Oleh: Enzen Okta Rifai, Lc.
Pendidik di Pondok Pesantren Al-Bayan, alumni International University of Africa (Republik Sudan)
enzenoktarifai@gmail.com
“BOLEH jadi orang yang kita benci ternyata lebih mulia, serta lebih dilapangkan rizkinya oleh Allah. Kita tidak banyak tahu tetapi Allah Maha Tahu segalanya.” (Hafis Azhari, penulis novel Perasaan Orang Banten)
Ingin saya kemukakan di sini, bahwa jika kita menghitung kebutuhan umat manusia di dunia ini, baik manusia jahat dan kriminal maupun manusia baik dan saleh, jelas sangat banyak tak terhitung jumlahnya. Namun, semua kebutuhan itu, baik yang positif maupun negatif selalu dicukupi oleh Allah Yang Maha Mencukupi segala kebutuhan hidup manusia.
Sejak berproses membentuk wujud manusia dalam kandungan ibu, bahkan sejak zaman baheula, saiki hingga esok, setiap manusia pasti memiliki sifat butuh sehingga terus-menerus berhajat atau berhasrat untuk selalu memenuhi kebutuhan hidupnya.
Bayangkan, betapa banyaknya kebutuhan makhluk hidup di dunia ini, baik yang melata di dalam perut bumi maupun yang bersayap terbang ke angkasa raya. Sebagaimana manusia, mereka semua memiliki sifat butuh, karenanya kekuatan macam apa yang dapat memenuhi kebutuhan semua makhluk itu, kalau bukan kekuatan Yang Maha Mengatur dan Menggenggam jagat raya ini.
BACA JUGA: 8 Jalan Rezeki yang Allah tunjukkan dalam Al-Quran
Maka, janganlah kita menghamba dan meminta-minta kepada selain Allah. Sebab, Allah itu Maha Pengasih dan Maha Pemurah. Kehendak dan pemberian-Nya takkan terjangkau oleh pikiran, angan-angan, imajinasi maupun ukuran keinginan manusia. Nikmat pemberian-Nya sungguh tak terbatas. Karena itu, tak perlu niat dan hasrat kita disampaikan kepada selain Allah Swt.
Tidak terbatasnya rezeki dan karunia Allah itu mestinya membuat manusia tak tertarik dan segan berpaling dari Allah, kemudian menghamba kepada selain-Nya. Percayalah, bahwa Allah akan senantiasa hadir di saat seseorang sedang merasa memiliki hajat dan kebutuhan, baik untuk kepentingan hidup di dunia maupun di akhirat kelak.
Melimpahnya kekayaan yang Allah miliki di seluruh jagat raya ini, membuat Dia tak peduli akan besaran kebutuhan yang diberikan untuk manusia. Boleh jadi kita menginginkan diberi 70, tetapi Allah memberinya 700 atau bahkan 7.000. Bisa jadi juga sebaliknya, kita menghendaki diberi 7.000 tetapi Allah hanya memberinya 70 saja.
Pengertian “tak peduli” ini dapat disejajarkan dengan semaunya Allah, atau sekehendaknya Allah. Jika kita diberi 7.000 boleh jadi akan mencelakakan dan membinasakan hidup kita. Karena itu, sifat Maha Pemurah Allah itulah yang membuat kadar pemberian-Nya sesuai dengan ukuran kebutuhan kita, serta layak untuk diterima seorang hamba sesuai dengan takarannya.
Dan jika pun Allah memberi kita hanya 70, lalu tiba-tiba rizki itu datangnya 7.000, itu pun karena Allah Maha Tahu dan Maha Menghitung jumlah nikmat yang kita butuhkan, sedangkan kita semua tak mampu manakar dan menghitungnya.
Uang dan Rezeki
Lalu, mengapa banyak orang jahat dan zalim mendapat rizki yang berkelimpahan, sementara tidak sedikit orang-orang baik dan saleh yang rezekinya sangat terbatas? Di sinilah kita perlu memahami kata “rizki” yang tidak selalu identik dengan harta dan uang.
Dan apa yang kita butuhkan dalam hidup ini bukan semata-mata uang dalam bentuk kertas atau koin yang bersifat kasat mata, untuk membeli makanan maupun obat-obatan. Kita butuh pada Allah agar hidup sehat, lapang, bahagia, termasuk anak-anak dan orang-orang di sekitar kita juga. Itu pun bagian dari rizki yang kadang kita lengah untuk mensyukurinya.
BACA JUGA: Amalan Pelancar Rezeki yang Bisa Dilakukan oleh Istri untuk Suami
Allah tidak peduli, dan tak bisa didikte oleh siapapun. Ia akan memberi atau mencukupi kebutuhan pada siapa saja, baik kepada orang yang kita sukai maupun kepada pihak yang dibenci. Ketika memberi, juga Allah tidak memandang latar belakang seseorang. Siapa pun dan berapa pun, pasti akan diberi sesuai dengan kadar kecukupannya. Bahkan, untuk mencukupi kebutuhan manusia, Allah senantiasa memberi sebelum diminta.
Kita diperintahkan untuk berdoa, meminta, dan memohon, semata-mata agar kita dapat mewujudkan kehambaan kita di hadapan Allah.
Dengan meminta dan berdoa, berarti sifat fakir, hina, tak berdaya, serta keterbatasan kita akan muncul dan diakui oleh diri kita sendiri. Karena itu, Allah tidak meridhai seorang hamba yang meminta kepada selain-Nya agar keinginan dan kebutuhannya terpenuhi.
Padahal, pihak yang diminta pertolongan itu pun memiliki sifat ingin dan butuh, karena harus menyelesaikan kebutuhannya sendiri, kebutuhan orang di sekitarnya dan orang-orang lain juga.
Maka, buat apa melaporkan atau mengeluhkan kebutuhan kita kepada selain Allah? Padahal, hanya Allah yang dapat memberikan dan memenuhi kebutuhan, dan hanya Dia-lah sebaik-baik pemberi kebutuhan. Karena itu, sifat butuh kepada Allah harus terus-menerus dipelihara dan dipegang-teguh. Jangan sampai kita bersikap abai dan lalai, karena sifat yang merasa tak butuh pada Allah identik dengan keangkuhan dan kesombongan diri (kekufuran).
Kita diperintahkan agar jangan putus asa dari rahmat Allah, tetapi kita justru dianjurkan untuk berputus asa dan tak lagi berpegang pada selain Allah. Segala sesuatu yang selain Allah itu takkan sanggup mencukupi kebutuhan kita.
Sekali lagi, segala sesuatu yang selain Allah itu pun memiliki sifat butuh kepada Allah. Untuk apa kita bersandar dan berpegang kepadanya? Untuk apa kita berharap pada orang fakir yang butuh dicukupi oleh Allah, dan untuk apa terlalu berharap untuk disehatkan kepada orang-orang yang sakit?
Seorang ulama dan pemikir Islam, Abu Hasan As-Syadzili pernah menyatakan bahwa dirinya berputus asa dengan terlampau mengandalkan pada kekuatan diri. Sementara, diri kita ini sangat butuh dikuatkan, disehatkan dan dibahagiakan oleh Allah.
Sekuat apapun manusia berusaha mati-matian, ia takkan sanggup memberi manfaat pada dirinya, terlebih pada orang lain. Hanya Allah yang punya kuasa untuk memberi kemanfaatan diri kita kepada diri sendiri, termasuk kemanfaatan diri kita kepada orang lain.
Manusia tidak akan sanggup menyelesaikan kebutuhannya sendiri. Meskipun, kebanyakan manusia merasa berhasil mencukupi masalah kebutuhan berkat jerih-payahnya sendiri.
Padahal, untuk apa berlaku angkuh dan sombong? Bukankah kalau ada bengkak dan nyeri di sekitar hidung, kita tak punya kuasa untuk segera menyembuhkannya? Belum lagi urusan mata, mulut, telinga, susunan saraf, darah dan organ-organ di seluruh tubuh?
BACA JUGA: Benarkah Maksiat Mengahalangi Rezeki?
Sekali lagi, kita tak mampu menyelesaikan urusan-urusan untuk diri kita sendiri, apalagi sok-sokan merasa mampu menyelesaikan urusan banyak orang?
Tetapi, apapun kondisi kita, dan bagaimanapun terbatasnya kemampuan kita, manusia dianjurkan untuk memberi manfaat bagi orang lain. Bahkan, Islam menganjurkan agar diri kita memberi manfaat bagi sebanyak-banyaknya orang, karena bagaimanapun impact-nya pasti akan kembali kepada kebaikan diri kita sendiri.
Sebaliknya, jika kita mengumbar segala keburukan, ghibah, fitnah dan adu domba, yang menimbulkan dampak negatif pada banyak orang, dapat dipastikan (demi Allah), dampak keburukannya pasti akan kembali pada diri kita sendiri.
Oleh karena itu, berpeganglah hanya kepada Allah, merasa butuhlah hanya kepada Allah. Sebab, kepada siapa lagi kita butuh pertolongan dan kelimpahan rezeki, kalau bukan kepada Yang Maha Kaya dan Maha Memberi segala bantuan dan pertolongan tanpa batas? []