Oleh: Maya A
mayafirrizky4@gmail.com
REFLEKSI kaum bersurai. Banyak kisah penuh kasih yang patut dijadikan teladan, banyak pula kisah miris yang cukup dijadikan pelajaran tanpa perlu turut melakukan.
Inilah kaum hawa. Yang dari tangannya lahir generasi harapan, yang berkat ulahnya justru mampu menjerumuskan.
Berkisah tentang mereka mungkin tidak akan ada habisnya. Tidak akan pula menemui titik terang perihal bagaimana seharusnya perempuan berlaku dan bagaimana seharusnya mereka diperlakukan, sampai pada akhirnya Islam datang. Merombak segala adat dan peradaban jahiliah, untuk diganti dengan sesuatu yang lebih mulia, yang lebih memanusiakan manusia.
Jika dulu bayi perempuan ibarat aib yang musti dimusnahkan eksistensinya, maka Islam justru menyelamatkan. Bahkan tersingkapnya jilbab seorang muslimah akibat tangan jahil kaum Yahudi pun berujung pada pengepungan wilayah Bani Qainuqa oleh Rasulullah. Kisah serupa juga terjadi di masa pemerintahan khalifah al-Mu’tashim Billah, khalifah kedelapan dinasti Abbasiyah.
Sungguh, adakah yang lebih baik penjagaannya selain penjagaan Islam?
Inilah kalimat retorik yang sebenarnya tidak membutuhkan jawaban. Namun sayang, bergulirnya waktu malah merubah kenyataan. Bukan pada perkara kemampuan Islam menjaga wanita, tapi si wanita yang kini ogah ogahan dijaga. Sekulerisme yang kontennya menjunjung tinggi nilai kebebasan membuat perzinahan makin merajalela dan dianggap biasa. Ujungnya, ratusan bayi tak berdosa menjadi korban ketidakwarasan mereka. Tidak tanggung-tanggung, bahkan yang terbaru siswi SMA tingkat satu di Purwokerto pun sudah berani menghabisi darah dagingnya dengan gunting.
Belum lagi isu feminisme dan kesetaraan gender kini gencar disuarakan. Makin menjadilah mereka menuntut adanya kebebasan. Kiprah di dunia luar yang kian menggelegar, ibarat angin segar lantaran pundi pundi kekayaan makin banyak terkumpul di tangan. Mereka pun menjadi terdepan dalam menunjukkan eksistensi dan kemampuan hingga tanpa sadar peranan utama terabaikan. Urusan dalam negeri rumah tangga terabaikan, anak pun turut terlantar. Ujungnya, sewa ibu asuh jadi pilihan.
Isu feminisme ini juga dimanfaatkan oleh cukong cukong kapitalis dengan menjadikan wanita sebagai komoditas yang memiliki nilai jual. Dimana kemolekan diri makin gencar dieksplorasi demi menarik konsumen. Hingga tanpa sadar, mereka pun kehilangan jati diri dan identitasnya sebagai muslimah.
Namun di sisi lain, wanita juga tidak bisa dipandang salah sepenuhnya. Ekonomi dalam negeri yang carut marut -akibat maruknya si tikus pengerat, juga amburadulnya tata kelola dan distribusi kekayaan- seringkali memaksa wanita turun tangan bekerja di lapangan. Bahkan ada sebagian yang menjadi pekerja kasar sebagai buruh bangunan.
Beban ekonomi yang ditumpukan di pundak mereka mau tak mau membuat sosok ibu kehilangan fitrahnya dalam mendidik anak. Sebaliknya, anak pun kehilangan hak nya dalam memperoleh pengasuhan.
Sungguh, permasalahan yang kini menjerat kaum hawa semakin menunjukkan kompleksitasnya ke arah kehancuran berbagai sendi. Sehingga, adalah keputusan yang bodoh dan sembrono jika kanker mematikan semacam ini justru dibiarkan tumbuh subur. Harus ada penanganan sejak dini yang mulai dicanangkan. Mulai dari mengubah mindset individu muslimah demi mencapai keselarasan antara perilaku dengan tata aturan islam.
Dalam hal ini, sisi rohani mereka harus disentuh, diperkokoh agar takwa dijadikan sebagai pijakan dalam pengambilan keputusan. Seorang muslimah juga dituntut cerdik dalam mencari refleksi atau cerminan yang patut dianut. Bukan sembarangan mencomot wanita wanita barat untuk dijadikan kiblat. []
Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi di luar tanggung jawab redaksi.