A’idzullah ibn Abdullah menceritakan bahwa pada suatu hari pada awal kekhalifahan Umar, ia masuk masjid bersama beberapa orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Pada saat itu ia duduk di sebuah majelis yang terdiri atas tiga puluh sekian orang. Semuanya menuturkan sebuah hadis dari Rasulullah. Dalam majelis yang berbentuk lingkaran itu, ada seorang pemuda berkulit sawo matang, memiliki tutur kata yang manis, dan berwajah cerah. la adalah orang yang paling muda di antara mereka. Setiap kali ada sesuatu yang rancu dalam suatu hadits, orang-orang mengembalikannya kepada pemuda itu dan ia pun segera memberikan fatwanya kepada mereka. Pemuda itu tidak pernah berbicara, kecuali ketika diminta. Ketika majelis telah berakhir, A’idzullah ibn Abdullah mendekati pemuda itu dan bertanya kepadanya, “Siapakah engkau wahai hamba Allah?” Pemuda itu menjawab, “Aku adalah Mu’adz ibn Jabal.”
BACA JUGA: 5 Cara Jitu Meredam Amarah ala Rasulullah SAW
Mu’adz ibn Jabal adalah seorang pemuda yang berwajah cerah, menarik dipandang, dan giginya putih bersinar. Ia memikat setiap mata dengan ketenangan dan diamnya. Jika ia berbicara, setiap mata yang menatap akan semakin terkesima karenanya.
Mu’adz bin Jabal adalah seorang laki-laki Anshar yang berbaiat pada Bai’at Aqabah II. Ia merupakan seorang laki-laki yang lebih dulu masuk Islam dengan keimanannya dan keyakinannya membuatnya tidak pernah tertinggal dari Rasulullah dalam setiap peperangan yang beliau lalui. Demikianlah yang dilakukan oleh Mu’adz menyusul ketertinggalannya.
Mu’adz memiliki kelebihannya dan keistimewaannya yang paling besar adalah dalam bidang fikih. Keahliannya dalam fikih dan ilmunya ini mencapai taraf yang membuatnya layak disebut oleh Rasulullah shalallahu’ alaihi wasallam, dalam sabdanya, “Umatku yang paling mengetahui halal dan haram adalah Mu’adz ibn Jabal.”
Kecerdasan dan keberaniannya dalam mengemukakan pendapat, Mu’adz ini begitu mirip dengan Umar ibn Khaththab. Ketika Rasulullah hendak mengutusnya ke Yaman, Rasulullah bertanya kepadanya: “Dengan apa kau akan memutuskan suatu perkara wahai Mu’adz?”
Mu’adz menjawab, “Dengan Kitabullah.”
Rasulullah bertanya lagi, “Jika tidak kau temukan dalam Kitabullah?”
Mu’adz menjawab, “Aku akan memutuskan dengan Sunnah Rasul-Nya.”
Rasulullah bertanya lagi, “Jika tidak kau temukan dalam Sunnah Rasul-Nya?”
BACA JUGA: Rasulullah Bersaksi Sahabat yang Disangka Ahli Neraka Ternyata Ahli Surga
Mu’adz menjawab, “Aku akan berijtihad dengan pendapatku sendiri.”
Mendengar hal itu, wajah Rasulullah pun berseri-seri lalu bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasul-Nya pada sesuatu yang membuat ridha Rasulullah.”
Loyalitas Mu’adz pada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya tidak menghalanginya untuk mengikuti pendapatnya dan tidak menghalangi akalnya untuk memahami berbagai kebenaran yang masih tersembunyi, menanti upaya orang yang mampu menyingkap dan menanganinya. Kemampuan untuk berijtihad dan keberanian untuk menggunakan kecerdasan serta akal inilah barangkali yang menempatkan Mu’adz berhasil mencapai kekayaan fikih hingga membuatnya melampaui saudara-saudaranya. Bahkan, Rasulullah pun sampai memujinya sebagai “orang yang paling mengetahui halal dan haram.” []
Sumber: Biografi 60 Sahabat Rasulullah. Khalid Muhammad Khalid. Qisthi Press. 2017