Refleksi Tahun 2022, Mengapa Umat Islam Terbelakang?
RIBUAN artikel berseliweran membicarakan apa yang menyebabkan kita – sebagai bangsa mayoritas muslim – terbelakang dalam segala hal. Bahkan, sejak abad lalu ditegaskan oleh cendikiawan muslim, Syaikh Muhammad Abduh, “Mengapa umat Islam terbelakang, sementara banyak umat lainnya berkembang pesat?”
Lalu, perihal apa yang menjadi ukuran kemajuan bangsa-bangsa di dunia ini? Mengapa pula negeri-negeri muslim tidak termasuk dalam kategori sepuluh besar bangsa-bangsa yang dikatakan “bahagia”? Meskipun Indonesia berada di urutan ke sekian ratus, mengapa di negeri kepulauan berpenduduk ratusan juta ini jarang ditemukan kasus-kasus bunuh-diri, ketimbang di negeri-negeri maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, hingga Jepang sekalipun?
Ternyata, rahasia utamanya adalah sabar dan syukur. Dengan ukuran sabar dan syukur, maka manusia dapat dikategorikan sebagai hamba Tuhan yang “bertakwa”. Sedangkan, terminologi takwa tak bisa menjadi monopoli bangsa dan agama apapun, karena Allah menjanjikan bahwa ukuran kemenangan hamba-hamba-Nya dalam menjalani “perlombaan” kehidupan ini, adalah mereka yang paling pandai bertakwa.
BACA JUGA: Muhasabah dan Rukun pada Diri Sendiri
Refleksi Tahun 2022, Ketentraman Batin
Orang bertakwa tidak mesti berlimpah materi tetapi dia memiliki kekayaan jiwa dan ketentraman batin. Dan orang yang memiliki kekayaan jiwa senantiasa berhati lapang, damai dan bahagia. Meski kebahagiaan bukan diukur dari senang secara kasatmata, tertawa, ataupun bersuka ria. Dalam soal harta dan kekayaan, masing-masing manusia – bahkan bangsa – memang sudah ditakar keinginan dan kebutuhannya. Dan Tuhan Maha Adil untuk membagi-bagi keperluan hidup sesuai dengan kebutuhan manusia, di manapun dan kapan pun.
Apabila kita bersyukur, maka akan ditambah nikmat hidup kita. Dan pengertian “nikmat” identik dengan kecukupan dan ketenangan hidup manusia. Meski kebanyakan orang seakan memparalelkan kenikmatan itu dengan ukuran banyaknya materi atau uang. Tetapi, untuk apa uang Anda banyak, kalau Anda penyakitan dan tak ada kenyamanan dan kelapangan dalam hidup?
Tentu saja kita inginnya hidup sehat, damai, banyak uang dan bahagia, tetapi itu kan inginnya kita, maunya kita, yang belum tentu menjadi maunya Tuhan? Tetapi, yang dimaui Tuhan itu bukannya kita “ingin” sesuatu, melainkan kita mesti mensyukuri sesuatu (pemberian-Nya), hingga sesuatu itu ditambah, kemudian ditambah lagi. Bukankah kita ingin kebutuhan kita ditambah, temasuk juga kesehatan dan kebahagiaan hidup?
Karena itu, jangan mendikte dan memaksa Tuhan, karena Dia tahu keinginan dan kebutuhan kita, bahkan lebih tahu dari diri kita sendiri. Maka, terminologi syukur itu berbeda dengan inginnya kita, karena ingin itu belum tentu diberi, tetapi rasa syukur sudah pasti ditambah dan ditambah terus kenikmatannya. Orang yang memahami kapasitas diri, mestinya adalah seorang profesional yang kemauan dan keinginannya cukup jelas. Tetapi, orang yang banyak keinginannya, justru adalah orang yang tak sanggup mengukur kemampuan diri, tak mampu mengukur risiko, dan seringkali ujung-ujungnya dijumpai di balik terali besi, atau bahkan frustasi dan mati bunuh diri.
Refleksi Tahun 2022, Syukur pada-Nya
Kalau kita sudah membulatkan keyakinan, bahwa tiada kekuasaan lain selain kekuasaan Allah Yang Maha Kaya, Maha Bijaksana dan Maha Memberi, lalu memperbanyak syukur kepada-Nya, maka berterimakasihlah kepada orang-orang yang memberi jalan kemudahan hidup, terutama orang tua, guru, saudara-kerabat, sahabat dan lain-lain. Jalin perjumpaan dan silaturahmi dengan mereka. Karena menurut Allah, mensyukuri yang besar itu identik dengan mensyukuri yang kecil, sebagaimana mensyukuri Allah identik dengan mensyukuri manusia juga.
Tentu hal ini bukan perkara mudah, kalau kita masih bersikukuh mempertahankan idealisme (egoisme) pribadi. Tetapi, untuk apa kita mati-matian mempertahankan idealisme yang keliru, kalau hal itu mengorbankan kedamaian dan kebahagiaan hidup, juga merugikan orang-orang sekitar kita?
Demikian halnya dengan kekayaan ilmu. Siapa yang menyangsikan bahwa Allah Maha Cerdas dan Maha Pemberi ilmu. Sedangkan ilmu kita hanya setetes air di tengah lautan samudera? Ngapain juga kita bersikeras mempertahankan ego dan keangkuhan intelektual. Emangnya kita ini siapa, kalau tidak diberi setetes ilmu oleh Allah? Mudah saja bagi Allah membikin hamba-Nya lupa atau pikun (Alzheimer), writer’s block, hingga kebingungan memilih kata-kata yang berseliweran di otak untuk dituangkan ke dalam karya tulis. Atau bahkan, kata-kata itu mampet, kaku dan baku, atau bahkan hilang melayang entah ke mana. Bukankah puluhan bahasa daerah sudah tidak lagi ada penuturnya. Ayo, mau mempersalahkan siapa?
Refleksi Tahun 2022, Hidayah
Ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan ridho Allah (sekecil apapun), itu merupakan “hidayah”, sedangkan ilmu sebanyak apapun, bila tanpa hidayah Allah, itulah yang disebut “istidraj” yang akan menghancurkan hidup manusia. Sebab, ilmu tanpa hidayah, hanya akan merusak kedekatan kita dengan Tuhan. Bukankah kita pernah mendengar ilmu yang bermuara pada “juggernaut”, perihal penemuan teknologi super canggih, tapi dalam perjalanan waktu teknologi hebat itu justru menjerumuskan penciptanya, dan meluluh-lantakkan peradaban manusia.
BACA JUGA: Manusia Modern di Persimpangan Jalan
Hakikat ilmu yang merupakan pemberian (anugerah) Tuhan, harus disyukuri. Dan, sekecil apapun pemberian Tuhan, hanya akan terasa kenikmatannya bila disyukuri. Sebaliknya, sebanyak dan sebesar apapun pemberian Tuhan, sama sekali tak terasa kenikmatannya bila tidak disyukuri. Bukankah nikmat hidup itu adalah soal “rasa”? Walaupun menikmati rasa itu tetap dibatasi oleh ruang dan waktu. Lalu, apa pula yang bisa dinikmati dari kuliner lezat dan nikmat, kalau mulut kita tak memiliki rasa. Bahkan sate, rendang, dan buah durian sekalipun, serasa roti tawar jika kita sedang kehilangan penciuman.
Untuk itu, kita harus mengadakan redefinisi tentang konsep rizki atau nikmat Tuhan. Janganlah ukurannya semata-mata kelimpahan harta kekayaan melulu. Karena, toh banyaknya uang hanya salah satu sarana ketimbang anugerah yang tak tampak, seperti sehat walafiat, keluarga bahagia, kenaikan derajat, tertutupnya aib, kemuliaan hidup, tercapainya keinginan dan harapan, dan lain-lain.
Jadi, bagi kita yang “terlanjur” dilahirkan sebagai muslim, pahamilah Islam itu dengan nalar dan akal sehat. Mari kita tingkatkan kualitas syukur kita. Sebagaimana penganut Kristen, Hindu, Budha, Kong Hu Cu dan kepercayaan lain, yang juga memahami ajaran agama dan kepercayaannya masing-masing. Dan, setiap agama yang baik tentu memiliki konsep sabar dan syukur juga.
Refleksi Tahun 2022, Sabar dan Shalat
Di dalam ajaran Islam, dianjurkan bagi kita untuk meminta tolong dengan sabar dan salat. Adapun salat (doa) adalah manifestasi dari rasa syukur. Itulah kualitas salat yang terbaik, ketimbang salatnya kaum terjajah (takut siksaan) atau salatnya kaum pedagang (cari keuntungan). Bahkan, politisasi salat sebagai tameng untuk mencari perhatian dan pencitraan, identik dengan perilaku orang alim yang mendustakan agama.
Dalam surah Al-Jumuah ditegaskan, bahwa rizki yang berkah itu adalah ukuran Tuhan, bukan ukuran keinginan kita sendiri (semau dewek). Dan rizki yang berkah itu, pasti mendatangkan ketenangan batin dan ketentraman hidup. Bahkan, lebih membahagiakan ketimbang hanya kesenangan fana dan sesaat, seperti hiburan, entertainment dan bisnis (min allaghwi wat-tijarah). Kalau hidup kita mementingkan kesenangan yang bersifat fana, seberapa lama sih makanan lezat itu melewati lidah dan kerongkongan kita? Seberapa lama sih kenikmatan hubungan cinta (maaf, seks) bisa memenuhi hasrat biologis manusia? Atau, jikapun Anda bersikeras mempertahankan kekuasaan, popularitas dan kekayaan duniawi, seberapa lama sih Anda bisa bertahan hidup di dunia ini?
Maka, mengawali tahun baru 2022 ini, mari kita muhasabah, introspeksi dan bercermin diri. Apa yang kita cari dan perjuangkan dalam hidup manusia yang hanya beberapa tahun atau beberapa puluh tahun ini? Kalaupun manusia bersikeras mempertahankan kekuasaan hingga 32 tahun, lalu apa sih arti 32 tahun dalam masa perhitungan Tuhan? Hanya sepintas dan sekejap mata saja.
BACA JUGA: Sebuah Kisah tentang Yusuf
Refleksi Tahun 2022, Perbaikan Moral Bangsa
Apakah kita mau berbaris bersama mereka yang hanya sibuk mengulang-ulang kebodohan, tanpa mau berkorban untuk menyumbang bagi perbaikan moral bangsa? Apakah Anda akan bersikukuh berkarya tanpa memberikan efek positif (nirsolusi) bagi kemajuan peradaban bangsa? Ataukah, Anda ingin menjerumuskan hidup Anda sendiri, hingga menjadi beban dan masalah baru bagi bangsa ini? Silakan, posisikan pilihan hidup Anda mulai saat ini.
Sebab bagaimanapun, pilihan hidup yang kita tentukan saat ini, pasti akan berdampak baik maupun buruk bagi perjalanan hidup kita. Karena itu, putuskan pilihan yang akan berdampak positif di kemudian hari. Selamat menempuh tahun baru 2022. []