Oleh: Ikhlas Hikmatiar
Judul : Ahkam Sulthaniyah
Penulis : Imam al-Mawardi
Tebal : x + 441 Halaman
Ukuran : 15,5 x 24 cm
Cetakan : I, 2015
ISBN : 978-979-1303-72-9
Penerbit : Qisthi Press
Peresensi : Ikhlas Hikmatiar
Semenjak keruntuhannya pada tahun 1924, khilafah tampaknya telah menjadi wacana utama yang tiada habisnya diperbincangkan di tengah umat Islam hingga saat ini. Mengingat pentingnya keberadaan Khilafah di tengah kaum Muslimin selaku institusi yang menaungi umat Islam di seluruh dunia dalam menerapkan dan menjalankan ajaran agama Islam secara kaffah, wajar saja jika tiadanya Khilafah saat ini menjadi isu paling sentral yang diopinikan di tengah-tengah umat Islam di berbagai penjuru negeri. Karena itu, tidak mengherankan juga jika kini dijumpai banyak buku yang mengulas seputar konsepsi Khilafah atau sistem pemerintahan dalam Islam ini.
Dalam perkembangannya, wajar jika kemudian wacana Khilafah ini pun menuai beragam respons—pro dan kontra—di tengah masyarakat. Ada yang simpati dan sangat mendukung perjuangan penegakannya, tetapi tidak sedikit juga yang justru antipati terhadap konsepsi Khilafah. Bahkan, sebagian orang mengatakan bahwa Khilafah adalah perkara baru yang diperjuangkan umat dewasa ini. Ada juga yang beranggapan bahwa konsep negara Khilafah Islam sedikit pun tidak mempunyai bukti, baik secara historis maupun sosial kenegaraan, bahkan tidak pula ditemukan referensi autentik tentang kewajiban menegakkannya (Khilafah) dan menerapkan hukum-hukum syariat sekalipun itu adalah negara Madinah pada masa Nabi Muhammad s.a.w. dan Khulafa’ ar-Rasyidin.
BACA JUGA: Ditanya soal Khilafah, Ini Jawaban Prabowo saat Bersilaturahmi ke Kediaman Istri Gus Dur
Untuk menjawab keingintahuan masyarakat luas tentang Khilafah: apa itu Khilafah, sejauhmana status hukumnya dalam Islam, bagaimana Khilafah menjalankan roda pemerintahannya,seperti apa pendapat/pandangan ulama terdahulu (salaf) terhadap Khilafah, dan benarkah tidak adanya bukti autentik yang menjelaskan bahwa Khilafah adalah satu-satunya sistem pemerintahan yang diterapkan di tengah umat Islam sejak zaman Nabi s.a.w., Khulafa’ ar-Rasyidin, serta generasi setelahnya? Untuk menjawab semua itu, Qisthi Press kali ini hadir menerbitkan sebuah buku monumental di bidang politik yang berjudul Ahkam Shultaniyah.
Buku ini ditulis oleh seorang ulama besar yang mumpuni dibidang keilmuannya, yakni Abu al-Hasan‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi atau lebih dikenal dengan nama Imam al-Mawardi r.h. (w.450 H).Beliau dilahirkan di Basrah, Irak, tahun 364 H dan pernah berguru kepada ulama Basrah pada zamannya, Abu al-Qasim as-Shumairi (w. 386 H).Al-Mawardi adalah salah seorang fukaha mazhab Syaf’i’i yang sudah sampai pada level mujtahid dan beliau juga pernah menjabatan sebagaiqadhi al-qudhat (kepala hakim) pada tahun 429 H pada masa Khalifah al-Qa’im bi Amrillah (422–467 H).
Ahkam Shultaniyahini merupakan salah satu karya monumentalnya di bidang politik yang membahas seputar sistem pemerintahan dalam Islam. Di dalamnya beliau membahas kaidah tentang sistem politik, administrasi, keuangan, peperangan, dan sosial di dalam negara Khilafah pada zamannya. Buku ini terdiri atas dua puluh bab, antara lain, tentang akad Imamah; pengangkat Wizarat (pembantu khalifah), bukan wizarat dengan konotasi kementerian seperti dalam sistem demokrasi; pengangkat Imarah ‘ala al-Bilad (kepala daerah), pengkatan Imarah ‘ala al-Jihad (panglima perang), dan sebagainya. Termasuk bab tentang penetapan Jizyah dan Kharaj, hukum Ihya’ al-Mawat (menghidupkan tanah mati), eksplorasi air (termasuk tambang), Hima dan Irfaq (proteksi lahan dan kepemilikan umum), hingga Diwan (administrasi), Ahkam al-Jara’im (hukum tindak kriminal), dan Hisbah.
Dalam penulisannya, beliau berpijak pada al-Qur`an, as-Sunnah, ijma’, dan qiyas sebagaimana dalil yang lazim digunakan di kalangan mazhab Syafi’i. Beliau juga menjelaskan berbagai pandangan mazhab, seperti Abu Hanifah, Malik, dan tentu Imam Syafi’i sendiri. Sementara itu, mazhab Hanbali boleh dibilang tidak disinggung sama sekali. Mungkin karena Imam Ahmad lebih dekat sebagai ahli hadis ketimbang sebagai fukaha. Hal itu juga barangkali yang membuat al-‘Allamah Qadhi al-Qudhat Abu Ya’la al-Farra’ (w. 458) menulis kitabnya, Ahkam Sulthaniyah, dengan judul dan isi yang kurang lebih sama untuk menjelaskan hukum-hukum yang sama, tetapi berdasarkan mazhab Hanbali. Tujuannya, agar khalifah pada zamannya juga mengetahui pandangan mazhab Hanbali dan bisa menunaikan yang menjadi hak dan kewajibanya.
Gaya penulisan buku ini sangat jelas dan lugas. Pilihan kata dan maknanya juga sangat jelas. Susunan kata dan redaksinya pun begitu serasi. Di samping itu, penulis juga dikenal dengan akhlaknya yang tinggi dan mempunyai rekam jejak pergaulan yang bersih. Ditambah lagi dengan sanad keilmuan beliau yang pernah berguru kepada sejumlah ulama terkemuka di Baghdad maka sewajarnya jika karya Imam al-Mawardi yang satu ini menjadi sangat istimewa di hati kaum Muslimin sekaligus sebagai rujukan utama pada masanya.
Namun, kitab ini masih mencampuradukkan hukum-hukum syara’ yang membahas sistem pemerintahan (nidzam al-hukm), sistem ekonomi (an-nidzam al-iqtishadi), sanksi hukum (nidzam al-‘uqubat), termasuk masalah administrasi dalam satu kitab. Karena itu, jika kita simpulkan, kitab Ahkam Sulthaniyah ini sebagai kitab yang khusus membahas tentang sistem pemerintah, sebenarnya tidak tepat. Pasalnya, di dalamnya ada juga pembahasan tentang hukum lain. Namun, hal ini bisa dimaklumi karena sistematika keilmuan dan sistem pada era itu belum sedetail saat ini.
Konsekuensinya, jika kitab Ahkam Sulthaniyyah ini kita implementasikan pada saat ini, tentu kurang sistematis meski isinya cukup memadai berbagai pembahasan yang dibutuhkan, termasuk sebagai referensi awal dan autentik. Dikatakan sebagai sebagai referensi awal karena ini merupakan salah satu kitab paling awal yang membahas sistem pemerintahan. Dikatakan autentik karena kitab ini sekaligus menjadi dokumen autentik untuk menjawab keraguan orang yang selama ini menuduh bahwa Khilafah tidak ada, sistem Khilafah tidak jelas, Khilafah tidak wajib, dan tuduhan-tuduhan bodoh lainnya.
BACA JUGA: KH Ma’ruf Amin Jelaskan Alasan Konsep Khilafah Tertolak di Indonesia
Ada yang menarik dalam buku ini maupun karya fikih politik Imam al-Mawardi yang lainnya, yakni beliau sama sekali tidak terpengaruh dengan teori-teori Socrates, Plato, Aristoteles, atau filosof Yunani lainnya. Padahal, ketika itu buku-buku tersebut sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dengan begitu, Ahkam Sulthaniyah karya Qadhi al-Qudhat al-Mawardi ini merupakan kitab rujukan penting yang ditulis oleh salah seorang pelaku sejarah dengan jabatan qadhi al-qudhat pada zamannya. Meski bukan rujukan satu-satunya, buku ini begitu penting untuk dimiliki oleh kaum Muslimin karena fungsinyayang sekaligus sebagai dokumen autentik penerapan sistem pemerintahan Islam di dalam negara Khilafah pada era Khilafah Abbasiyyah. []