bukhari dari sahabat Anas bin Malik ini. Agama adalah identitas setiap diri yang siapapun dia pasti akan membela agamanya jika ia dihina, dan siapapun dia pasti akan marah jika disuruh untuk meninggalkan agama nenek moyangnya. Tapi lihat bagaimana relanya sang ayah yang seorang Yahudi membiarkan anaknya melepaskan agama dan kepercayaan nenek moyangnya hanya karena seorang Muhammad SAW
Kita berandai-andai sekarang, kira-kira jika Nabi SAW ketika bergaul dengan orang non-muslim dengan keras dan bengis, asal hantam, mulut kotor doyan mencaci, apakah mau seorang Yahudi membiarkan anaknya ikut kepada Muhammad? Tidak mungkin! Itu bukti nyata bagi kita –yang mengaku cinta dan mengikuti Nabi SAW- bahwa apa yang dilakukan Nabi SAW dalam menyampaikan agama ini bukan dengan caci maki, prasangka, dusta dan kebencian. Nabi SAW menyampaikan agama ini dengan cinta dan kasih sayang; karena memang tujuan dakwah ini adalah mengajak orang lain menuju kepada sang Maha cinta dan Sayang. Bagaimana bisa mengajak kepada cinta tapi dengan kebencian?
Tidak ada larangan berbuat baik kepada Non-Muslim
Dalam syariat ini pun sudah sangat jelas dan nyata diterangkan, bahwa tidak ada larangan bagi kaum muslim untuk berbuat baik kepada non-muslim, bertetangga, bergaul juga bersahabat, selama memang non-muslim tersebut tidak mengajak kepada kemaksiatan atau juga tidak melarang kita untuk beribadah. Begitu jelas disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Mumtahanah:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (9)
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil. (8) Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. (9). (QS Al Muntahanah: 8-9)
BACA JUGA: Keajaiban Usai Tabungan Haji Diberikan untuk Bantu Tetangga
Nah, itu Nabi SAW kepada orang lain yang bukan Islam, begitu sangat baiknya beliau SAW kepada mereka. Tentu akan jauh lebih baik lagi kepada muslim. Dan ini yang harus dilakukan oleh orang muslim yang mengaku mengampuh beban dakwah, sampaikah kepada orang lain dengan cinta, bukan dengan kebencian.
Maka wajar saja salah seorang ulama menyatakan: “bukan ulama jika ia melihat orang yang berbeda dengannya sebagai musuh!” Karena memang ulama pasti tahu bagaimana mengejawantahkan sifat Nabi SAW ke dalam metode dakwahnya. Bukan dengan kebencian pastinya.
Dalam riwayat Imam Turmudzi, Rasul SAW memberikan wejangan:
اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah dimanapun kalian berada, dan ikutilah keburukan dengan kebaikan, niscaya ia akan menghapus keburukan tersebut. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.”
Hebatnya, Nabi SAW di dalam hadits ini tidak mengatakan “pergaulilah saudara muslim”, justru Nabi SAW mengatakan “Khaliqi-Naas” (pergaulilah manusia). Artinya berbuat baik itu tidak hanya terkotakan hanya kepada sesama muslim, tapi seluruh umat manusia.
Siapapun dia, selama statusnya masih manusia, seorang muslim wajib berbuat baik kepadanya. Kalau manusia yang tidak jelas agamanya saja muslim harus berbuat baik, apalagi kepada sesama muslim? Tentu jauh lebih wajib lagi karena ada kesamaan tujuan, yakni Allah SWT. Kita diikat dengan kalimat yang tidak mungkin terlepas sampai hari kiamat, yakni kalimat Tauhid. []
SUMBER: RUMAH FIQIH