LAKI-laki sebagai suami diperintahkan untuk mengabdi kepada Allah, sedangkan seorang perempuan diperintahkan oleh Allah untuk mengabdi kepada sang suami. Maka tatkala sang perempuan membangun pengabdiannya kepada suaminya, hakekatnya dia telah menjadi seorang pengabdi pula kepada Allah Azza wa Jalla.
Tentulah bentuk pengabdian sang perempuan kepada suaminya tatkala dia telah berhasil mempercayakan sepenuhnya bahwa suaminya menuntun jalan untuk mengenal-Nya. Jadi bukan dalam bentuk pengabdian kosong, pengabdian buta, pengabdian tanpa pengetahuan, sebagaimana sang laki-laki pun tidak bisa membangun pengabdian kosong, pengabdian buta, pengabdian tanpa pengetahuan kepada Sang Khaliq nya.
Ketika seseorang menikah dengan pasangannya, maka keduanya seharusnya membangun persiapan untuk dapat merubah diri lewat kehadiran pasangannya. Akan lahir sebuah mekanisme menakjubkan dari Allah Ta’ala lewat jenjang pernikahan, saling membersihkan diri lewat pasangannya.
Ketika seseorang menikah dengan pasangannya, maka ego masing-masing pasti akan mengalami sebuah penggerusan, penggerindaan, Allah mendidik kita lewat pernikahan, Allah menghapus sekian keburukan kita lewat pernikahan, karena itu, siap-siaplah berubah, siapkan diri untuk bisa menanggalkan topeng kehidupan kita, dan kelak kita akan menemukan jati diri sebenarnya.
Maka tatkala sebuah pernikahan tidak dilandasi kesadaran akan ada proses pengguguran sekian ego diri, kesadaran akan prahara yang timbul dalam biduk pernikahan semata2 untuk kesucian diri, maka hancurlah mahligai pernikahan itu.
Mengapa tampak sedemikan sulitnya jenjang ini? itulah nilai sebuah setengah agama lewat pernikahan.
Sekali lagi, tidak mudah dunia pernikahan itu bisa kita lalui, maka tanpa hadirnya sebuah kebergantungan kepada Dia Yang Maha mengayomi, hidup akan penuh dengan kepayahan demi kepayahan. []