Oleh: Ikhlas Hikmatiar
(Editor buku & Guru pengajar bahasa Indonesia di Purwakarta)
REZEKI dan ajal adalah dua hal yang banyak “diresahkan” oleh manusia dalam kehidupan ini. Disebut “diresahkan” karena pada fakta dan hakikatnya memang manusia itu sendirilah yang meresahkan perkara tersebut. Dengan kata lain, kita sebagai manusia secara sadar atau tidak sering menjadikan perkara rezeki dan ajal sebagai hal yang “menakutkan” hingga membuat kita resah dan gelisah.
Betapa tidak, faktanya bisa kita saksikan atau mungkin rasakan sendiri. Banyak orang yang “mati-matian” siang-malam kerja demi meraih kekayaan ataupun jabatan tanpa memedulikan lagi halal-haram, merugikan orang lain atau tidak. Bahkan, termasuk keselamatan diri sendiri pun terkadang juga ikut diabaikan. Semua itu dilakukan karena alasan umumunya satu, yaitu “takut” kekurangan harta (rezeki) yang mengakibatkan dirinya jatuh miskin, sengsara, dan binasa.
BACA JUGA: Ini Delapan Jenis Rezeki yang Perlu Diketahui
Begitupun dengan perkara ajal. Banyak orang yang dibuat cemas oleh perkara yang satu ini lantaran rasa takut dan kecintaannya yang berlebihan terhadap dunia. Dunia yang dimaksud adalah berbagai hal perhiasan yang menghiasai kehidupan manusia di dunia. Harta, tahta, wanita, dan berbagai perniagaan yang menguntungkan merupakan perhiasan dunia, termasuk juga anak keturunan. Makin cinta kita terhadap berbagai perhiasan dunia itu maka makin takut juga kita kehilangannya dari kehidupan ini. Alhasil, kita pun menjadi takut dan cemas akan ajal atau kematian.
Padahal, sesungguhnya rezeki dan ajal adalah dua perkara yang sudah pasti jaminan dan ketetapannya di sisi Allah Swt. Tak perlu kita risaukan ataupun membuat kita resah karena Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam Alquran surah Al-A’raf: 34:
“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS. Al-A’raf: 34)
BACA JUGA: Ujian dalam Ketaatan dan Kenikmatan
Begitu pula dengan rezeki, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya, ruh qudus (Jibril), telah membisikkan ke dalam batinku bahwa setiap jiwa tidak akan mati sampai sempurna ajalnya dan dia habiskan semua jatah rezekinya. Karena itu, bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah cara dalam mengais rezeki. Jangan sampai tertundanya rezeki mendorong kalian untuk mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah. Karena rezeki di sisi Allah tidak akan diperoleh, kecuali dengan taat kepada-Nya.” (HR. Musnad Ibnu Abi Syaibah 8: 129 dan Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 8: 166, hadits sahih. Lihat Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah no. 2866).
Dalam hadis tersebut, kita diperintah untuk “ajmilu fit tholab”, yaitu mencari rezeki dengan cara yang baik atau halal. Maksudnya apa?
Artinya, (1) Jangan sampai kita berputus asa dalam meraih rezeki hingga menempuh jalan maksiat kepada Allah ketika belum mendapatkan rezeki yang halal. Sampai-sampai kita berucap, “Betapa sulit mendapatkan rezeki yang halal?” Naudzubillahi mindzalik. (2) Jangan sampai pula untuk sekadar meraih rezeki, kita turut mencelakakan diri kita sendiri.
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Maka bertakwalah kepada Allah dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Ibnu Majah no. 2144, dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani).
Mengomentari hadis tersebut, Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan antara maslahat dunia dan akhirat dalam hadis “bertakwalah engkau kepada Allah dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki.” Sesungguhnya, kenikmatan dan kelezatan akhirat bisa diraih hanya dengan ketakwaan kepada Allah. Adapun sakinah, yakni ketenangan hati dan badan yang membuatnya tidak serakah dan rakus pada dunia, juga tidak merasa lelah dalam mengejar dunia, itu semua dapat diraih apabila seseorang memperbagus dalam mencari rezeki (dengan cara yang halal).
BACA JUGA: Kita hanya Menunggu Giliran Dijemput Ajal
Sebagai penutup, beliau Ibnul Qayyim menyampaikan bahwasanya oleh karena itu, siapa yang bertakwa kepada Allah maka ia akan memperoleh kenikmatan dan kelezatan akhirat. Begitupun dengan siapa yang menempuh jalan yang baik dalam mencari rezeki (ijmal fii tholab) maka akan lepas dari rasa penat dalam mengejar dunia. Hanyalah Allah yang memberikan pertolongan. (Lihat Al Fawaid, hal. 96).
Dengan demikian, sudah seyogianya sebagai seorang muslim yang baik tidak perlu lagi dirisaukan ataupun mengkhawatirkan perkara-perkara yang sudah pasti dan dijamin ketetapannya oleh Allah Swt. Seperti halnya, masalah rezeki dan ajal. Sebaliknya, justru yang patut dikhawatirkan dan menjadi fokus perhatian kita seorang muslim hakikatnya adalah perkara-perkara yang tidak ada jaminannya dari Allah kepada kita.
Apakah kita akan menjadi ahli surga atau ahli neraka? Apakah kita akan bahagia di akhirat atau mungkin justru malah sengsara di neraka? Dengan begitu, kita akan bersungguh-sungguh memfokuskan diri untuk beribadah kepada Allah (Az-Zariyat: 56) dan sepenuhnya menjalankan ketakwaan dalam kehidupan ini seraya menghambakan diri kepada-Nya. Karena hidup adalah pilihan, dari setiap pilihan itulah kita akan mendapat pahala ataupun dosa yang pada akhirnya nanti dihisab, dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Azza wa Jalla di Yaumil Akhir. Wallahu a’lam bishawab. []