KETIKA Rasulullah SAW pertama kali berdakwah, Umar bin Khattab adalah salah seorang yang sangat keras dalam melawan Islam dan sering melakukan penyiksaan terhadap kaum Muslimin. Pada suatu saat, Umar berketetapan untuk membunuh Muhammad shalallahu ‘alayhi wasallam. Saat mencarinya, ia berpapasan dengan Nu’aim bin Abdullah, seorang laki-laki dari Bani Zuhrah. Nu’aim adalah seorang Muslim.
Nu’aim berkata kepada Umar, “Mau kemana wahai Umar?”
Umar bin Khattab menjawab, “Aku akan membunuh Muhammad.”
Nu’aim kembali berkata, “Bagaimana engkau akan aman dari Bani Hasyim dan Bani Zuhrah, kalau engkau membunuh Muhammad?”
BACA JUGA: Wahai Khalifah Umar, Aku Rindu Anakku
Maka Umar menjawab, “Tidaklah aku melihatmu melainkan engkau telah meninggalkan agama nenek moyangmu.”
Nu’aim menimpali, “Maukah aku tunjukkan yang lebih mencengangkanmu, hai Umar? Sesugguhnya adik perampuanmu dan iparmu telah meninggalkan agama yang kamu yakini.”
Mendengar itu, Umar murka.
Kemudian dia bergegas mendatangi adiknya yang sedang belajar Al Qur’an. Saat itu, sang adik sedang mengajarkan Surat Thaha kepada Khabab bin al Arat. Tatkala mendengar Umar bin Khattab datang, maka Khabab bersembunyi. Umar bin Khattab masuk rumahnya dan menanyakan suara yang didengarnya.
Kemudian adik perempuan Umar bin Khattab dan suaminya berkata, “Kami tidak sedang membicarakan apa-apa.”
Umar bin Khattab menimpali, “Sepertinya kalian telah keluar dari agama nenek moyang kalian.”
Iparnya menjawab, “Wahai Umar, apa pendapatmu jika kebenaran itu bukan berada pada agamamu?”
Mendengar ungkapan tersebut, Umar bin Khattab memukulnya hingga terluka dan berdarah. Karena tetap saja saudaranya itu mempertahankan agama Islam yang dianutnya, Umar bin Khattab berputus asa dan menyesal melihat darah mengalir pada iparnya.
BACA JUGA: Rintihan Kesedihan Umar akan Kepergian Rasulullah
Umar bin Khattab berkata, “Berikan kitab yang ada pada kalian kepadaku, aku ingin membacanya.”
Maka adik perempuannya berkata, “Engkau itu kotor. Tidak boleh menyentuh kitab itu kecuali orang yang bersuci. Mandilah terlebih dahulu!”
Lantas Umar bin Khattab mandi dan mengambil kitab yang ada pada adik perempuannya. Ketika dia membaca Surat Thaha, dia memuji dan memuliakan isinya, kemudian minta ditunjukkan keberadaan Rasulullah.
Tatkala Khabab mendengar perkataan Umar bin Khattab, dia muncul dari persembunyiannya dan berkata, “Aku akan beri kabar gembira kepadamu, wahai Umar! Aku berharap engkau adalah orang yang didoakan Rasulullah pada malam Kamis, ‘Ya Allah, muliakan Islam dengan Umar bin Khatthab atau Abu Jahl (Amru) bin Hisyam.’Waktu itu, Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam berada di sebuah rumah di daerah Shafa.”
Umar bin Khattab mengambil pedangnya dan menuju rumah tersebut, kemudian mengetuk pintunya. Ketika ada salah seorang melihat Umar bin Khattab datang dengan pedang terhunus dari celah pintu rumahnya, dikabarkannya kepada Rasulullah. Lantas mereka berkumpul. Hamzah bin Abdul Muthalib bertanya, “Ada apa kalian?”
Mereka menjawab, “Umar datang!”
Hamzah bin Abdul Muthalib berkata, “Bukalah pintunya. Kalau dia menginginkan kebaikan, maka kita akan menerimanya, tetapi kalau menginginkan kejelekan, maka kita akan membunuhnya dengan pedangnya.”
Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam menemui Umar bin Khattab dan berkata kepadanya, “Ya Allah, ini adalah Umar bin Khattab. Ya Allah, muliakan Islam dengan Umar bin Khattab.” Dan dalam riwayat lain, “Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan Umar.”
BACA JUGA: Mengapa Umar Menolak Permintaan Rasulullah?
Seketika itu pula Umar bin Khattab bersyahadat, dan orang-orang yang berada di rumah tersebut bertakbir dengan keras. Menurut pengakuannya dia adalah orang yang ke-40 masuk Islam. Abdullah bin Mas’ud berkomentar, “Kami senantiasa berada dalam kejayaan semenjak Umar bin Khattab masuk Islam.”
Umar adalah salah seorang yang ikut pada peristiwa hijrah ke Yathrib (Madinah) pada tahun 622 Masehi. Ia ikut terlibat pada perang Badar, Uhud, Khaybar serta penyerangan ke Syria. Pada tahun 625, putrinya (Hafsah) menikah dengan Nabi Muhammad. []