Oleh: Dyah Kania Pitaloka, Pengajar dan Pemerhati Remaja
DARI jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 200-an juta, jumlah penduduk remaja mencapai 63 juta. Jumlah ini senantiasa akan terus bertambah karena rentang umur remaja Indonesia berada diantara umur 12 tahun sampai 20 tahun-an.
Rentang umur ini bukanlah rentanng umur yang statis, sehingga pasti akan terus dinamis dan meningkat seiring dengan jumlah kelahiran. Jumlah remaja Indonesia yang sangat banyak ini pasti mempengaruhi Indonesia di masa depan. Masa depan Indonesia nantinya, baik atau buruk, akan dipengaruhi oleh aksi dan reaksi para remaja kini.
Semua manusia memiliki potensi yang baik, begitupun remaja Indonesia. Tak sedikit remaja Indonesia yang berprestasi.
BACA JUGA: Challenge Remaja Syar’i, Siapa yang Berani?
Sebagian remaja Indonesia menonjol dengan prestasi mereka, sedangkan sebagian yang lain masih tanda tanya. Tanda tanya ini ada yang diisi dengan “prestasi” lainnya, ada pula yang masih kosong bak kertas putih menunggu tulisan yang indah. “Prestasi-prestasi” lain yang pernah diukir mungkin masih hangat dalam ingatan kita.
Salah satu sisi kelam pergaulan remaja Indonesia adalah soal fakta merebaknya video asusila yang dilakukan para remaja dalam beberapa tahun terakhir. Dari beberapa hasil penelitian, praktik seks bebas di kalangan remaja sebetulnya sudah berlangsung lama.
Oleh karena itu, pacaran dan pergaulan bebas yang saat ini terjadi tidak bisa dianggap remeh. Tidak mungkin kita menggantungkan masa depan gemilang di tangan remaja seperti ini.
Sebagai orang tua, kakak, keluarga, dan masyarakat yang peduli pasti kita tidak mau “prestasi” pergaulan bebas ini terus meningkat. Tapi bagaimana tidak, arus komunikasi dan informasi saat ini sangat mudah dijangkau oleh remaja Indonesia, bahkan anak-anak.
Mereka mendapat fasilitas yang luar biasa mudah untuk mengakses budaya asing tanpa filter. Televisi dan telepon pintar (smartphone) mudah dijamah, bahkan berada dalam genggaman tangan mereka.
Saat lahir sampai ‘baligh’, anak (remaja) bak kertas putih. Orang tua, sekolah, lingkungan dan negara-lah yang ikut memberi garis, menggambar dan mewarnai kertas putih tersebut.
Anak yang sudah berbekal pola gambar dalam dirinya kemudian tumbuh dengan akal yang sempurna lalu mulai biasa dan bisa membedakan ini baik atau buruk sesuai dengan pola dalam benak pikiran mereka.
Mereka, remaja Indonesia yang terukir prestasi atasnya, boleh jadi mendapat perhatian, pendidikan, arahan yang baik dari pihak keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat. Namun sebaliknya, remaja Indonesia “di sisi lain” mungkin tidak.
Tak bisa kita pungkiri, iklim liberalisme dan kapitalisme yang mengharuskan adanya materi dalam kehidupan, mengalihkan perhatian orang tua dalam mendidik dan membimbing anak di rumah menjadi sibuk dengan kegiatan dan pekerjaan di luar rumah.
Anak menjadi “dewasa” dalam dunia pendidikan atau di sekolah yang pasti hanya “membimbing” anak dalam skala prioritas pendidikan dan intelektual. Anak pun menjadi dewasa di tengah masyarakat, yang kental dengan suasana individualisme, kesibukan duniawi, juga tidak ketinggalan suasana kesenangan atau hedonisme.
Fasilitas seperti televisi dan telepon genggam pun menjadi sulit diawasi pemakaiannya. Tidaklah mungkin pihak sekolah mengawasi ratusan atau bahkan ribuan siswa remajanya setiap hari, setiap waktu. Lingkungan masyarakat pun hanya sebagai pihak luar yang tak mungkin dapat mengawasi 24 jam.
Tentu pengawasan dan pembimbingan keluarga terutama orang tua adalah pilar dan benteng utama sehingga anak remaja Indonesia terbiasa mempertimbangkan hal baik sesuai dengan arahan orang tua.
Untuk itu, mulai detik ini pengasuhan, kasih sayang, pembimbingan, dan pendidikan dari orang tua, keluarga, sekolah, lingkungan masyarakat, dan negara terhadap anak remaja haruslah dapat bersatu padu dan bersinkronisasi dengan baik.
Sehingga, remaja Indonesia tak terjebak dengan rasa “haus kasih sayang” tanpa arah, yang membuat mereka mencari perhatian yang kurang tepat.
BACA JUGA: Kisah 2 Remaja Melamar Pekerjaan
Islam mengajarkan bahwa remaja senantiasa dapat produktif dan prestatif. Imam Syafi’i contohnya, sebelum menginjak usia remaja tepatnya pada usia 7 tahun beliau sudah mampu menghafal Alquran. Menginjak usia remaja, ia sudah ahli memanah. Tak hanya itu, beliau sudah diperbolehkan berfatwa oleh Imam Muslim, gurunya.
Keluarbiasaan yang dialami oleh Imam Syafi’i bukan dengan cara yang instan. Ibunya dengan telaten membimbingnya dan mengarahkan Syafi’i kecil untuk berlatih memanah, baca tulis, dan ilmu agama.
Lingkungan masyarakat dan tempat Syafi’i muda juga senantiasa mengarahkan ilmu fiqih yang baik bagi beliau. Sehingga akhirnya beliau tumbuh menjadi seorang ahli hadits dan fiqih.
Maka, untuk memperbaiki dan menyelamatkan remaja Indonesia, khususnya umat di masa depan serta mengembalikan menjadi kita menjadi umat terbaik, sudah saatnya kita kembali pada tatanan kehidupan yang didasarkan pada syariah Islam.
Oleh karena itu, kembalilah mendidik anak-anak kita dengan berlandaskan Alquran daan As-Sunnah. Dan semoga hal ini bisa memperbaiki generasi berikutnya dari kehancuran akhlak yang dilakukan secara sistematis seperti saat ini. Wallahu a’lam. []
https://www.youtube.com/watch?v=BVJCK8csat4